Senin, 26 November 2012

Ada "Pesta Anak Yatim" di Banten Lama


Al-hamdulillah, Wisata Sejarah tahap pertama sudah terlaksana dengan selamat. Kemarin, 23/11/'12. Wisata Sejarah saya agendakan setiap tahun pada mata pelajaran Sejarah Kebudayan Islam kelas 9 MTs Al-Khairiyah karangtengah. Tempat tujuan Banten Lama, meliputi: Museum Kepurbakalaan Banten, Istana dan Benteng Surosowan, ziarah di makam Sultan Maulana Hasanudin, bermain dan belanja di arena alun-alun Banten, Istana Kaibon, Benteng Speelwizk, dan wihara. 

Seperti biasa setiap perjalanan punya kesan tersendiri, baik dari tempat-tempat yang kami kunjungi atau dari apa-apa yang terjadi di sana. Untuk tempat, hanya beberapa saja yang berubah dalam dua bulan terakhir ini. Misalnya, tempat tolilet dan tempat belanja. 

Sudah ada toilet yang benar-benar disediakan untuk pengunjung. Benar-benar, karena toilet-toilet yang ada sebelumnya itu adalah usaha masyarakat sekitar dengan tarif tertentu. Sementara yang sekarang ini, dibangun oleh salah satu perusahaan di Banten melalui dana CSR-nya. Jadi, toilet itu benar-benar umum sebagai fasilitas ziarah, bisa digunakan gratis oleh pengunjung.

Seandainya banyak perusahaan membangun fasilitas umum di sini, setahap-demi-setahap, fasilitas akan lengkap. 

Tempat belanja. Tempat belanja, semakin semerawut saja. Kita akan dibuat capek berjalan menuju tempat berziarah atau Masjid Agung. Bagaimana tidak, jalan yang tersedia bagi kita diputarputar serupa spiral, yang kalau diluruskan, perjalanannya sebetulnya singkat. Tapi justru dibuat berputarputar, melelahkan! 

Entahlah, kekuatan apa yang menghalangi penataan... hingga alun-alun Banten ini tak kunjung apik. Atau, hah... kelemahan apa yang membuat pihak berwenang seolah tak mampu berbuat apa-apa. Bagi saya, perdagangan penting di lokasi sekitar wisata dimana pun. Tetapi, sebagai lokasi wisata, keindahan, kenyamanan, pelayanan ada jauh di nomor urut depan. Tanpa keapikan dan keprigelan dalam menata tempat wisata, sama saja menghianati makna wisata itu sendiri. 

Upacara Peduli Yatim

Ketika rombongan saya beranjak meninggalkan Masjid Agung, menuju Istana Kaibon, saya bertemu dengan rombongan motor, berkonvoi menuju Majid Agung. Ada juga mobil: mobil pribadi, angkot dan juga bus. Di depan masing-masing kendaraan itu tertempel kertas bertulis: "PEDULI YATIM." Saya tanya pemandu, "apa ini Pak?" "Ini pesta yatim, masyarakat sekitar Banten punya kebiasaan ini setiap tahun setiap bulan Muharram." "Kegiatannya apa saja, Pak?" sambung saya. "Banyak, Pak. Berziarah, mengarak anak yatim, ada sunatan massal, dan juga santunan. Banyak donatur yang ikut serta menyantuni yatim yang mereka bawa." 

Luar Biasa. Ini tradisi unik. Memang semua umat Islam tahu, Muharram adalah bulannya anak yatim. Tapi, setiap wilayah punya cara unik mengekspresikannya. Nah, pemandangan di atas adalah cara masyarakat sekitar Banten Lama mengekspresikan bulan anak yatim ini.

Lama saya merenungi pemandangan bertajuk "PEDULI YATIM" itu. Saya pikir, ini dia, objek potensial wisata budaya di sekitar Banten Lama. Budaya 10 Muharram. Ini juga corak keberagamaan masyarakat Banten.

Catatan perjalanan kemarin itu, ternyata di Banten Lama, tidak hanya kaya dengan benda-benda cagar budaya dan sejarah namun juga ada cagar tradisi/ upacara yang masih rutin berlangsung di sana. Wassalam!

Cilegon, 24 November 2012

AYATULLOH MARSAI
Guru Sejarah Kebudayaan Islam, MTs Al-Khairiyah Karangtengah - Cilegon.

Selasa, 13 November 2012

Karena Bangga Dengan Banten Lama, Kita Bangga Menjadi Orang Banten


Selasa, 13 Nopember 2012
K
omplek Banten Lama selalu punya daya tarik besar untuk dikunjungi. Setidaknya, itu yang saya saksikan langsung dari dua kunjungan terakhir dalam bulan ini. Satu hari setelah lebaran Idul Adha, istri dan ibu mertua mengajak saya ke sana. Bersama anak-anak. Anak saya yang kedua sudah berusia tujuh bulan, belum pernah ke Banten Lama. Itu kata istri. Dalam pemahaman istri, anak-anaknya harus pernah berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Meski tanpa argument, saya tidak bisa menolaknya.

Gerimis yang berlahan menjadi hujan deras, hanya membuat rombongan saya berteduh sementara. Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Hujan lagi, berteduh lagi, dan seterusnya. Hingga perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam, akibat hujan yang tidak henti-henti perjalanan ke Banten Lama, dari Cilegon, sampai tiga jam-an. Hujan itu sama sekali tidak membuat kami surut semangat untuk mengunjungi Banten Lama.

Keluarga saya hanya satu dari sekian gambaran antusias masyarakat lokal Banten terhadap keberadaan Banten Lama. Para pengendara motor yang lain, di depan dan belakang kami, juga tidak sedikit. Dan mereka semua seperti tidak mempedulikan hujan yang mengguyur. Itu dari arah Cilegon, belum lagi kalau kita membayangkan dari arah yang lain. Sama ramainya.

Benar saja, sampai di Banten Lama, kepadatan pengunjung seperti air kali yang mengalir menuju satu pusaran: pintu makam Maulana Hasanudin. Dalam sela-sela ritual ziarah, azan duhur berkumandang. Suara  pemandu ziarah dipelankan dengan meletakkan pengeras suara. Ziarah terus berlanjut.

Karena sudah duhur, sehabis ziarah kami langsung menuju ke Masjid Agung Banten untuk menunaikan shalat. Kondisi yang dingin karena kehujanan di jalan tadi, saya, dan agaknya juga orang-orang lain gampang sekali kebelet buang air kecil. Orang-orang ini sibuk sekali mencari kamar kecil. Susah. Disekitar Masjid Agung tidak ditemui tempat ini. Hanya tulisan “WC UMUM” bertebaran di mana-mana dengan disertai tanda panah.

Saya terpaksa mengikuti arah anak panah itu, meskipun jauh dari Masjid Agung. Setelah berjalan sekitar 50 meter berjalan di gang-gang, baru saya menemukan tempat yang saya cari, “WC UMUM.” Di depan WC ada kotak amal, bertulis: Rp. 2000,-. Ah, tidak peduli sudah kebelet. Meskipun aneh, ditempat wisata seramai ini fasilitas umum yang benar-benar umum tanpa biaya tidak tersedia. Jadi WC yang ada ini punya warga. Atau tepatnya usahanya warga sekitar mencari penghasilan.

Selesai buang air kecil saya kembali ke Masjid Agung untuk menunaikan shalat zuhur. Di tempat wudu saya ditanya sama ibu-ibu, “Pak, ari WC dimana yah?” Saya langsung menunjuk arah tadi saya buang air kecil, sambil saya bertanya: “Ibu dariman?” “Bogor. Nuhun nya.” Ibu itu pergi terburu-buru ke arah yang saya tunjukan.

Dalam hati saya merasa malu sebagai orang Banten. Entahlah, sejak saya rutin setiap tahun ke sini (Banten Lama), bahkan lebih dari sekali, saya merasa bukan sebagai tamu lagi di tempat ini. saya kok sekarang merasa sebagai tuan rumah. Merasa berkewajiban melayani para tamu, lebih-lebih tamu dari luar kota seperti ibu tadi. Sebagai tuan rumah, saya malu menjadi orang Banten dengan keadaan ini. Saya yakin ibu tadi tidak sendiri. Dia pasti datang bersama rombongan. Dan, tidak hanya rombongan ibu tadi yang dari luar kota. Pasti banyak rombongan-rombongan yang lain yang punya masalah yang sama dengan si ibu tadi: kesulitan mencari toilet.

Saya lupa cerita, kalau toilet yang saya gunakan tadi bau-nya luar biasa. Mungkin karena saking banyak orang yang menggunakan dan belum sempat dibersihkan, juga karena habis hujan, kondisinya sangat becek. Saking baunya, sampai ada orang muntah-muntah di dalam. Hah, malu jadi orang Banten!

Itu sebulan yang lalu. Sabtu kemarin, 10 November 2012, giliran ibu saya mengajak saya ke Banten Lama. Tujuannya sama dengan istri dan ibu mertua saya sebulan yang lalu, yakni berziarah di makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Bedanya, ibu berziarah karena karena nazarnya. Ibu bernazar kalau dua anaknya, adik-adik saya, diterima kerja di tempat semula mereka berkerja, ibu akan berziarah.

Berbagai macam maksud dan tujuan orang berziarah ke Banten Lama. Kalau tadi istri saya bertujuan menziarhkan anak kami yang kedua, ibu karena nazar, maka kali ini, sambil menunggu giliran masuk ke ruang ziarah, saya berbincang dengan dua orang ibu-ibu, dalam rangka apa mereka berziarah ke Banten Lama ini.

“Sudah program rutin Pak Lurah Suheni,” jawabnya.
“Berapa mobil?”
“dua belas.”
“Ibu rombongan pengajian?”
“Nggak, siapa yang mau saja. Pak Lurah menaggung ongkos kami setengahnya.”

Saya hanya bisa bilang: o, mungkin ini ziarah politik. Tapi saya tidak berminat mendalami sisi politik ini. Lagi-lagi yang menarik buat saya adalah antusiasme yang besar masyarakat Indoensia terhadap wisata ziarah di Banten, sehingga menjatuhkan pilihan wisata mereka di Banten Lama.

Hal ini satu kehormatan bagi kita orang Banten. Ini juga berkah dan bukti keabadian dari ilmu yang dimiliki oleh orang-orang suci atau para pejuang, penyebar Islam di Banten ini. Maka sudah sepantasnya, kehormatan yang diberikan oleh para wisatawan di atas, kita balas dengan memberikan fasilitas terbaik. Supaya mereka punya kesan bagus setelah pulang ke kotanya masing-masing. Jangan sampai mereka terkagum-kagum hanya kepada orang tua kita, para pejuang yang dimakamkan di Banten Lama ini, sedangkan kepada anak cucunya, generasi Banten sekarang, malah mengumpatnya. Gara-gara kita tidak bisa menjaga apa yang mereka tinggalkan.

Tetapi tidak. Saya melihat titik terang di sebelah kanan Masjid Agung. Di sana ada bangunan baru, dekat pendopo. Karena penasaran saya mendekati bangunan itu. Ternyata, al-hamdulillah! Ini bangunan WC UMUM. Saya masuk ke dalam bangunan yang bertulis “pria.” Saya menghitung jumlah toilet di dalamnya, ada 14 kamar. Tempat buang air kecil ada 12, dan cuci tangan ada 4 buah.

Untuk detil di WC perempuan saya tidak tahu. Tapi, kira-kira sama lah. Yang penting sekarang, ada titik terang: penataan di komplek Banten Lama sudah mulai terlihat membaik. Dan, saya akan menyambut dengan bangga tamu-tamu yang datang dari luar kota bahkan luar negeri. Bila mereka bertanya dimana letak tolilet, jari telunjuk saya akan dengan pasti menunujuk WC yang keren itu.

Ke depan, tidak hanya WC, fasilitas-fasilitas yang lain juga mudah-mudahan segera menyusul. Tidak boleh dilupakan ketertiban juga masih perlu pembenahan. Semuanya harus lebih baik dari sebelumnya. Karena kita bangga dengan Banten Lama, bangga menjadi orang Banten. Amin! 

Karangtengah
Cilegon - Banten

Senin, 12 November 2012

Fokus Memperkenalkan Banten


Senin, 12 Nopember 2012

Selamat pagi. Hari ini saya punya jam di kelas 9, jam ke-2. Guru piket menyarankan saya untuk masuk, sebab guru yang seharusnya masuk jam ke-1 tidak hadir. Mungkin sakit, atau ada orang hajatan. Untuk hal yang terakhir saya juga sering mengalami. Betapa berat meninggalkan urusan permintaan masyarakat ini, baik yang langsung minta maupun tidak meminta. Tidak didatangi bagaimana… didatangi meninggalkan tugas mengajar.

Sering saya meninggalkan mengajar karena ada yang hajatan. Seharusnya ini tidak boleh terjadi, apalagi sering. Kalaupun mau, ya jarang-jaranglah. Jangan sampai tugas utama, dan juga berkaitan dengan banyak orang (umat) terbengkalai. Mudah-mudahan untuk ke depan saya bisa memilih tugas utama, dan masyarakat mau mengertinya. Juga guru-guru yang lain. Supaya pembelajaran di madrasah berjalan dengan tertib.

Selamat pagi. Kelas 9 saya rencanakan untuk fokus pada Kerajaan Islam Banten. Ini penting, supaya mereka mengenal lebih banten ketimbang yang lain. Jangan sampai pengetahuan mereka tentang daerah sendiri kurang. Kurangnya pengetahuan tentang diri sendiri (daerah sendiri) akan menyebabkan disorientasi diri. Perkembangan tanpa arah. Tidak jelas dari mana – mau kemananya.

Selain pembelajaran di kelas, saya juga seperti tahun-tahun sebelumnya, akan mengajak mereka ke situs Banten Lama. Supaya mereka menyaksikan sendiri sisa-sisa kebesaran Kesultanan Banten yang dibicarakan di kelas, baik yang tertulis di buku maupun penjelasan saya selaku guru. Akhirnya kan bertemu, antara konsep dengan realitas. Saya juga yakin akan timbul berbagai rasa, ketika mereka menginjakkan kaki langsung di puing-puing kesultanan. Rasa inilah sebagai nilai lebih, bahkan yang utama, karena saya yakin itu yang akan mendekatkan mereka pada kesadaran sejarah.

Sebetulkan tahun ini bukan kali pertama. Saya sudah melaksanakan ini sejak 4 tahun yang lalu. Efeknya luar biasa. Mereka bersemangat, antusias mencari tahu apa yang mereka temukan di sana. Yang paling penting, materi sejarah bisa terkenang dalam jangka waktu yang lama. Khas. Tidak ada sampai detik ini mata pelajaran yang mau mengemong anak-anak ke luar kelas dalam satu hari full. Mata pelajaran, yah. Kalau ektrakulikuler ada lah: pramuka, ciplukan, dan dll.

Oleh sebab itu saya pertahankan program ini. Kepala Madrasah juga kemarin bertanya, bagaimana program ke Banten Lama. Saya jawab, bagaimana yah? Sengaja saya jawab dengan kalimat bertanya lagi, karena ingin mengetahui tanggapan beliau tentang program ini. Maklum, program ini lahir dari saya sendiri, bukan program sekolah. Jadi, hitung-hitung evaluasi tanggapan Kepala Madrasah terhadap program ini. “Ya, lanjukan saja, karena angkatan-angkatan sebelumnya pergi ke Banten, nanti kalau angkatan sekarang tidak berangkat, nanti gimana githu anak-anaknya.”

Syukurlah Kepala Madrasah merestui program ini. Meskipun jawabannya lebih politis: mempertimbangkan protes siswa kalau program ini dihentikan, daripada akademis: tujuan, manfaat dan kegunaan program ‘wisata sejarah’ ini.

Tetap semangat. Protes siswa, itu artinya program ‘wisata sejarah’ yang saya gagas diminati siswa.

Karang Tengahaswah, Cilegon – Banten.

Minggu, 11 November 2012

Nazar Ibu


Minggu, 11 Nopember 2012

S
ABTU, 10 Novermber, saya diajak ibu ke Banten (Lama) untuk berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Sultan Maulana Yusuf. Kebetulan saya tidak ada kesibukan saat itu. Ya, hitung-hitung lihat keadaan di sana, saya mengiringi ibu ke Banten (Lama). Sejak ayah meninggal, setahun yang lalu, ibu selalu meminta saya untuk mendampinginya kalau ada keperluan. Sebagai anak pertama, saya mungkin dianggap paling bertanggungjawab. Dan, kebetulan paling punya waktu luang ketimbang saudara-saudara saya.

Sebelum berangkat saya bertanya kepada istri, “ibu ke Banten (Lama) dalam rangka apa ma?” Jawab istri, ibu pernah bernazar kalau Mab dan Agus, dua adikku, diterima kembali berkerja di tempat kerjanya semula, dia akan berziarah ke Banten (Lama). Ternyata do’a ibu dikabulkan, dua adik saya kembali bekerja di tempat semula. Nah, ziarah kemarin dalam rangka ini.

Diam-diam saya salut kepada ibu, kepada orang-orang kampung pada umumnya. Mereka sangat menepati janji, meski janji itu hanya mereka ucapkan di dalam hati, tidak ada saksi, melainkan janji itu hanya dia dan Allah yang tahu. Tetapi ketika harapannya tercapai maka mereka tidak mengingkarinya.

Hal nazar sangat lumrah di kampung saya. Biasanya mereka punya harapan besar terhadap sesuatu, dan berjanji dalam hati, kalau harapannya itu terpenuhi dia akan melakukan sesuatu. Sesuatu itu bisa jadi sebuah pekerjaan, memberikan sesuatu atau malah menghentikan sesuatu yang buruk.

Pekerjaan yang lumrah sebagai bentuk nazar antara lain puasa, shalat dan ziarah ini. sementara memberi biasanya shadaqah kepada fakir miskin, kepada tetangga, ngariung, numpeng dan sebagainya. Ada juga, jika harapannya tercapi orang akan menghentikan sesuatu yang buruk yang sering dia lakukan, misalnya menghentikan minum, judi, berhenti merokok dst.

Dalam rangka memenuhi nazarnya ini, ibu tidak hanya mengajak saya, tetapi juga ibue, tetah sepupu, dan keponakan-keponankan. Mungkin supaya mobil yang dicarter penuh tidak mubazir.

Dari pengalaman ini saya teringat dengan tingkahpola wakil rakyat, pejabat, aparat, dan kebanyakan orang sekarang. Dimana sering berjanji kepada sesama manusia dan mengatasnamakan Allah, ada banyak yang menyaksikan, di bawah Kitab Suci Al-Qur’an, tetapi enteng sekali janji itu diingkari.

Kalau demikian kehidupan yang sakral dan penuh kepercayaan kepada hal-hal di luar nalar lebih menyelamatkan kehidupan ini, daripada yang rasional tetapi meng-akali untuk melanggar akad-akad, baik akad dengan manusia maupun dengan Allah. Rasionalitas yang berhati-lah yang bisa menyelamatkan kita.

Dukumalang, Cilegon - Banten