Rabu, 10 Agustus 2011

Menunggu Jawaban Untirta

(Tanggapan Atas Tulisan Abdul Salam Hs, “Politik Kekuasaan Mengancam Dunia Kampus”)

Oleh Ayatulloh Marsai

Seandainya saya menemukan tulisan Abdul Salam Hs (ASH), “Politik Kekuasaan Mengancam Dunia Kampus”, ini di catatan facbook, saya akan langsung kasih cap jempol, atas keberaniannya mengulas masalah penggiringan sejumlah peserta KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa) untuk menyukseskan sosialisasi salah satu calon gubernur Banten.

Cap jempol ini untuk tiga hal. Pertama, keberanian. Banyak orang menyaksikan “kejanggalan”, “ketidakadilan” dan “kesewenang-wenangan”, tapi jarang yang berani membeberkannya ke publik. Baik karena alasan “keselamatan” atau dia sendiri termasuk di dalamnya; baik karena bersikap masa bodoh, atau lebih parah lagi, menganggap “kejanggalan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan itu hal yang biasa dan wajar. Hal terakhir inilah yang termasuk kedalam tingkatan “iman” terendah masyarakat kita. Termasuk dunia mahasiswa dan kampus.

Kedua, kemampuan dia menulis. Tidak semua pemberani bisa menulis. Dan tidak semua yang bisa menulis seorang pemberani. Tulisan ASH enak sekali dibaca, mengalir dalam bertutur, original dalam penggunaan bahasa. Dan ketiga, tidak boleh dilupakan, dia baru lulus SMA. Dalam usianya yang masih muda, wawasannya sudah luas. Dia sudah membaca “Catatan Sang Demonstran”, yang belum tentu mahasiswa atau sarjana pun sudah membaca buku itu.

Kalau pembaca menyangka saya kenal ASH itu salah. Selain namanya, semua hal yang berkaitan dengan ASH saya tidak tahu. Dimana rumahnya, asal sekolah, hoby dan sebagainya, gelap. Saya hanya penggemar kolom Gagasan di Banten Raya Post. Jadi saya selalu membaca setiap tulisan yang dimuat di kolom ini. Dan, tulisan ASH bagi saya tulisan yang istimewa dan menginspirasi.

Kampus Barometer Karakter Bangsa
Banyak kampus di Banten, tumbuh bak jamur di musim hujan, kata pepatah lama. Tetapi eksistensi kampus itu dalam kontrol sosial politik samar sekali. Betul kata ASH, kampus seharusnya menjadi kontrol bagi kekuasaan. Tetapi, bukan berarti tidak berpihak kepada siapapun, dan apapun. Kampus, menurut saya, harus menunjukan keberpihakan politiknya kepada rakyat umumnya. Dan, kepada kaum miskin (da’if) lebih-lebih kepada rakyat yang dibuat miskin (mustad’afin). Bukan kepada kekuasaan itu sendiri. Keberpihakan kampus, mestinya bukan kepada orang, tapi kepada –meminjam istilahnya Kuntowijoyo, obyektifitas dan rasionalitas kekuasaan. Rasionalitas kekuasaan itu tersimbolkan dalam asmaul husna-nya Allah, sebagai penguasa sejati. Ambil satu contoh, Dia Mahakuat, Mahaperkasa, dan Mahabesar. Namun dibalik kekuatan, keperkasaan dan kebesaran-Nya, secara bersamaan Dia juga Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jadi, Dia akan berbuat Adil.

Jika, kekuasaan tidak rasional, tidak mengurusi rakyatnya, misalnya, kemudian di kampus tidak ada gejolak apapun, maka keberpihakan kampus kepada rasionalitas dipertanyakan. Sebab rasionalitas kekuasaan, harus mengurusi rakyatnya, berlaku adil dengan pemerataan akses, baik terhadap yang kecil maupun yang besar, desa mapun kota, negeri maupun swasta.

Mudah-mudahan sistem kependidikan yang dikembangkan di dalam kampus tetap rasional. Masalah penerimaan mahasiswa baru (sempat mencuat juga di koran), masalah nilai mahasiswa, masalah tugas akhir, dan seterusnya, mudah-mudahan berjalan rasional.

Sebagai kampus terbesar di Banten (karena UIN Syahid masih menggunakan nama belakang Jakarta), di Untirta –lah barometer kepedulian dunia akademik terhadap nasib bangsa, rakyat dan warga Negara, melalui sikap-sikap politiknya.

Harus Ada Jawaban
Pihak yang bersangkutan atau pihak Untirta harus menjawab opini yang dilempar ASH. Tentu lewat dan cara yang sama (imbang), lewat kolom gagasan yang disediakan oleh Banten Raya Post ini. Harapan saya, pertama: terciptanya suasana diskusi di media massa dengan bahasa tulisan. Bahasa tulisan ciri khas dunia akademis, ciri masyarakat maju; kedua: masalahnya menjadi imbang.

Supaya masyarakat tidak hanya membaca opini satu pihak, tidak menimbangnya dengan opini pihak yang tersangkut; ketiga, terpenuhinya faktor penting yang melekat pada dunia pendidikan, yakni agen of change.

Penulis adalah guru Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah di Cilegon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar