Rabu, 08 Juni 2011
06:34
Oleh: Ayatulloh Marsai
Setiap orang berharap hidupnya lebih baik
dari hari ke hari
dari waktu ke waktu
--Iwan Fals dalam “Cemburu”.
Penggalan syair di atas menggambarkan setiap orang (warga Negara) menghendaki perbaikan keadaan lebih baik setiap waktu. Tentang Banten, apapun kesimpulan kita sekarang, yang pasti setiap rakyat Banten menginginkan keadaan yang lebih baik. Mulai urusan ekonomi, kesehatan, hingga pendidikan. Keinginan itu jelas ditangkap oleh calon peserta Pemilukada Provinsi sebagai rumusan masalah isu kampanye. Bak pedagang yang ulung para calon segera memproduksi “iklan” yang mengesankan si calon akan memenuhi apa yang dibutuhkan oleh rakyat di atas: perbaikan hidup di segala bidang.
Coba amati kalimat-kalimat di spanduk, poster, pamphlet dan sejenisnya, yang bertebaran di seluruh pelosok Banten saat ini: “bersama teruskan pembangunan Banten,” “bersama menuju perubahan Banten,” “bersama kita benahi Banten, kita bisa.” Semuanya menawarkan kehidupan lebih baik. Pembangunan, perubahan dan pembenahan sama-sama slogan ijtihad menuju kehidupan yang lebih baik.
Jadi kalau dilihat dari segi visi dan misi calon, nyaris tidak ada perbedaan mendasar antara satu calon dengan calon yang lain. Tapi kita harus memilih. Pemilu adalah proses yang harus kita lalui untuk menentukan putra terbaik Banten membawa kehidupan rakyat Banten lebih baik.
Seandainya visi dan misi yang ditawarkan calon itu bisa ditagih secara kongkret, secara hukum misalnya, dan hukum kita mampu menegakan keadilan, maka kita tidak terlalu takut salah memilih. Sebab yang berbeda dari calon-calon tersebut hanyalah partai dan orangnya saja, misi (niat)-nya sama. Artinya, siapapun yang menang dalam pemilukada nanti, Banten tetap harus menuju nasib yang lebih baik.
Sayangnya, sampai saat ini belum ada ceritanya pemimpin pemerintahan hasil pemilu bisa diputuskan turun secara hukum atas tuntutan rakyat, ketika mereka terpilih kemudian tidak memenuhi janji-janji kampenye-nya. Selama ini yang bisa menurunkan (memecat) pemimpin pilihan rakyat ini hanyalah partai politik. Atau yang bersangkutan berkenan mengundurkan diri. Jadi tidak “balance,” rakyat hanya bisa memilih langsung tetapi tidak bisa memberhentikan langsung.
Kenyataan ini mesti menjadi bahan pemikiran untuk serius dalam memilih orang nomor satu Provinsi Banten nanti. Karena, sekali saja kita salah pilih, maka butuh lima tahun lagi kita memperbaiki kesalahan kita. Meskipun sebetulnya kita bisa menyampaikan kritik sepanjang pemerintahannya. Namun sering kali menyampaikan kritik kepada pemerintahan dianggap “provokator” dan tindakan melawan pemerintah. Tidak dianggap sebagai proses pengawasan terhadap kinerja pemerintah, tidak merubah keadaan. Agaknya peran pengawasan terhadap kinerja pemerintah telah dimonopoli oleh anggota dewan. Dan, malangnya bangsa ini, lembaga pengawasan yang sah lebih sering menganggap diri wakil partai daripada wakil rakyat. Akibatnya, bisa dipastikan pengawasan DPRD terhadap eksekutif tidak efektif karena partai juga butuh “bensin” agar mesin politiknya terus berputar. Maraklah kemudian apa yang disebut politik transaksional sekarang.
Tidak ada lagi wakil rakyat. Tidak ada lagi kepentingan rakyat setelah pemilu selesai. Ironis, pilihan kita telah menghasilkan pemimpin yang tidak serius mengurusi rakyat. Seluruh sendi kehidupan rakyat akhirnya akan rusak. Mulai dari etika politik itu sendiri, pendidikan, kesehatan, infrastrukur, kesejahteraan rakyat, hingga kesehatan sosial budaya.
Sekarang, pada pemilukada Banten 2011 ini, rakyat harus serius dalam memilih pemimpin. Pemilih serius akan memilih pemimpin serius. Pemilih serius yang saya maksud adalah pemilih yang punya kesadaran untuk merubah kondisi sekitarnya (bangsa) lebih baik, beradab, adil, sejahtera, dan berdaulat dengan menentukan pemimpin yang bertanggungjwab memlalui pemilu nanti. Kesadaran ini penting untuk Banten lebih baik. Kesadaran dengan jiwa yang tercerahkan tidak kenal apakah dia terpelajar atau tidak terpelajar, melainkan siapa saja yang peduli dengan nasib Banten secara umum. Sebab, tidak jarang kita melihat orang yang bersekolah tinggi, berpendidikan, justru yang mengambil keuntungan materi langsung dari masa pemilu untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Populeritas Versus Kualitas
Hati-hati dengan calon yang popular, karena belum tentu berkualitas. Menjelang pemilu, tren politik kita, biasanya para calon bersaing untuk mengejar popularitas ketimbang membuat program jangka panjang untuk pengabdian kepada Negara. Calon peserta pemilu yang mengejar popularitas memilih mencetak spanduk, baliho sebanyak-banyak ketimbang mewujudkan komitmen atas peningkatan derajat masyarakat. Masih banyak gizi buruk, gedung sekolah roboh dan jalan rusak, tidak menjadi sasaran prioritas tindakan real mereka. Lucunya, spanduk-spanduk sosialisasi itu bertengger di jalan-jalan yang rusak parah, menempel di rumah gubuk, jalan berdebu, pemukiman kumuh, alam yang rusak dan wilayah-wilayah yang terisolir dari pembangunan. “Lucunya negeri ini”, judul sebuah film menyindir.
Ciri lain calon peserta pemilu yang mengejar popularitas antara lain: mendadak baik, loyal terhadap kepentingan masyarakat yang bersifat jangka pendek (instan), mendadak rajin silaturrahmi kepada simpul-simpul (tokoh-tokoh) masyarakat yang dianggap punya pengaruh. Kerap kali, isi pidato atau slogan-slogan atas panggungnya calon pengejar popularitas, tidak berbanding lurus dengan pola hidup dan tindak-tanduknya sehari-harinya.
Padahal pola hidup dan kebiasaan sehari-hari inilah ukuran kepribadian seseorang. Seperti, slogan “anda adalah kebiasaan anda”. Untuk beberapa calon mungkin bukan orang baru di pentas politik pemilukada nanti. Untuk calon ini tentu kita bisa melihat catatan panjang karier politiknya, baik kekurangan maupun kelebihannya. Bagaimana dengan calon-calon baru? Pengetahuan kita tentang kepribadian seorang calon bisa kita dapatkan dengan cara aktif mengakses informasi, baik dari media maupun forum-forum diskusi resmi atau tidak resmi. Dari sinilah mestinya kita berpijak untuk memilih nanti. Bukan karena spanduk, baliho, kaos, pamphlet dan sejenisnya. Apalagi karena uangnya, baik yang diterima pada masa kampanye maupun hari H-nya (serangan fajar).
Pada akhirnya, kepada siapapun kita menjatuhkan pilihan, itulah diri kita. Seperti kalimat filosofis, “kita adalah apa yang kita fikirkan,” maka pada konteks pemilu, “kita adalah berdasarkan apa kita memilih”. Apakah berdasarkan popularitas atau kualitas. Hasilnya, “Banten adalah siapa yang kita pilih” pada tanggal 22 Oktober 2011 nanti. Kita berharap Banten lebih baik. Wassalam!
*Penulis adalah Guru Sejarah Kebidayaan Islam di MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar