M
|
Shalat Jum’at di Kaki Gunung Santri
Ini bukan kali pertama saya berkunjung
ke Gunung Santri. Dulu, sewaktu saya kecil, orang tua bersama keluarga besar,
sering mengajakserta saya untuk berziarah ke sini, juga ke tempat-tempat lain
di Banten. Orang lebih sering menyebutnya ziarah keliling. Kegiatan ini semacam
tradisi di kampung saya, dan hampir semua kampung-kampung di Banten. Bagi kami
ziarah keliling ke makam-makam para wali di Banten bisa menambah keberkahan dan
ketenangan hidup. Tidak terkecuali Gunung Santri.
Jum’at itu (22/03/2012), saya berangkat
dari rumah sekitar jam 10.30 wib. Sebelum jam 11.30, saya sudah sampai di kaki
gunung santri, jadi kurang dari satu jam dari tempat tinggal saya di Kelurahan
Tegal Bunder, Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon. Dekat sekali, hanya terhalang
beberapa bukit sebelah barat Gunung Santri. Saya memarkir sepeda motor merah
kesayangan, lalu menyusuri rute jalan yang menuju ke puncak gunung.
Menjelang menit-menit pelaksanaan
Shalat Jum’at, pengunjung makin ramai, penumpang dua bus pariwisata dari
Tangerang memenuhi jalan sempit menuju puncak Gunung Santri. Pemandangan ini meyakinkan
kepada saya bahwa tradisi ziarah ke Gunung Santri tidak hanya berkembang di kampung
saya, namum di Banten bahkan di Pulau Jawa pada umumnya. Rombongan itu memaksakan
diri puncak, saya pastikan bapak-bapak dalam rombongan itu akan tergesa-gesa turun
untuk menunaian Shalat Jum’at nanti. Sebab, di atas tidak ada masjid.
Saya menahan diri untuk naik ke puncak
agar tidak tergesa-gesa menjalankan Shalat Jum’at. Saya memilih mampir di
sebuah masjid megah di kaki Gunung Santri ini, namanya Masjid At-Takwa. Kata
seorang bapak yang rumahnya tepat di depan Masjid At-Takwa, masjid ini usianya
baru dua tahun setelah di rehab total. Sambil beristirahat, saya menunggu waktu
Shalat Jum’at di sini, untuk kemudian naik ke puncak Gunung Santri.
Gunung Santri, Tonggak Sejarahnya Banten
Lain dulu, lain sekarang. Kalau dulu
saya diajak oleh orang tua, tanpa kesadaran apapun dalam benak saya selain
jalan-jalan. Oleh karena itu, sesampainya di lokasi, saya bersama teman-teman
sebaya sering tidak ikut tertekur dalam ritual ziarah, melainkan melihat
pemandangan yang ada di tempat itu. Tidak ketinggalan belanja mainan.
Sekarang, tentu saya berangkat atas
inisiatif sendiri. Tentu dengan tujuan sendiri pula. Antara lain ingin mengenal
lebih dekat tokoh-tokoh wali yang dimuliakan itu. Bukan dari segi kewaliannya
saja, tetapi mencoba untuk merekonstruksi kisah-kisah heroik yang berkembang
dalam tradisi lisan masyarakat. Semacam menelisik ke masa lalu, kenapa mereka
begitu dimuliakan dan dikeramatkan oleh masyarakat sekarang. Siapa tahu kita
bisa mengambil hikmah yang lain, selain sekedar menziarahi makamnya. Misalnya,
kita coba meneladani jihad mereka menyebarkan Islam, jihad mereka menghadapi penjajah
dulu.
Khusus Gunung Santri, tokoh Muhammad
Sholeh bin Adurrahman adalah tokoh penting dalam sejarah Kesultanan Banten. Dia
adalah tangan kanan Sunan Gunung Djati. Dia datang dari Cirebon bersama Sunan
Gunung Djati untuk mencari Hasanudin yang pergi demi sebuah misi. Setelah Sunan
Gunung Djati menemukan anaknya itu, Muhammad Sholeh minta izin untuk tetap tinggal
di Banten dan menetap di sini, sekaligus menjaga Hasanudin dari gangguan musuh.
Betul saja, Hasanudin harus berhadapan
dengan penguasa Banten Kuno, Pucuk Umun. Pucuk Umun menantang Hasanudin untuk
adu jago. Muhammad Soleh-lah yang kemudian diminta oleh Hasanudin untuk melawan
jagonya Pucuk Umun. Dan, menang.
Dari peristiwa itulah, Hasanudin resmi
menjadi penguasa Banten sekaligus menjadi Sultan pertama Kesultanan Islam
Banten. Peristiwa ini menegaskan pentingnya peranan Muhammad Sholeh bin
Abdurrahman, Gunung Santri, dalam sejarah Banten. Tentunya sampai sekarang,
Provinsi Banten. Kalau Provinsi Banten mau jadi bangsa besar, jangan sia-siakan
para pahlawannya (baca: Muhammad Sholeh bin Abdurahman, Gunung Santri). Itu saja!
Saya ngilu mendengar Masjid Beji direhab tanpa mempertahankan arsitektur
aslinya. Masjid ini seharusnya penting bagi Banten, tidak boleh dibongkar
begitu saja, ini peninggalan sejarah loh! Di sinilah sepak terjang tokoh Ki
Wasyid berjuang. Masjid Beji, bagi saya adalah dapurnya gerakan Geger Cilegon. Dan,
peristiwa Geger Cilegon kemudian menjadi tonggak sejarah Kota Cilegon sekarang.
Selain sisi gerakan perjuangan fisik
itu, dari Kampung Beji inilah Ki Yasin, anak Ki Wasyid mendidik ratusan
santrinya. Dan, seperti biasanya dalam tradisi pesantren, para santri ini disebar
ke pelosok-pelosok untuk mengajarkan ilmunya. Biasanya dengan mendirikan
pesantren lagi.
Konon pesantren yang ada di tetangga kampung
saya, Pondok Pesantren Nurul Qomar Karangtengah, Kelurahan Pabean, Kecamatan
Purwakarta, adalah pesantren yang didirikan oleh santrinya Ki Yasin, Kiai Qomarudin
namanya. Seperti namanya “komar” yang artinya “bulan”, beliau seperti cahaya
bulan di malam hari. Gelap bisa menjadi terang karenanya. Pengaruh langsung
pesantren Nurul Qomar ini tidak hanya wilayah Cilegon bagian utara sekarang,
tapi sampai ke Bojonegara, Pulau Panjang dan Lampung. Pengaruh tidak
langsungnya lebih luas dari itu.
Itulah pentingnya Gunung Santri, tidak
hanya berkaitan dengan Kesultanan Islam Banten dengan Muhammad Sholeh bin
Abdurrohman-nya, tapi juga berkaitan dengan Geger Cilegon dan penyebaran Islam
di Banten.
Anak Tangga, Kotak Amal dan Rempeyek
Sesuai rencana seusai Shalat Jum’at
saya melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Santri. Sepanjang perjalanan saya
menikmati sekali lika-liku menuju puncak. Dari mulai mengamati barang dagangan
yang terjejer sepanjang jalan, kotak amal dan para pengemis. Bahkan terbesit
untuk menghitung kotak-kotak amal itu. Tidak lupa pula dengan anak tangga,
belokan dan pegangan besi yang disediakan untuk mempermudah peziarah mencapai
puncak.
Menurut Ferdi, teman yang menyertai
perjalanan saya, jumlah anak tangga di sini sekitar 700-an. Sementara saya
menghitung jumlah kotak, kalau tidak salah ada 40 kotak amal. Setelah saya
amati lebih cermat, kotak amal itu bervariasi peruntukannya. Ada yang buat
masjid, anak yatim, dan sodakoh untuk pengurusan penziarahan. Tentu ini peluang
bagi pengunjung untuk bersodakoh, menanam pohon surga. Toh, para peziarah
datang jauh-jauh ke Gunung Santri atas dorongan agama. Dan, agama sangat
menganjurkan sodakoh. Ditambah dengan keberadaan sekitar puluhan pengemis,
menambah variasi peluang beramal di sini.
Capek juga kalau harus sampai puncak
dalam satu tarikan nafas. Untung di kanan-kiri jalan berjejer warung-warung
tadi. Bentuknya sudah disesuaikan untuk duduk-duduk mengendorkan otot. Saya pun
memutuskan untuk istirahat. Saya melihat rempeyek, tidak hanya di warung tempat
saya duduk, tapi di warung-warung yang saya lewati juga banyak. Tampaknya
“rempeyek” adalah salah satu panganan khas yang ada di Gunung Santri.
“rempeyek” adalah kue, lebih tepat kerupuk, yang terbuat dari tepung beras dihiasi
biji kacang tanah. Cara memasaknya digoreng. Lebih nikmat dimakan sebagai
pelengkap mie atau nasi. Saya sendiri tertarik untuk mencobanya. Sambil
beristirahat di belokan dua terakhir ini, saya memesan mie instan. Dari warung
ini saya bisa melihat pemandangan ke bawah arah selatan. Dari warung-warung
yang berjejer di pinggir jalan kita bisa melihat Kota Cilegon dan sebagian
lautan Bojonegara serta Pulau Panjang. Indah sekali.
Ada yang baru saya lihat, dibanding
pengalaman saya berkunjung sebelumnya. Ya, satu tahun kemarin saya bersama
istri dan anak ke sini tidak ada dagangan “air untuk ziarah.” Sekarang, kita
tidak usah repot-repot membawa air itu dari rumah, di warung-warung sepanjang
jalan menuju puncak disediakan. Harganya hanya 1000 rupiah, dikemas dalam botol
bekas air mineral (segala merk). Rasanya tidak kalah dengan air mineral dalam
kemasan. Saya sendiri mencoba membeli air ini untuk mengetahui keamanannya ketika
diminum. Al-hamdulillah, segar
rasanya dan aman!
Landscape
dari puncak Gunung Santri
Sampai di puncak saya dan Ferdi tidak
langsung berziarah. Kami mencoba menyelinap ke gang menuju belakang bangunan peziarahan.
Ada apa di sana, selain hiruk-pikuk ritual ziarah ini, saya penasaran.
Saya masuk gang melingkar ke arah
utara. Kosong, tidak ada bangunan di sana, yang ada bebatuan menyeringai dibalik
sela-sela rerumput. Pemandangannya amboy indahnya…! Mata lepas jauh memandang. Begitu
agresif angin membelai seluruh tubuh, sehingga saya lupa dengan pendakian
tinggi menuju puncak ini. Dari sini saya bisa melihat bebas tiga penjuru angin:
utara, timur dan barat. Di sini kita bisa berfoto-foto ria dengan landscape (pemandangan alam) pantai dan
perbukitan sebagai background. Asyik,
bukan?
Tapi, tiba-tiba keindahan itu menyurut,
ketika saya melihat lebih dalam apa yang terjadi di pantai dan perbukitan
Bojonegara ini. Di pantai, pabrik-pabrik melumat bibir-bibir laut, tak bersisa.
Di perbukitan, mesin-mesin berat menyerbu hasil kerja bom, seperti semut
menemukan gunungan gula lalu mengangsurnya ke liang rumah. Mereka melahap
batu-batu yang menjadi tonggak daerah ini sampai dasar. Singkatnya, laut
ditimbun, gunung dikeruk. Tak heran bila sekitar Gunung Santri penuh kepulan
debu tak pernah absen karenanya.
Pukul 14.00, kemudian saya teringat
belum melakukan ritual ziarah. Saya harus ziarah, nih! Saya mau membisikan kata
terimakasih kepada Muhammad Sholeh bin Abdurrahman, karena keberadaan kuburnya
di puncak Gunung Santri-lah, bukit ini luput dari nafsu serakah para investor
itu. Subhanallah, kuburan seorang waliullah, bukan hanya bisa menghidupi
penduduk sekitar (dengan berdagang), tapi juga bisa menjaga kelestarian alam
sekitarnya.
Karangtengah,
Cilegon, 23-26 Maret 2012