Cahaya keemasan mulai terbentuk, menimbun cahaya lain yang keperak-perakan. Dedaunan begitu tenang dalam ritme gerak tak seberapa. Berbisik pada matahari: “jangan pergi dulu, aku masih butuh cahayamu, menghijaukan aku yang sedari pagi diguyur gerimis berkepanjangan.” Matahari sumber cahaya keperakan dan juga keemasan tak peduli, dia terus melaju pada rotasi yang telah disepakati. Tak boleh berhenti semilidetik pun, karena dia pedoman waktu, tumpuan orang, bumi dan langit untuk mengawali dan juga mengakhiri putaran kewajiban. Bahkan menjadi tumpuan orang mendapatkan gaji. Di awal ataupun diakhir putaran matahari.
Lalu-lalang laki-laki mulai memadati jalan kota yang tak begitu bagus. Agaknya jalan ini terbengkalai sejak beberapa terakhir banyak turun hujan. Laki-laki itu mengawali kewajibannya bersama matahari yang keemasan tadi pagi, dan mengakhiri pada warna yang sama: emas. Namun, emas yang awal dan yang terakhir tidaklah sama. Emas yang pertama adalah modal, emas yang terakhir tak lain hasil dari putaran matahari yang memerak warnanya.
Anak-anak muda berhamburan ke tengah tanah lapang. Menendang dan memukul bola, mengayunkan kaki dan tangan. Ada yang sekedar memutar mata ke kanan juga ke kiri, ke atas juga ke bawah. Mereka bahagia pada masanya, pada dunianya yang manis tanpa cuka, juga tanpa asam. Indah.
Ada ibu-ibu yang bersantai menyambut laki-laki tadi dengan senyum lebar, sebab matahari tak lagi putih. Sebentar lagi laki-laki pencari nafkah datang membawa segenggam mimpi untuk istri dan anak-anaknya yang menanti. Sambil menimang buah hati, mereka mendampingi sang suami memasuki alam mimpi yang sunyi.
Tak ada yang dibawa abadi, kecuali rasa cinta, ikhlas dan tulus mereka mengitari, menjilati dan kadang meludahi dan mencaci maki matahari. Sekali lagi dengan ikhlas dalam mencaci dan memuji.
Rabu, 20 April 2011
Dukumalang, Cilegon-Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar