Sabtu, 20 Oktober 2012

Karena Puisi Itu 'Gemblong'

Oleh Ayatulloh Marsai


Puisi itu indah, menyentuh, dan mungkin bisa dikatakan mengena. Serasa diri ada di dalamnya. Inilah yang saya rasakan sebagai pembaca puisi. Dalam puisi lain, puisi itu tajam menghantam sasaran. Tapi, tidak membuat puisi urung disampaikan kepada sasaran. Karena gaya bahasa puisi memungkinkan seperti itu. Dan, mungkin harus seperti itu.

Tetapi, ketika saya mencoba untuk memasuki dunia penciptaan puisi, ternyata puisi itu terlalu mewah buat saya. Tidak terjangkau, karena saya tidak punya instrument sama sekali untuk masuk ke dalam dunia penciptaan puisi. Larik-larik yang saya buat sejak duduk di bangku sekolah, dan kuliah, tidak pernah saya menyebutnya puisi. Hanya sebatas kata-kata yang mewakili perasaan saya waktu menuliskannya. Meski hanya satu atau dua larik, itu sangat sangat mewakili perasaan saya yang tidak sederhana. Justru kalau dibeberkan dengan banyak kata mungkin tidak bisa terwakili.

Ya, dulu saya pernah menulis dalam diary saya: “Keyakinan ‘tlah tumbuh/ bak bumi dengan langit/bersama hujan.” Tiga larik kalimat ini tidak pernah saya nobatkan sebagai puisi. Hanya mengekspresikan kebahagiaan saat itu. Tidak lebih. Sebab, puisi dalam benak saya adalah sesuatu yang “waw gitu!” Maksud saya luar biasa, tidak terjangkau. Saya beranggapan dalam puisi ada instrument-instrumen khusus untuk menciptanya. Mulai dari apa itu puisi? Bagaimana membuat puisi? Kapan puisi dibuat? Dan, untuk apa puisi dicipta? Saya tidak punya pengetahuan semewah itu. Hingga saya bertemu dengan Toto St. Radik, penyair Banten, dalam satu pertemuan pertama di Majlis Puisi Rumah Dunia (MPRD). Dari sekian banyak kata pengantar dalam pertemuan itu, yang paling saya tunggu adalah “Puisi adalah ….” Ternyata tidak ada. Sampai kemudian ada peserta MPRD yang bertanya, “Jadi, pengertian puisi itu apa?” Apa kemudian jawab Mas Toto, “Saya sendiri tidak tahu apa pengertian puisi itu.” Saya kecewa.

Segera Mas Toto memberi “gemblong” dan “nasi goreng” kepada semua peserta. Kekecewaan saya pun terobati oleh “gemblong” dan “nasi goreng” yang diberikan itu. Mas Toto memberikan majas yang sangat jelas, “Puisi itu seperti gemblong. Sementara, prosa seperti nasi goreng.” Jelas beda antara gemblong dan nasi goreng. Gemblong, makanan yang terbuat dari beras ketan yang diliwet? Kemudian ditumbuk sampai halus dan padat. Nasi goreng adalah nasi cere yang biasa untuk makan sehari-hari, diolah lagi dengan cara digoreng dengan bumbu khusus. Penegasan Mas Toto pada nasi goreng ini terletak pada keteruraian nasi sampai detil-detil nasinya. Benar-benar jelas dan terurai, gamblang. Sementara gemblong sebaliknya, benar-benar padat berisi atau isinya padat.

Dari gambaran gemblong untuk puisi dan nasi goreng untuk prosa, juga penjelasan-penjelasan lain yang menggambarkan kebebasan dalam puisi, dengan langkah pasti saya memberikan “mahkota” kepada goresan-goresan pena yang saya padat-padatkan sebagai puisi –yang dulu maupun sekarang. Pemahaman ini yang menghilangkan ketakutan tidak puitis pada goresan-goresan saya selanjutnya. Selamat datang puisi!

Sabtu, 13 Oktober 2012

Mengajarkan Isu Kontroversi di Sekolah


Dari tautan facebook seorang Moeflich Hasbullah (Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung), saya mengetahui ada buku baru yang baru saja di-launching di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Kemudian saya klik tautan itu. Saya dihantarkan pada sebuah website yang tentu saja memberitakan lebih panjang dari sekedar yang ditulis oleh Moeflich Hasbullah.

Buku itu berjudul “Hari Terakhir SM. Kartosuwiryo”, karya Fadli Zon. Kabarnya buku ini laris terjual karena mengungkap data baru mengenai SM. Kartosuwiryo. Tentu saja secara bersamaan juga membongkar penulisan sejarah nasional selama ini, yang menurut Fadli Zon telah mengelabui banyak kalangan selama kurun waktu 50 tahun terakhir.

Tawaran baru buku ini, pertama, kuburan SM. Kartosuwiryo berada di Kepulauan Seribu, di Pulau Ubi. Temuan ini dibuktikan dengan 81 lembar foto-foto menjelang eksekusi mati Kartosuwiryo, tahun 1962. Temuan ini meruntuhkan catatan sejarah sebelumnya bahwa kuburan Kartosuwiryo berada di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.

81 lembar foto S. M. Kartosuwiryo menjelang kematiannya, selain sebagai bukti otentik, juga menjadi kelebihan tersendiri bagi buku ini. Selain juga keberanian. Foto ini tidak pernah beredar sebelumnya. Dan, mungkin sebagai dokumen rahasia negara. Suatu prestasi besar bisa menemukan bukti baru dalam sejarah. Karena pada akhirnya bisa meluruskan sejarah yang selama ini bengkok (dibengkokan).

Kedua, dengan terbitnya buku “Hari Terakhir Kartosuwiryo,” terungkap tentang tiga permintaan terakhir Kartosuwiryo yang ditolak oleh Soekarno. Dari empat permintaan terakhir sebelum eksekusi dilaksanakan, hanya satu yang diterima, yakni bertemu dengan keluarganya. Pertemuan terakhir ini digunakan untuk makan bersama keluarga.

Tiga permintaan yang ditolak itu: permintaan untuk bertemu dengan petinggi-petinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, permintaan agar eksekusi mati disaksikan oleh perwakilan keluarga, dan terakhir, permintaan agar jenazahnya nanti dikembalikan kepada keluarga.

Kartosuwiryo Dalam Buku Pelajaran Sekolah
Dalam kurikulum pendidikan nasional memang tidak ada satu pembahasan khusus mengenai Kartosuwiryo. Nama Kartosuwiryo disebutkan ketika membahas “gangguan keamanan dalam negeri.” Kartosuwiryo disebut sebagai pendiri Negara Islam Indonesia dengan tentaranya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melakukan “pemberontakan” kepada pemerintahan Republik Indonesia. Kartosuwiryo ditangkap, kemudian dihukum mati pada tahun 1962.

Dalam bingkai Sejarah Nasional penafsiran di atas bisa dianggap suatu kemestian. Karena tujuan pemberlajaran Sejarah Nasional untuk menumbuhkan rasa cinta generasi bangsa kepada negaranya. Tetapi ketika sebuah kesimpulan, pemberontakan misalnya, tidak diberikan argumen sebab-akibat dan gambaran kontekstual pada saat itu di dalamnya, maka penafsiran itu menjadi menyesatkan. Bahkan menurut sejarawan Indonesia, Taufik Abdullah, penulisan sejarah nasional harus berpegang teguh pada kejujuran.

Dalam hal ini, jujur berarti harus bisa menggambarkan secara empiris kenapa Kartosuwiryo memproklamasilan Negara Islam Indonesia (NII)? Kenapa membelot dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (waktu itu RIS)? Sampai kemudian dijatuhi hukum mati?

Pertanyaan-pertanyaan itu harus “sekuat-tenaga” dijawab oleh guru sejarah di sekolah. Karena materi pembelajaran ini masuk ke dalam isu-isu kontroversial. Karena menyangkut ideologi Islam, lebih-lebih umat Islam. Dalam bahasa Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Islam tidak pernah menjadi sejarah (masa lalu). Islam akan selalu aktual. Hingga kemudian tidak ada jarak antara masa lalu dengan masa kini. Dengan ungkapan lain, sejarah tidak pernah benar-benar menjadi masa lalu. Sejarah itu melingkupi masa lalu, masa kini sekaligus masa depan.

Guru sejarah berada di tengah rentang masa lalu dan masa depan itu, harus menunjukan masa lalu yang benar agar generasi sekarang tidak tersesat menuju masa depan. Dan, ketika mengajarkan isu-isu kontroversial menyangkut agama dan ideologi, guru sejarah harus menemukan metode yang tepat agar tidak mendiskreditkan pihak-pihak yang punya keterkaitan dengan materi itu.

Satu hal yang tidak bisa ditawar oleh guru sejarah, mereka harus banyak membaca berbagai sumber sejarah menyangkut NII dan DI/TII ini. Sebab hanya dengan membaca banyak sumber, kita bisa mengetahui berbagai versi interpretasi sejarah, pada akhirnya dapat melihat secara utuh  peristiwa masa lalu. Juga akan terhindar dari indoktrinasi dalam mengajarkan sejarah nasional. Wallahu A’alam.

AYATULLOH MARSAI
Guru Sejarah di Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.

Mengkritisi Ijazah Palsu


Oleh Ayatulloh Marsai

Adalah guru profesi paling berkewajiban dan bertanggungjawab dalam perbaikan generasi bangsa ke depan. Hingga ketika bangsa ini dilanda korupsi, guru dan dunia pendidikan tidak luput dari tudingan bersalah. Apalagi berkaitan dengan hubungan seks bebas, narkoba, tawuran di kalangan pelajar. Banyak kalangan menganggap guru dan lembaga telah gagal mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.

Meskipun sebetulnya banyak faktor turut serta menyumbang terjadinya penyimpangan sosial tersebut, seperti faktor keluarga, lingkungan, dan media. Namun lembaga pendidikanlah yang dianggap paling bertanggungjawab. Mungkin karena lembaga pendidikan adalah lembaga paling formal dan mendapat konsentrasi anggaran negara ketimbang yang lain.

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan ditemukannya ijazah palsu di kalangan guru yang sedang mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Peserta itu dari Banten. Kenyataan ini melukai profesi guru yang sedang bekerja keras, di tengah gelombang globalisasi, mencapai tujuan menciptakan generasi yang jujur dan bertanggungjawab. Di tengah profesi guru sedang dituntut melahirkan anak didik berkarakter. Sementara, ada segelintir guru yang kedapatan menggunakan ijazah palsu untuk menunjang profesinya.
Temuan ini sejatinya tidak berhenti sampai pada pemecatan guru-guru bersangkutan. Hendaknya temuan ini dijadikan titik-tolak evaluasi dunia pendidikan sekarang.

Pertama, temuan ijazah palsu bisa dijadikan sebagai “tanda” bahwa sebagian –sedikit banyak, mental pendidik kita sedang sakit. Temuan ini sebagai momentum yang bisa kita digunakan sebagai titik awal untuk “menghabisi” penyakit-penyakit lain, atau justru sumber penyakit sebenarnya, yang “jangan-jangan berkembang pada sebagian kalangan pendidik, yakni mengambil jalan pintas untuk mencapai tujuan. Seperti sindiran sebuah iklan, “jalan pintas dianggap pantas!”

Jika benar mental seperti itu merasuki sebagian pendidik dan lembaga pendidikan maka inilah “biang-keladi” dari ketimpangan yang bermunculan pada bangsa ini. Karena semua persoalan dicarikan jalan pintasnya. Secara bersamaan berarti mengingkari proses yang semestinya dalam mencapai tujuan. Bila demikian, mungkin bukan hanya ijazah yang dipalsukan (baca: dicarikan jalan pintasnya). Tidak mustahil juga pada kenaikan jabatan, status akreditasi, pengangkatan guru dan bahkan database sertifikasi itu sendiri, bisa jadi dicarikan jalan pintasnya. Jadi intinya adalah mental korup.

Kedua, kasus pemalsuan ijazah saya kira kecil kemungkinannya sebagai kasus yang berdiri sendiri. Kemungkinan kasus ini mempunyai hubungan dengan “orang lain” sangat besar. Apalagi bila kita mendapati kenyataan, satu diantara ijazah palsu itu milik guru berstatus PNS. Tentu membutuhkan teknologi lumayan tinggi, kalau tidak pengawasannya yang tidak ketat, dengan satu dan berbagai sebab.
Oleh karenanya, pihak Universitas Negeri Jakarta (dulunya IKIP), sebagai pihak yang dirugikan dalam hal ini, mesti memproses secara hukum kasus ini. Supaya jelas apakah mereka memalsukan ijazah ini dengan tangan sendiri atau ada organisasi lain. Ini penting. Sebab, ranah hukum, selain bisa mendudukan persoalan pada tempatnya, juga bisa memperjelas apakah guru sebagai subjek atau sebagai korban “kejahatan” terorganisir suatu lembaga.

Prasangka ini memang berlebihan, tetapi mendapati perkuliahan-perkuliahan kelas jauh yang menjamur selama ini, menjadikan hal itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Kementrian Pendidikan perlu megadakan “operasi” keabsahan lembaga-lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi. Bila menemukan perguruan tinggi “palsu,” agar menutupnya sesegera mungkin dan menyelamatkan para mahasiswanya.
Ketiga, hal yang terpaksa harus dievaluasi sebab temuan ijazah palsu ini adalah program-program pemerintah yang cendrung menilai esensi (kemampuan) dari segi formalnya saja. Melegalisasi kemampuan seorang guru dengan ijazah yang dimiliki untuk kemudian diberi kesejahteraan secara ekonomi. Akibatnya, guru-guru yang selama ini mengabdikan ilmunya di sekolah, tetapi tidak mempunyai ijazah yang disyaratkan, kemudian tidak punya peluang untuk meningkatkan derajat ekonominya. Satu-satunya jalan adalah kuliah untuk mendaptkan ijazah.

Dayung bersambut. Keinginan mendapatkan ijazah menemukan jalannya. Banyak tawaran-tawaran kuliah singkat untuk mendapatkan ijazah strata satu, bahkan strata dua sekarang. Hanya kuliah sabtu-minggu. Kelonggaran ini disalahgunakan oleh oknum lembaga atau perorangan yang tidak bertanggungjawab untuk menerbitkan ijazah. Mungkin.

Tekanan yang dialami oleh “guru-guru lama” tanpa ijazah itu, bertolak belakang dengan kesempatan yang didapat oleh pendidik-pendidik muda yang baru lulus kuliah. Pendidik yang baru lulus kuliah ini “sempurna” secara administrasi, meski tidak menjamin kemampuannya sebanding dengan ijazah yang dimiliki, atau dengan “guru-guru lama” tadi.

Disinilah saya kira, pemerintah harus terus melakukan penyempurnaan teknis atas program sertifikasi, pengangkatan PNS dan program-program lain, alih-alih untuk menyejahterakan hidup para pendidik malah menyakiti rasa keadilan sebagian kalangan yang sudah lama mengabdikan dirinya di masyarakat.
Akhirnya, kasus ijazah palsu di kalangan pendidik ini bisa menjadi jamu pahit bagi dunia pendidikan, terutama untuk instansi pemerintah yang berwenang atas pendidikan. Hingga dunia pendidikan ke depan lebih sehat untuk tercapainya tujuan-tujuan pendidikan nasional. Dan, sempurnanya kehidupan berbangsa dan bernegara kita. 


*Sumber: Radar Banten, 26 September 2012

AYATULLOH MARSAI
Guru di Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.
Alumni UIN SGD Bandung.

Senin, 08 Oktober 2012

Siapa Bilang Kami Pengangguran?


Oleh Ayatulloh Marsai

Sebelum lahan-lahan ditanami gedung, pabrik, perumahan, semua orang bekerja. Kami cukup membolak-balik tanahnya. Dari tanah kami mendapatkan apa saja yang kami tanam. Menanam padi, padi yang kami panen; menamam sayuran, sayuran yang kami petik; menancapkan batang ubi, ubi yang kami masak.

Semuanya bisa menenuhi kebutuhan perut yang sebenarnya tidak seberapa. Malamnya, kami mendidik anak-anak, membekali tauhid, akhlak dan muamalah. Singkatnya, kami tidak kurang suatu apapun: kebutuhan perut terpenuhi, rohani juga sejuk. Begitulah kampung ini dulunya. Ingat, ketika panas-dingin kami cukup memakai dedaunan untuk mengusirnya. Tidak butuh rumah sakit. Alam bebas terbuka, bagi kami adalah tempat kala sehat dan sakit kami. Tidak ada masalah.

Tanah dan Air dekat sekali. Baik dalam lagu kebangsaan kami, maupun dalam bangsa kami sendiri. Lagu itu saksinya, kalau dulu tanah dan air memang sangat dekat, dan tidak bisa dipisahkan.

Tanah mengandung air. Air tak mau jauh dari tanah. Tidak seperti sekarang, tanah yang kami gali tidak ada airnya. Air yang kami minum harus diambil entah dari mana. Entah juga, apakah air-air itu “diperkosa” untuk memenuhi haus kami. Atau bagaimana? Yang jelas, kami minum air-air yang sudah dalam kemasan plastik. Kenapa bertani tadah hujan sekarang susah, mungkin itu jawabannya: air yang kami butuhkan untuk kelangsungan bertani sekarang terpenjara dalam gelas-gelas plastic, botol plastic dan gallon-galon. Sementara kami menunggu awan. Untuk membebaskan air itu, kami harus punya kertas yang entah datang dari mana, yang secara sadar sebetulnya bukan itu yang kami butuhkan. Yang kami butuhkan tetap air, dari dulu sampai sekarang. Air. Bukan kertas itu. Tidak satu orang pun, di kota maupun di kampung, yang memakan kertas ini.

Siapa bilang kami pengangguran. Mahasiswa yang berdemo itu tidak tahu. Walikota harus tahu. Wakil Rakyat apalagi. Kaum akademik gurunya mahasiswa. Kami yang mereka bicarakan, tidak pernah merasa sebagai pengangguran. Kapan kami bilang minta pekerjaan. Kami hanya berjuang mendekatkan air dengan tanah, atau sebaliknya, tanah dengan air, yang sudah dijauhkan oleh yang punya kuasa untuk menjauhkannya.

Lihat. Tuan, mari kita lihat bersama. Di gunung, pohon hidup sendiri-sendiri, tidak lagi layak disebut hutan. Untuk kita sebut sebagai bukit saja, sudah tidak seharusnya. Lukanya menganga, tulangnya dicukil oleh lalat-lalat besar bernama buldoser. Lalat robot yang secara otomasi bergerak sesuai kehendak yang memberi dia energy. Tidak ada pikiran. Meski jelas-jelas di dalamnya ada manusia. Entah, siapa yang mengendalikannya sebenarnya. Apakah manusia yang ada di dalam itu, atau manusia itu yang dikendalikan mesin. Yang jelas saling mempengaruhi. Dan, yang paling gampang dipengaruhi adalah manusia, bukan mesin.

Apa? Kamu salahkan musim panas! Kamu bilang semua ini karena kemarau! Bukankah kemarau bukan hal baru bagi bumi ini. Ini Indoneisa, tuan! Musimnya ada dua, panas dan penghujan. Jadi, hanya dua pilihan: kalau tidak panas ya hujan. Tidak ada musim yang lain. Kalau ada musim yang lain itu karena kita yang mengundangnya, atau membuatnya.

Coba. Langit, matahari, gunung ini, pohon, batu, dan teman-teman mereka, termasuk burung-burung itu, sejak kapan mereka ada di sini. Mereka penguhuni asli lahan ini. Lha kamu, baru datang kemarin sore. Nah, sejak kedatangan kamu, gunung ini jadi kerontang; pohon jadi hilang; burung-burung memilih pergi (masa harus bercumbu dengan pabrik?). Ya, tepatnya sejak kamu membawa tanaman baru bernama pabrik, gedung kantor, mal, perumahan, juga rumput-rumput yang menempel pada tanaman barumu itu, kampung mongering.

Sejak itulah kami butuh rumah sakit, sebab oksigen yang dulu kami dapat dari pohon, sekarang tergantikan oleh nafas pabrik yang busuk. Hah! nafasnya saja sudah busuk, apalagi anunya yah!

Sejak itu kami beralih pekerjaan: mendekatkan tanah pada air, mempertemukannya di ceruk kehidupan. Kami tidak menderita, hanya saja kami tidak leluasa bercengkrama dengan anak-istri, tidak punya kesempatan mentauhidkan anak-anak. Hanya saja kami harus mengisi ceruk itu dari tempat yang jauh dimana tanah-air kamu pisahkan. Siapa bilang kami pengangguran? Tidak! Hanya saja kami tidak bisa menanam, di atas atau di bawah pabrik sekalipun.[]