Senin, 13 Agustus 2012

Menumbuhkan Mental Pembelajar

Oleh Ayatulloh Marsai

Kata Ferdian Ferdi, saya harus menuliskan materi setiap hari disini. "Seperti di 'Rumah Dunia Kreatif' itu tuh Pak!," dia bilang. Mana bisa, saya pikir. Tapi sekarang saya punya prinsip 'nyemplung'. Ibarat seorang belajar renang, ya nyemplunglah langkah yang paling realistis. Kalau sudah nyemplung, mau tidak mau dia harus renang. Beresiko. Ya, itulah belajar, harus berani gagal untuk sebuah keberhasilan.

Apalagi, kemarin Mukti Jayaraksa juga bercerita kepada saya bagaimana ia pertama kali belajar mengemudi mobil. Ceritanya begini: rumahnya MJ kan di Gerem, tujuan mengemudi sekarang ke sekolah, Karangtengah. Nah, berangkatlah MJ dengan memegang kemudi, tentu didampingi oleh pelatih yang tidak lain keponakannya sendiri. Sampai di Leuweng Sawo, si pelatih mendadak permisi pulang, ada keperlu

an alasannya. Kebayang dong bingungnya MJ melanjutkan perjalanan!, 'dilanjutkan, merasa belum bisa. Tidak dilanjutkan, mau bagaimana!'

Akhirnya dengan segala resiko, MJ memilih melanjutkan perjalanan tanpa pelatih. Keringat merajai tubuh. Hanya pakai gigi satu sampai tujuan, katanya. Tapi, dari model belajar seperti ini ternyata hasilnya bisa kita lihat. Pertama, bisa lebih cepat dibanding belajar yang selalu didampingi oleh pelatih. Kedua, lebih percaya diri. Ketiga, selalu punya sikap pembelajar. Karena setiap medan jalan pastinya beda, maka seorang pembelajar pasti bisa menyelesaikan tantangan medan itu sendiri.

Saya semakin yakin dengan prinsip 'nyemplung' kita akan berada pada zona belajar yang sesungguhnya. Begitupun dengan permintaan Ferdian di atas, saya akan penuhi untuk menulis setiap hari di sini, meski tidak luput dari kesalahan di sana-sini. Oleh karena itu, saya minta kepada anggota group semuanya, untuk tidak sungkan-sungkan memberi pertolongan jika melihat apa yang saya tulis "kelelep-lelep." Ya, tolong saya untuk terus belajar!

Karangtengah, 11 Agustus 2012

Minggu, 12 Agustus 2012

Bacaan Masa Kecil Pengaruhi Masa Dewasa

Oleh Ayatulloh Marsai

Apalagi yang mesti saya tulis di group ini?

Oke, saya berusaha menggali kenangan-kenangan pertemuan saya dengan katakata. Kata-kata yang membentuk saya menjadi saat ini. Dan, pastinya katakata terus akan merubah saya menjadi fase-fase tak terduga kemudian.

Saya pernah dihadapkan pada pilihan-pilihan. Lulus Aliyah, pilihannya kuliah atau kerja; ketika keputusan saya kuliah, maka saya harus memilih perguruan tinggi; perguruan tinggi sudah dipilih, pilihan berikutnya pasti memilih jurusan apa yang mau saya ambil. Ya, saya memilih IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, jurusan Sejarah Peradaban Islam. Lalu, apa hubungannya dengan kata-kata?


Saya pernah membaca, 'bacaan waktu kecil menentukan pilihan seseorang kelak ketika dewasa.' Atau, 'bacaan waktu kecillah yang paling berpengaruh menentukan pilihan-pilihan seseorang ketika dewasa'. Mau tida mau, saya memutar ingatan waktu kecil, tepatnya bacaan apa yang saya gandrungi saat kecil. Lalu, terbayang buku lusuh warna merah tua, berpadu dengan putih. Jujur, warnanya sebetulnya sudah tidak jelas. Lembarannya juga sudah lepas, harus ekstra hati-hati memegangnya. Judulnya: Kisah 25 Nabi. Buku ini beberapa kali saya khatamkan, mungkin lebih dari 5 kali.

Buku yang lain, 'Kesaktian Pancasila.' Warnanya merah tua juga, cavernya bergambar burung garuda, di bawah garuda itu, berdiri jendral-jendral yang menjadi korban penculikan dalam peristiwa G30SPKI.

Buku-buku lainnya, saya lupa judulnya, hanya terbayang warna, gambar dan ketebalan buku tersebut. Yang jelas, buku-buku itu berkisah tentang anak-anak. Misalnya, seorang anak yang ditinggalkan oleh ibu-bapaknya yang meninggal oleh letusan gunung berapi. Kemudian si anak diasuh oleh pamannya di kota, dia belajar rajin, bertenggungjawab dan sukses; dll.

Menerawang bacaan-bacaan masa kecil itu, saya tidak heran kalau pilihan jatuh pada jurusan SPI ketika masuk kuliah. Dan, asal tahu saja, pilihan itu sudah disidangkan di depan orang tua yang sebenarnya lebih pas dengan jurusan PAI, dan juga senior-senior alumni se-Aliyah, yang menganggap saya melakukan kesalahan total dengan memilih jurusan itu.

Sampai di sini, agaknya saya harus sepakat dengan pendapat ahli psikologi di atas: 'bacaan masa kecil menentukan pilihan-pilihan masa depan.'

Godaan Untuk Yang Hobi Baca

Oleh Ayatulloh Marsai

Sejak kecanduan membaca, kelas dua Aliyah, setiap ada uang jajan cukup saya membeli Koran nasional. Dengan begitu saya tidak melewatkan waktu istirahat seperti biasanya. Atau seperti teman-teman yang lain: nyantrongi cewek pujaannya, nongkrong di warung, ngerumpi empat perjuru mata angin, dan sebagainya. Saya membaca Koran itu di kelas, sampai jam masuk tiba.

Aktifitas itu bukan tanpa godaan. Godaannya berat man! Diajak ngobrol sama cewek-cewek cantik, diledeki anak-anak sekelas: “weh rajinnya,” “wih pinter kien meh.” Paling berat bagiku ketika ada yang ngomong, “lihat, calon ranking cawu (catur wulan) ini!” Sementara, sampai aku lulus, paling banter aku ada di ranking keempat. Malu tidak tuh! Ini yang saya sebut godaan. Kalau tidak kuat, kita pasti segera menutup koran itu, kemudian berg

abung dengan aktifitas mereka.

Di rumah. Usia remaja paling senang jalan-jalan serombongan, riang-riung kesana-kemari. Nah, mereka pasti nyamperin ke rumah. “Yat, yuk ke rumahnya anu, petisan, gonjlengan, makan duren, atau bakar ikan!” Lain kali ada yang ngajak: “ke Mall yuk!” Banyak sekali acara di usia remaja, siang-malam gak pernah habis. Itu juga godaan bagi yang gemar membaca. Aku yang kadang sedang asyik membaca cerpen atau sisipan novelet di majalah punya bapak, harus ikut terseret ke acara mereka. Untung, tidak selalu bisa digoda, kadang aku masih bisa tahan untuk hal-hal yang tidak begitu penting.

Jawaban atau alasan paling ampuh untuk menangkal goaan mereka adalah kontrak kita dengan orang tua. Misal: “saya mau ke ladang sama ayah,” entah itu “macul’ atau ngambil kayu bakar. Ini senjata saya untuk menampik tawaran mereka. Dan, saya bisa terus menyusuri kata di buku atau media.

Yang tidak bisa elakkan, di rumah, saya harus bisa kompromi dengan perintah-perintah orang tua. Tidak jarang sedang seru-serunya baca, eh, bertubi-tubi perintah orang tua menembaki. Itu biasa, saya harus bisa kompromi, berdamai dengan perintah itu. Saya bawa buku sambil ke warung misalnya.

Baik godaan di sekolah maupun di rumah, sama-sama berat! Siapa bisa mensiasati godaan itu, dia akan selamat. Siapa tidak bisa, dia akan terbawa arus yang tidak jelas, entah mau kemana!!!

_Karangtengah, 9 Agustus 2012

Kebiasaan Membaca

Oleh Ayatulloh Marsai

Entah sengaja atau tidak awalnya, ayah selalu menaruh buku bacaan di meja ruang depan. Ketika sedang tidak dibaca ayah, saya membacanya. Terus berlangsung seperti itu. Setelah selesai, saya bilang kepada ayah, "saya sudah selesai membaca buku ini, minta yang baru!", begitu kirakira saya meminta kepada ayah.

Tidak terasa, hal itu menjadi kebiasaan baik (sampai sekarang). Saya suka membaca! Majalah-majalah bulanan yang ayah peroleh dari kantor, saya lahap habis setiap bulannya. Waktu itu 'majalah pembinaan' dan majalah keluarga.' Di bangku aliyah, saya sudah mulai kecanduan datang ke tokoh buku, meski beli hanya beberapa kali, ketika uang cukup saja; saya juga berusaha memburu koran harian republika kalau ada uang jajan seribu di kantong. Waktu itu republika masih 700 rupiah, meski dengan 
rute yang tidak biasa. Letak sekolah saya di utara, tapi saya menuju ke selatan dulu, simpang tiga, lalu balik lagi muter menuju ke sekolah. Oleh karena itu perginya harus lebih pagi dari biasanya.


Dari sekelumit memori itu, saya belajar hari ini, bahwa gemar membaca tidak mesti diperintahperintah tapi dicontohkan. Artinya lingkungan membaca akan lebih efektif melahirkan genarasi rajin membaca ketimbang hanya di gemborgemborkan saja. Ini berlaku di mana saja, tidak terkecuali di rumah dan sekolah.

Di keluarga orang berkewajiban membentuk lingkungan membaca sepeti di atas, di sekolah, Guru dan karyawan di sekolah. Bagaimana lingkungan keluarga dan sekolah Anda?[]