Oleh Ayatulloh Marsai
Dari gambaran gemblong untuk puisi dan nasi goreng untuk prosa, juga penjelasan-penjelasan lain yang menggambarkan kebebasan dalam puisi, dengan langkah pasti saya memberikan “mahkota” kepada goresan-goresan pena yang saya padat-padatkan sebagai puisi –yang dulu maupun sekarang. Pemahaman ini yang menghilangkan ketakutan tidak puitis pada goresan-goresan saya selanjutnya. Selamat datang puisi!
Puisi itu indah, menyentuh, dan mungkin bisa
dikatakan mengena. Serasa diri ada di dalamnya. Inilah yang saya rasakan
sebagai pembaca puisi. Dalam puisi lain, puisi itu tajam menghantam sasaran.
Tapi, tidak membuat puisi urung disampaikan kepada sasaran. Karena gaya bahasa
puisi memungkinkan seperti itu. Dan, mungkin harus seperti itu.
Tetapi, ketika saya mencoba untuk memasuki dunia
penciptaan puisi, ternyata puisi itu terlalu mewah buat saya. Tidak terjangkau,
karena saya tidak punya instrument sama sekali untuk masuk ke dalam dunia
penciptaan puisi. Larik-larik yang saya buat sejak duduk di bangku sekolah, dan
kuliah, tidak pernah saya menyebutnya puisi. Hanya sebatas kata-kata yang
mewakili perasaan saya waktu menuliskannya. Meski hanya satu atau dua larik,
itu sangat sangat mewakili perasaan saya
yang tidak sederhana. Justru kalau dibeberkan dengan banyak kata mungkin tidak
bisa terwakili.
Ya, dulu saya pernah menulis dalam diary saya: “Keyakinan ‘tlah tumbuh/ bak bumi dengan
langit/bersama hujan.” Tiga larik kalimat ini tidak pernah saya nobatkan
sebagai puisi. Hanya mengekspresikan kebahagiaan saat itu. Tidak lebih. Sebab,
puisi dalam benak saya adalah sesuatu yang “waw gitu!” Maksud saya luar biasa,
tidak terjangkau. Saya beranggapan dalam puisi ada instrument-instrumen khusus
untuk menciptanya. Mulai dari apa itu puisi? Bagaimana membuat puisi? Kapan
puisi dibuat? Dan, untuk apa puisi dicipta? Saya tidak punya pengetahuan
semewah itu. Hingga saya bertemu dengan Toto St. Radik, penyair Banten, dalam
satu pertemuan pertama di Majlis Puisi Rumah Dunia (MPRD). Dari sekian banyak
kata pengantar dalam pertemuan itu, yang paling saya tunggu adalah “Puisi
adalah ….” Ternyata tidak ada. Sampai kemudian ada peserta MPRD yang bertanya,
“Jadi, pengertian puisi itu apa?” Apa kemudian jawab Mas Toto, “Saya sendiri
tidak tahu apa pengertian puisi itu.” Saya kecewa.
Segera Mas Toto memberi “gemblong” dan “nasi goreng”
kepada semua peserta. Kekecewaan saya pun terobati oleh “gemblong” dan “nasi
goreng” yang diberikan itu. Mas Toto memberikan majas yang sangat jelas, “Puisi
itu seperti gemblong. Sementara, prosa seperti nasi goreng.” Jelas beda antara
gemblong dan nasi goreng. Gemblong, makanan yang terbuat dari beras ketan yang
diliwet? Kemudian ditumbuk sampai halus dan padat. Nasi goreng adalah nasi cere yang biasa untuk makan sehari-hari,
diolah lagi dengan cara digoreng dengan bumbu khusus. Penegasan Mas Toto pada
nasi goreng ini terletak pada keteruraian nasi sampai detil-detil nasinya. Benar-benar
jelas dan terurai, gamblang. Sementara gemblong sebaliknya, benar-benar padat
berisi atau isinya padat.
Dari gambaran gemblong untuk puisi dan nasi goreng untuk prosa, juga penjelasan-penjelasan lain yang menggambarkan kebebasan dalam puisi, dengan langkah pasti saya memberikan “mahkota” kepada goresan-goresan pena yang saya padat-padatkan sebagai puisi –yang dulu maupun sekarang. Pemahaman ini yang menghilangkan ketakutan tidak puitis pada goresan-goresan saya selanjutnya. Selamat datang puisi!