Rabu, 10 Agustus 2011

Ayo Bangun Sekolah, Stop Konsumerisme!

6 August 2011
03:12

Oleh Ayatulloh Marsai
Nyaris setiap hari saya membaca koran Banten Raya Post, halaman per halaman. Tapi baru kali ini saya betul-betul merasa “ngilu” membaca kekontrasan yang ada, per halamannya. Halaman awal tentang salah satu calon gubernur kita dilaporkan kepada Panwaslukada karena mencuri start kampanye. Kolom Tajuk prihatin dengan bangunan sekolah yang roboh, dan infrastruktur yang tak layak di usia Pemprov Banten yang sudah menginjak 11 tahun. Kemudian, ada camat yang ditengarai tidak netral menjelang pilgub. Ada berita PNS tak sadar zakat. Ada rekening gendut. Dan yang mencengangkan kita punya tempat perbelanjaan baru di Serang.


Jika benar, media ini gambaran umum situasi di Banten, maka usia 11 tahun Pemprov Banten tak sepadan dengan prestasinya. Masih banyak hal negatif daripada positifnya. Yang paling memilukan, ketika kita sandingkan antara keprihatinan Tajuk: “Ayo Bangun Sekolah Rusak,” dengan halaman akhir Barayapost hari ini (5/08/11), “Peresmian Mall of Serang dan Hipermart”. Sekolah yang rusak, kok yang dibangun malah Mall!


Saya kira kontradiksi ini bisa dibaca dengan mata telanjang. Tak perlu pisau analisis yang rumit-rumit. Setiap orang pasti tahu bahwa untuk sejahtera, masyarakat harus produktif. Bukan malah ditarik ke jerat-jerat konsumerisme. Untuk produktif masyarakat harus berpendidikan, bukan berbelanja. Karena hanya dengan pendidikan manusia bisa bertanggungjawab terhadap nasib diri dan bangsanya. Juga berakhlak, berkarakter, dan berjiwa demokratis. Memang tidak ada salahnya membangun Mall, tapi tanpa dibarengi pendidikan yang cukup, pembangunan tempat belanja itu semakin memandulkan produktifitas masyarakat.


Tanggungjawab Politik
Demokrasi mengharuskan rakyat memilih pemimpin dari kalangannya sendiri, sesama rakyat biasa. Nanti, kepemimpinan yang dipegang oleh pemimpin terpilih, tidak lain untuk kepentingan rakyat. Jadi semua hasil dari pengelolaan sumber daya yang dimiliki Negara dipersembahkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Inilah, menurut istilah Kuntowijoyo, disebut politik rasional atau rasionalitas dalam politik. “Pemimpin bertanggungjawab terhadap yang mereka pimpin” (al-Hadis).


Kenyataannya rasionalitas hanya milik orang besar secara struktural. Sementara yang kecil, yang dibawah, dipaksa untuk tidak rasional. Misalnya, dalam aturan setiap warga Negara punya kedudukan yang sama di mata hukum, berhak atas kesejahteraan, berhak atas pendidikan, berhak atas kesehatan. Kenyataannya, hanya orang tertentu yang bisa mendapatkan haknya itu. Lainnya, dipaksa untuk tidak rasional: di negaranya sendiri banyak rakyat terlunta-lunta, tidak berpedidikan, dan menderita gizi buruk. Belum lagi masalah hukum, pisau mata hukum hanya tajam untuk orang kecil.


Bila pemimpin tidak bertanggungjawab terhadap yang mereka pimpin, itu berarti telah keluar dari tujuan demokrasi, tujuan kepemimpinan. Rasionalnya, rakyat bisa menurunkan pemimpin seperti itu. Di Negara kita ini rasionalitas itu seharusnya berlaku untuk presiden dan wakil, gubernur dan wakil, bupati/walikota dan wakil, DPR-RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Karena mereka semua dipilih oleh rakyat.


Pemimpin, Rakyat dan Investor
Rakyat dan investor sama-sama penting. Rakyat adalah hakekat keberadaan Negara. Tanpa rakyat, tidak ada yang namanya Negara. Investor juga penting, dikala Negara kita tidak punya modal, tidak punya skill, sementara kita punya potensi alam yang kaya raya dan rasa, maka keberadaan investor sangat dibutuhkan. Tetapi, bila kita dalam situasi kritis, harus memilih antara rakyat dengan investor. Mana yang dipilih? Disinilah segera diketahui kepemimpinan para pemimpin kita untuk siapa. Untuk rakyat, atau untuk investor (modal asing)?


Rakyat dan investor sama-sama punya kebutuhan dasar. Kebutuhan asasi rakyat adalah kehidupan yang layak, kehidupan yang aman, sehat, dan berpendidikan. Konsekuensi dari pemenuhan kebutuhan ini tercipta masyarakat yang sejahtera, aman tentram, sehat dan cedas. Tentu dengan membangun akses ekonomi bagi rakyat, demokrasi, rumah sakit dan yang terpenting gedung sekolah layak pakai. Sedangkan kebutuhan isvestor adalah keuntungan sebesar-besarnya dan keamanan investasi.


Keduanya tidak saling bertentangan pada awalnya, tapi nanti, rakyat yang cerdas tidak mau selalu bergantung dari investor. Pada saatnya, rakyat harus mengelola kekayaan negaranya sendiri. Bertentangan dengan kepentingan investor yang ingin selamanya menanamkan modalnya demi keuntungan yang besar dan jangka panjang. Maka investor sangat berkepentingan menjadikan investasinya lama-lama di Negara kita. Dan, kebodohan kita, ketergantungan kita, ke-oportunis-an kita, yang akan melicinkan jalan mereka.


Di akhir tulisan ini pertanyaan harus diajukan: sudah berapa besar investasi yang “tertancap” di Banten. Dan hasil besaran investasi itu, sudah seberapa pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan asasi rakyat Banten? Nyatanya masih ada gedung sekolah roboh, busung lapar, gizi buruk dan “teror batin” atas rakyat kecil untuk bebas berserikat. Pangkal “seabreg” masalah ini adalah kebodohan, oleh karena itu rasionalitas dalam politik mewajibkan pemimpin untuk mencerdaskan rakyatnya. Ayo bangun sekolah! Stop konsumerisme.


*Penulis adalah Guru Sejarah Kebudayaan Islam, MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar