Rabu, 30 November 2011

Bicaralah!

Aku ingat waktu kecil aku sangat pemalu. Apalagi untuk tampil di depan orang banyak. Ketika ihtifalan di sekolah sore, aku gemetar. Keringat seolah nyumber dari seluruh pori-pori kulitku. “Keringete ning silit-silit”, kata istilah kampungku. Artinya, keringat sampai ke pantat. Entah, kenapa itu terjadi pada diriku. Tidak dengan teman-temanku, mereka aku lihat berani dan percaya diri tampil di depan umum. Sementar aku tidak.

Termasuk komunikasi, aku suka gemetaran. Tidak hanya itu, aku tidak berani menatap mata lawan bicaraku. Sampai sekarang, jarang. Padahal dalam buku “Bahasa Tubuh”, salah satu etika dan sekaligus gambaran kepribadian yang baik adalah ketika seseorang berkomunikasi verbal dengan menatap mata lawan bicaranya. Dan juga dengan badan berhadapan. Aku tidak bisa melakukanya. Aku sangat lemah.

Di kelas, di rapat-rapat, di komunitas kelompok, tetap saja begitu kesimpulannya, aku tidak pandai dan tidak cakap berbicara. Orang juga mengenalku ‘si pendiam’. Ah, sebenarnya aku tidak mau seperi itu. Aku ingin sekali berbicara lantang, menggebu-gebu. Saking keinginan itu bukan sekedar keinginan, aku sering berlatih di depan kaca. Cara ini sesuai dengan anjuran kakak Pembina dakwah di pesantren. Dia menjelaskan, salah satu cara untuk berlatih bicara di hadapan orang banyak adalah dengan cara berbicara di depan cermin, yang besar bila perlu. Aku menurutinya.

Disaat aku sedang berlatih, pernah tetanggaku mengintip, tahu-tahu ketika aku selesai latihan, dia menjawab salamku pada saat aku menutup pembicaraan. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, pungkasku. Dan, “walaikum salam”, jawab tetanggaku itu. Sontak aku kaget. Malu, ternyata dari tadi ada yang mendengar latihan bicaraku. Ah, biarin. Aku juga bangga kok, termasuk menambah kualitas latihanku.

Latihan demi latihan, pengalaman demi pengalaman, tidak membuatku merasa sempurna. Meski demikian, aku bukan yang paling jelek. Aku adalah orang biasa, yang tidak sempurna juga tidak terlalu minim kemampuan. Beberapa temanku di SLTA ada saja yang memujiku pintar. Kalau itu sebuah kejujuran, mungkin iya. Kalau itu juga sebuah basa-basi, aku juga memang merasa seperti itu, singkatnya aku tidak merasa sempurna.

Perasaan ini, baiknya membuat aku ingin terus belajar. Tetapi satu sisi, kadang-kadang, membuat aku tidak berani tampil dalam kesempatan-kesempatan penting, dimana disitu ada peluang. Padahal, sepintar apapun aku, kalau tidak berusaha menampakan kepintaran kita dalam tempat yang tepat, aku tidak bisa mendapatkan apa-apa dari kepintaranku itu. Kecuali untuk diri sendiri. Padahalkan, orang terbaik di dunia ini, kata Nabi, adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain. Jadi, jika aku berani tampil, aku akan manfaat buat yang lain. Tetapi kalau diam saja, tidak ada eksternalisasinya, ya beku deh.

Sadar diri dengan kelemahanku, terbersit dalam dalam benakku tidak akan mencari profesi yang membutuhkan kemampuan bicara. Dua pekerjaan yang aku hindari dalam pikirku, yaitu menjadi guru dan penceramah. Aku tidak akan menjadi keduanya.

Tahukah anda yang terjadi dalam hidupku kemudian? Jalan hidup membawaku ke pekerjaan-pekerjaan yang paling aku hindari tadinya. Sekarang, aku seorang guru. Sekarang, aku juga seorang yang suka dipercaya menjadi khatib di mesjid kampungku, suka diminta mewakili kata sambutan, baik dalam hajat masyarakat maupun hajat walimatul arus, bahkan kematian. Yang aku takutkan, justru terjadi. Ya, inilah hidup.

Masih karena alasan yang sama, karena tidak bisa bicara aku kemudian menggantungkan mimpiku kepada pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan tulis-menulis. Pahamku waktu itu, aku harus tetap berguna untuk orang lain, aku harus menunaikan kewajiban dakwahku sebagai muslim, tapi tidak dengan lisan. Aku yakinkan diriku menjadi seorang da’i bil kitab.

Kelas 2 Aliyah, aku mendaftar menjadi salah satu peserta pelatihan jurnalistik abu-abu di IAIN SGD Serang. Di sana aku sangat berminat, penuh semangat, mengikuti acara demi acara. Yang paling berkesan adalah acara malam itu, diakhir acara kami dibentuk kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok itu diibaratkan sebuah perusahaan penerbitan media, atau tepatnya tim redaksi. Kami berlomba mencari berita, mencari ide bergerak pada segmen apa media yang akan dibuat, lembar apa saja yang harus ada. Paling seru investigasi, mencari berita focus pada satu masalah. Waktu itu reporter media kami memotret para bapak pengais becak di malam hari. Menarik. Sepertinya inilah duniaku.

Tidak, kehidupan membawaku kepada keduanya, sesuatu yang aku benci, maupun sesuatu yang aku sukai, kalau harus terjadi, terjadilah. Ternyata kita harus mempersiapkan segala kemungkinan, harus belajar semua. Banyak hal, apa saja. Yang penting jangan diam. Bergeraklah, meski hanya dalam fikiran.

“Aku berfikir maka aku ada”, kata filosofi Yunani. Oleh Karl Marx, kalimat itu ditindaklanjuti menjadi, “aku bekerja maka aku ada”. Nah, boleh dong untuk kepentingan eksistensi, aku juga melakukan hal yang sama, menindaklanjuti kalimat itu berdasarkan kepentinganku di sini. Merubah kalimat tersebut menjadi, “aku bicara maka aku ada, aku menulis maka aku ada, aku harus bicara dan aku harus menulis”. Ah, semua kalimat-kalimat terakhir hanya pengembangan saja. Tetap saja orang yang punya hak paten atas konsep itu adalah filosof Yunani. Terimakasih Bang Yunanian.

Ayatulloh Marsai
28 November 2011

Selasa, 29 November 2011

Mimpi Garuda

Aku ingat waktu kecil aku sering mimpi terbang. Dari gunung ke gunung, dari pematang ke pematang sawah. Berputar-putar di angkasa. Dengan gaya “Superman” aku terus menyusuri angkasa raya. Dari atas ketinggian seperti ini aku melihat hamparan sawah, pemukiman dan lautan, membentang sambung-menyambung menjadi satu kesatuan bumi yang indah ini.

Seandainya itu menjadi nyata, betapa indahnya hidup ini. Mau kemana saja aku bisa. Seandainya mimpi itu menjadi nyata, pertama yang ingin aku lakukan adalah menghampiri burung Garuda. Aku kangen sama dia, seumur hidupku aku tidak melihatmu, kecuali yang terpanggang di tembok mencengkram Bhineka Tunggal Ika. Entah di hutan mana aku harus mencari. Aku ingin Garuda hadir dalam setiap pagiku, untuk sekedar berkeliling melingkari hutan di kepulauan Indonesia. Berkeliling di udara dari Sabang sampai Maraoke sambil tetap mencengkram Bhineka Tunggal Ika Entah. Aku akan turun jika melihat gejolak kesukuan, keagamaan, ekonomi dan gejolak apa saja yang mengancam isi semboyan cengkraman Garuda.

Garuda, entah di hutan mana aku mencarimu. Setelah aku jauh berkeliling, tidak kunjung aku melihatmu, apalagi melihat hutan Indonesia sekarang, aku tidak berharap banyak. Sebab hutan tidak lagi dihuni orang hutan, melainkan oleh orang-orang kota. Sejak keberadaan orang-orang kota di hutan-hutan, kamu tidak mungkin terlihat lagi.Orang kota datang ke hutan kira-kira mau ngapain. Cari pekerjaan? Sepertinya bukan, sebab pemuda-pemuda kampong sebelah hutan ini malah pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Di kota banyak pekerjaan, pikirnya.

Orang kota itu membawa banyak peralatan, alat berat tentunya, jangan-jangan untuk menebang hutan. Ya hutan. Hutan yang biasanya mereka tebang. Seperti di tempat-tempat lain kepulauan ini, mereka menebang hutannya, bukan pohonnya. Musnah. Itulah bedanya orang kampung dengan orang kota. Kalau orang kampung hanya menebang pohon untuk keperluan hidup sehari-hari mereka. Sementara orang kota menebang hutannya untuk memenuhi keperluan nafsunya. Ah, biadab.

Garudaku hilang. Hanya ada di kanvas guru-guru melukis imaji, hanya ada dalam cerita guru sejarah yang sebetulnya harus jujur belum pernah melihat Garuda sekuat itu, dalam rumus kode buntut guru matematika.

Aku kecewa, buat apa aku bisa terbang kalau aku tidak bisa memenuhi hasrat masa kecilku melihat dan bercengkrama dengan Garuda. Garuda tinggal namanya saja. Dalam mimpi pengusaha penerbangan, dia ingin mempunya pesawat terbang sekuat Garuda. Pengusaha kacang tanah kemasan, dia ingin kacangnya besar sebesar Garuda dibandingkan kelinci. Garuda, terlanjur menjadi gambar, terlanjur menjadi simbol, terlanjur menjadi lambang, artinya sebagai identitas wilayah berkapasitas Negara Kesatuan. Garuda, burung yang kuat, negara lemah, tak ada hubungan, tidak nyambung.
  
Dalam pertandingan sepak bola, Tim Garuda Muda memang kuat. Tapi, menang juga tidak hubungan dengan burung garuda, bukan karena burung garuda yang tangguh. Tapi karena keuletan tim itu.

Ah, buat apa aku gantungkan mimpiku pada keinginan bertemu garuda. Lebih baik aku pergunakan kemampuan terbangku untuk berkeliling menebarkan benih-benih hutan baru, sambil memata-matai orang kota agar tak mengganggu hutan baruku. Dan, orang kampung, orang desa bisa menebang hutan untuk kehidupan mereka sehari-hari. Orang kota berani bayar mahal hanya untuk melihat hutan. Hutan asli lho, bukan sekedar lukisan hutan yang ada di tengah kota itu.

Seperti sudah aku jelaskan, terbangku hanya mimpi masa kecil, dalam tidur nyenyakku setelah puas bermain dalam hutan, bersama teman-temanku. Sekarang, teman-temanku itu ada yang menjadi menteri, ada yang menjadi dosen, pemimpin partai, menjadi DPRD di Kota, ada juga yang mau jadi presiden. Semoga memori tentang hutan masih tersimpan rapih dalam bawah sadar mereka.

Aku berharap temanku itu bisa mewujudkan mimpi-mimpi masa kecilku, mimpi orang kecil, tentang garuda yang perkasa, tentang hutan dimana garuda bisa memelihara keperkasaan dan eksistensinya dan tentang kebebasan bermimpi tanpa batas, orang besar atau kecil, kaya atau miskin. Satu yang wajib ada: dia layak bermimpi

Ayatulloh Marsai
28 November 2011

Selasa, 22 November 2011

Sang Kilat


Dimana aku sekarang. Gelap sekali. Aku hanya bisa meraba, ada istri dan anakku di samping, setia mendampingiku walau dalam kegelepan. Aku tersesat. Dan, anak istriku ikut tersesat karena pilihan langkahku kesini.

Gelap sekali disini. Samar-samar aku melihat warung kecil, samar sekali, kadang muncul kadang tenggelam dari pandangan. Tidak banyak isi di sana, hanya beberapa kebutuhan dapur dan kamar mandi. Aku juga, dalam gelap ini, masih bisa menerka, sepertinya ada bangunan sekolah di uatara sana. Sepi. Mati. Yang ada gelap, dan bayangan ketika sedikit sinar kilat menerpa. Semula aku sangat berharap, cahaya ini menyelamatkan. Aku gembira cahaya datang.

Namun, aku salah. Cahaya itu merenggut nyamanku dalam gelap. Aku panik. Aku takut, semakin takut, bukan atas nyawaku sendiri. Namun, keselematan dan masa depan anak-istriku.

Cahaya kilat. Ah dasar, kau pengundang halilintar. Aku butuh cahaya, tapi cahaya yang menentramkan, bukan yang menakutkan. Bukan cahaya yang justru membuat aku lari dan bersembunyi dari alam terbuka. Bukan cahaya yang membuat bangunan sekolah itu dibayangi bayangannya sendiri. Bukan cahaya yang membuat warung itu samar. Tuhan! Untuk apa cahaya ini kau kirim kemari? Apakah hanya sebagai tanda akan datang halilintar, menyambar aku, anak, dan istriku. Mati di atas bangunan sekolah, di sebrang warung mungil itu? ??

22 November 2011/07:15
Ayatulloh Marsai

Sabtu, 20 Agustus 2011

Wisata Ziarah dan Sejarah


Oleh Ayatulloh Marsai

“Menjelang bulan suci Ramadhan 1432 H, ribuan peziarah dari berbagai daerah berdatangan ke kawasan Masjid Agung Banten Lama dan makam Sultan Maulana Hasanudin di Kota Serang, Provinsi Banten” (Republika, 25 Juli 2011).
Tardisi ziarah menjelang puasa Ramadhan ini sangat luas tersebar ke seluruh daerah Banten khususnya, Indonesia pada umumnya. Dari kalangan apa saja, petani, pedagang, pengusaha, karyawan dan pegawai pemerintah. Dari kota, hingga ke desa-desa.
Bagi mereka yang punya cukup uang, tidak jarang melewatkan awal puasa dengan berziarah ke Mekkah (umrah). Yang lain juga tidak ketinggalan berduyun-duyun berzaiarah ke makam-makam wali terdekat, atau se-Indonesia. Orang yang mau berangkat ke Mekkah biasanya merasa “wajib” ziarah dulu ke makam wali-wali tanah air. Ini artinya, mereka sadar akan jarak Mekkah cukup jauh. Untuk melakukan perjalanan jauh, maka yang dekat jangan sampai terlewatkan. Dan yang lebih “wajib” lagi ziarah ke makam ibu-bapak, atau nenek-kakek di pemakaman kampung.
Menjelang datangnya bulan puasa kita melihat tradisi ziarah ini begitu fenomenal di masyarakat kita. Kaitannya dengan Ramadhan, ziarah merupakan media menyambung silaturrahmi dengan kerabat dan mendokan bersama orang tua atau saudara-saudara yang sudah meninggal. Dalam tradisi masyarakat kita berziarah ke makam para waliullah dipercaya mempunyai hikmah tersendiri bagi peziarahnya. Terjalinnya tali silaturrahmi, mendo’akan yang sudah meninggal dan bersedekah kepada para pengemis, merupakan bagian dari persiapan-persiapan untuk menjalan ibadah puasa yang hikmat.
Khusus untuk obyek wisata ziarah Banten Lama, seorang arkeolog, Muarif Ambary dalam “Menemukan Peradaban”, menggolongkannya sebagai obyek ziarah death monuments, berkaitan dengan para wali dan keturunannya yang amat kharismatik. Ini bisa dilihat dari berbagai macam prilaku para peziarah. Setiap tahun pada bulan Ramadhan, media massa merekam peningkatan jumlah pengunjung, baik dari lokal Jawa, maupun dari pulau-pulau lain di Indonesia. Situasi ini memperlihatkan Banten secara historis sangat diperhitungkan oleh daerah-daerah lain di Indoensia.
Tentu juga oleh dunia Internasional, tidak jarang kita melihat touris-touris mancanegara berseliweran di kompleks Banten Lama ini. Walaupun perspektif para peziarah tadi berbeda dengan touris mancanegara. Peziarah datang untuk mendo’akan para wali, touris untuk melacak, menelusuri dan meneliti (sejarah) Kerajaan Islam Banten. Perihal penelitian ini sering juga dilakukan oleh para akademisi kita. Dari perbedaan perspektif itu sekaligus menunjukan kesamaan kepada kita bahwa keduanya menunjukan pentingnya kedudukan Banten Lama di mata internasional.
Mestinya, pada perkembangannya nanti, pihak pengelola harus lebih serius menangani wisata ziarah ini. Diantaranya dengan menggabungkan perspektif ziarah dan sejarah dalam satu paket perjalanan wisata. Memisahkan keduanya ibarat memisahkan ruh dari jasadnya. Sebab, memisahkan keteladanan, perjuangan para wali/tokoh sejarah dari dimensi kemanusiaan bisa menjerumuskan pada pengkultusan dan pendewaan tokoh itu sendiri. Bahwa kemashuran Sultan Maulana Hasanudin, Sultan Maulana Yusuf, dan Sultan Ageng Tirtayasa, tidak datang begitu saja. Kemashurannya tidak lepas dari kerja keras, strategi berperang dan memerintah, karya, dan inovasi untuk menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, memisahkan tokoh sejarah dari keimanan sebagai spirit perjuangannya, juga akan mengkerdilkan pengetahuan sejarah. Padahal dalam setiap peristiwa heroik pasti ada spirit yang diimani oleh tokoh sejarah itu.
Alangkah indahnya bila obyek wisata Banten Lama dikelola dengan menggabungkan dimensi ziarah dan sejarah tersebut. Pengunjung dipandu sejak pintu masuk untuk  berziarah ke makam raja-raja Banten, kemudian ke Masjid Agung, Istana Surosowan, Kaibon, Benteng Spleewizk, Kelenteng, Tasikardi dan Museum Kepubakalaan Banten. Yang terjadi sekarang, jarang sekali para peziarah singgah ke tempat-tempat bersejarah, selain makan dan masjid. Padahal, dengan mengunjungi obyek-obyek lain, seperti istana, benteng, perpustakaan, masjid serta benda-benda rerelik lain dalam wisata ziarah, akan memberikan kesadaran sejarah yang utuh tentang ketokohan dan perannya dalam lingkup kebangsaan.
Pengandaian itu akan terwujud, paling tidak jika terpenuhinya dua hal. Pertama, pengunjung wisata diorganisir. Selama ini pengunjung masih bersifat spontanitas dan tak terorganisir, hingga menyulitkan pengelola untuk memandu secara khusus dan professional. Tidak ada salahnya, pihak pengelola, mulai menggunakan tiket masuk ke komplek Banten Lama dan bekerja sama dengan biro travel. Dengan demikian, disamping bisa mendongkrak pemasukan anggaran bagi pemerintah setempat juga bisa memudahkan pemanduan wisata ziarah dan sejarah ini.
Kedua, pemandu ziarah mempunyai informasi yang cukup tentang latar belakang kesejarahan obyek wisata tersebut. Selama ini juga pemandu ziarah hanya memimpin ziarah. Tidak memberikan informasi kepada peziarah tentang latar belakang sejarah tokoh yang diziarahi. Begitu pun kepada para touris asing, para pemandu tidak bisa memberikan pelayanan lebih. Belum lagi bicara bekal berbahasa asing, mungkin nihil. Maka untuk kepentingan penggalian informasi biasanya touris asing membawa guide sendiri, baik dari biro wisata atau akademisi, untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai obyek yang dikunjungi.
Bagaimanapun, menurut Ambary (1998: 369), wisata ziarah Islam harus bisa meningkatkan apresiasi terhadap nilai-nilai keislaman dari peninggalan sejarah dan purbakala tersebut, sekaligus meningkatkan penghayatan berdasarkan informasi yang benar dan luas mengenai kedudukan, fungsi dan peran Islam dalam kehidupan bangsa.
Demi tercapainya tujuan itu, baiknya pengelola, pemerintah maupun swasta, tidak memugar aspek-aspek sejarah, karena justru akan mencerabut nilai wisata ziarah dari konteks kesejarahannya. Dan, pada gilirannya akan turut mendangkalkan pemaknaan ziarah itu sendiri. Pemugaran, atau membangun bangunan baru, seandainya diperlukan, hendaknya disinergiskan dengan pendapat para ahli sejarah, arkeolog, dan ahli disiplin lain yang berkaitan. Karena bagaimanapun, kompleks Banten Lama adalah aset bangsa, identitas bangsa, harus dijaga dan dikembangkan bersama untuk kepentingan bangsa.
Termasuk, membeludaknya peziarah setiap tahun pada awal bulan Ramadhan dan Lebaran, semoga memberikan efek keberkahan finansial bagi Negara, sekaligus bisa memperkuat nilai-nilai keislaman dan kebangsaan kita. Amin!
Penulis adalah guru Sejarah Kebudayaan Islam di MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah - Cilegon.

Rabu, 10 Agustus 2011

Ayo Bangun Sekolah, Stop Konsumerisme!

6 August 2011
03:12

Oleh Ayatulloh Marsai
Nyaris setiap hari saya membaca koran Banten Raya Post, halaman per halaman. Tapi baru kali ini saya betul-betul merasa “ngilu” membaca kekontrasan yang ada, per halamannya. Halaman awal tentang salah satu calon gubernur kita dilaporkan kepada Panwaslukada karena mencuri start kampanye. Kolom Tajuk prihatin dengan bangunan sekolah yang roboh, dan infrastruktur yang tak layak di usia Pemprov Banten yang sudah menginjak 11 tahun. Kemudian, ada camat yang ditengarai tidak netral menjelang pilgub. Ada berita PNS tak sadar zakat. Ada rekening gendut. Dan yang mencengangkan kita punya tempat perbelanjaan baru di Serang.


Jika benar, media ini gambaran umum situasi di Banten, maka usia 11 tahun Pemprov Banten tak sepadan dengan prestasinya. Masih banyak hal negatif daripada positifnya. Yang paling memilukan, ketika kita sandingkan antara keprihatinan Tajuk: “Ayo Bangun Sekolah Rusak,” dengan halaman akhir Barayapost hari ini (5/08/11), “Peresmian Mall of Serang dan Hipermart”. Sekolah yang rusak, kok yang dibangun malah Mall!


Saya kira kontradiksi ini bisa dibaca dengan mata telanjang. Tak perlu pisau analisis yang rumit-rumit. Setiap orang pasti tahu bahwa untuk sejahtera, masyarakat harus produktif. Bukan malah ditarik ke jerat-jerat konsumerisme. Untuk produktif masyarakat harus berpendidikan, bukan berbelanja. Karena hanya dengan pendidikan manusia bisa bertanggungjawab terhadap nasib diri dan bangsanya. Juga berakhlak, berkarakter, dan berjiwa demokratis. Memang tidak ada salahnya membangun Mall, tapi tanpa dibarengi pendidikan yang cukup, pembangunan tempat belanja itu semakin memandulkan produktifitas masyarakat.


Tanggungjawab Politik
Demokrasi mengharuskan rakyat memilih pemimpin dari kalangannya sendiri, sesama rakyat biasa. Nanti, kepemimpinan yang dipegang oleh pemimpin terpilih, tidak lain untuk kepentingan rakyat. Jadi semua hasil dari pengelolaan sumber daya yang dimiliki Negara dipersembahkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Inilah, menurut istilah Kuntowijoyo, disebut politik rasional atau rasionalitas dalam politik. “Pemimpin bertanggungjawab terhadap yang mereka pimpin” (al-Hadis).


Kenyataannya rasionalitas hanya milik orang besar secara struktural. Sementara yang kecil, yang dibawah, dipaksa untuk tidak rasional. Misalnya, dalam aturan setiap warga Negara punya kedudukan yang sama di mata hukum, berhak atas kesejahteraan, berhak atas pendidikan, berhak atas kesehatan. Kenyataannya, hanya orang tertentu yang bisa mendapatkan haknya itu. Lainnya, dipaksa untuk tidak rasional: di negaranya sendiri banyak rakyat terlunta-lunta, tidak berpedidikan, dan menderita gizi buruk. Belum lagi masalah hukum, pisau mata hukum hanya tajam untuk orang kecil.


Bila pemimpin tidak bertanggungjawab terhadap yang mereka pimpin, itu berarti telah keluar dari tujuan demokrasi, tujuan kepemimpinan. Rasionalnya, rakyat bisa menurunkan pemimpin seperti itu. Di Negara kita ini rasionalitas itu seharusnya berlaku untuk presiden dan wakil, gubernur dan wakil, bupati/walikota dan wakil, DPR-RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Karena mereka semua dipilih oleh rakyat.


Pemimpin, Rakyat dan Investor
Rakyat dan investor sama-sama penting. Rakyat adalah hakekat keberadaan Negara. Tanpa rakyat, tidak ada yang namanya Negara. Investor juga penting, dikala Negara kita tidak punya modal, tidak punya skill, sementara kita punya potensi alam yang kaya raya dan rasa, maka keberadaan investor sangat dibutuhkan. Tetapi, bila kita dalam situasi kritis, harus memilih antara rakyat dengan investor. Mana yang dipilih? Disinilah segera diketahui kepemimpinan para pemimpin kita untuk siapa. Untuk rakyat, atau untuk investor (modal asing)?


Rakyat dan investor sama-sama punya kebutuhan dasar. Kebutuhan asasi rakyat adalah kehidupan yang layak, kehidupan yang aman, sehat, dan berpendidikan. Konsekuensi dari pemenuhan kebutuhan ini tercipta masyarakat yang sejahtera, aman tentram, sehat dan cedas. Tentu dengan membangun akses ekonomi bagi rakyat, demokrasi, rumah sakit dan yang terpenting gedung sekolah layak pakai. Sedangkan kebutuhan isvestor adalah keuntungan sebesar-besarnya dan keamanan investasi.


Keduanya tidak saling bertentangan pada awalnya, tapi nanti, rakyat yang cerdas tidak mau selalu bergantung dari investor. Pada saatnya, rakyat harus mengelola kekayaan negaranya sendiri. Bertentangan dengan kepentingan investor yang ingin selamanya menanamkan modalnya demi keuntungan yang besar dan jangka panjang. Maka investor sangat berkepentingan menjadikan investasinya lama-lama di Negara kita. Dan, kebodohan kita, ketergantungan kita, ke-oportunis-an kita, yang akan melicinkan jalan mereka.


Di akhir tulisan ini pertanyaan harus diajukan: sudah berapa besar investasi yang “tertancap” di Banten. Dan hasil besaran investasi itu, sudah seberapa pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan asasi rakyat Banten? Nyatanya masih ada gedung sekolah roboh, busung lapar, gizi buruk dan “teror batin” atas rakyat kecil untuk bebas berserikat. Pangkal “seabreg” masalah ini adalah kebodohan, oleh karena itu rasionalitas dalam politik mewajibkan pemimpin untuk mencerdaskan rakyatnya. Ayo bangun sekolah! Stop konsumerisme.


*Penulis adalah Guru Sejarah Kebudayaan Islam, MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah.

Menunggu Jawaban Untirta

(Tanggapan Atas Tulisan Abdul Salam Hs, “Politik Kekuasaan Mengancam Dunia Kampus”)

Oleh Ayatulloh Marsai

Seandainya saya menemukan tulisan Abdul Salam Hs (ASH), “Politik Kekuasaan Mengancam Dunia Kampus”, ini di catatan facbook, saya akan langsung kasih cap jempol, atas keberaniannya mengulas masalah penggiringan sejumlah peserta KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa) untuk menyukseskan sosialisasi salah satu calon gubernur Banten.

Cap jempol ini untuk tiga hal. Pertama, keberanian. Banyak orang menyaksikan “kejanggalan”, “ketidakadilan” dan “kesewenang-wenangan”, tapi jarang yang berani membeberkannya ke publik. Baik karena alasan “keselamatan” atau dia sendiri termasuk di dalamnya; baik karena bersikap masa bodoh, atau lebih parah lagi, menganggap “kejanggalan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan itu hal yang biasa dan wajar. Hal terakhir inilah yang termasuk kedalam tingkatan “iman” terendah masyarakat kita. Termasuk dunia mahasiswa dan kampus.

Kedua, kemampuan dia menulis. Tidak semua pemberani bisa menulis. Dan tidak semua yang bisa menulis seorang pemberani. Tulisan ASH enak sekali dibaca, mengalir dalam bertutur, original dalam penggunaan bahasa. Dan ketiga, tidak boleh dilupakan, dia baru lulus SMA. Dalam usianya yang masih muda, wawasannya sudah luas. Dia sudah membaca “Catatan Sang Demonstran”, yang belum tentu mahasiswa atau sarjana pun sudah membaca buku itu.

Kalau pembaca menyangka saya kenal ASH itu salah. Selain namanya, semua hal yang berkaitan dengan ASH saya tidak tahu. Dimana rumahnya, asal sekolah, hoby dan sebagainya, gelap. Saya hanya penggemar kolom Gagasan di Banten Raya Post. Jadi saya selalu membaca setiap tulisan yang dimuat di kolom ini. Dan, tulisan ASH bagi saya tulisan yang istimewa dan menginspirasi.

Kampus Barometer Karakter Bangsa
Banyak kampus di Banten, tumbuh bak jamur di musim hujan, kata pepatah lama. Tetapi eksistensi kampus itu dalam kontrol sosial politik samar sekali. Betul kata ASH, kampus seharusnya menjadi kontrol bagi kekuasaan. Tetapi, bukan berarti tidak berpihak kepada siapapun, dan apapun. Kampus, menurut saya, harus menunjukan keberpihakan politiknya kepada rakyat umumnya. Dan, kepada kaum miskin (da’if) lebih-lebih kepada rakyat yang dibuat miskin (mustad’afin). Bukan kepada kekuasaan itu sendiri. Keberpihakan kampus, mestinya bukan kepada orang, tapi kepada –meminjam istilahnya Kuntowijoyo, obyektifitas dan rasionalitas kekuasaan. Rasionalitas kekuasaan itu tersimbolkan dalam asmaul husna-nya Allah, sebagai penguasa sejati. Ambil satu contoh, Dia Mahakuat, Mahaperkasa, dan Mahabesar. Namun dibalik kekuatan, keperkasaan dan kebesaran-Nya, secara bersamaan Dia juga Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jadi, Dia akan berbuat Adil.

Jika, kekuasaan tidak rasional, tidak mengurusi rakyatnya, misalnya, kemudian di kampus tidak ada gejolak apapun, maka keberpihakan kampus kepada rasionalitas dipertanyakan. Sebab rasionalitas kekuasaan, harus mengurusi rakyatnya, berlaku adil dengan pemerataan akses, baik terhadap yang kecil maupun yang besar, desa mapun kota, negeri maupun swasta.

Mudah-mudahan sistem kependidikan yang dikembangkan di dalam kampus tetap rasional. Masalah penerimaan mahasiswa baru (sempat mencuat juga di koran), masalah nilai mahasiswa, masalah tugas akhir, dan seterusnya, mudah-mudahan berjalan rasional.

Sebagai kampus terbesar di Banten (karena UIN Syahid masih menggunakan nama belakang Jakarta), di Untirta –lah barometer kepedulian dunia akademik terhadap nasib bangsa, rakyat dan warga Negara, melalui sikap-sikap politiknya.

Harus Ada Jawaban
Pihak yang bersangkutan atau pihak Untirta harus menjawab opini yang dilempar ASH. Tentu lewat dan cara yang sama (imbang), lewat kolom gagasan yang disediakan oleh Banten Raya Post ini. Harapan saya, pertama: terciptanya suasana diskusi di media massa dengan bahasa tulisan. Bahasa tulisan ciri khas dunia akademis, ciri masyarakat maju; kedua: masalahnya menjadi imbang.

Supaya masyarakat tidak hanya membaca opini satu pihak, tidak menimbangnya dengan opini pihak yang tersangkut; ketiga, terpenuhinya faktor penting yang melekat pada dunia pendidikan, yakni agen of change.

Penulis adalah guru Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah di Cilegon.