Senin, 26 Maret 2012

Menyusuri Jejak Sang Pengabdi di Gunung Santri

M
AKAM SYEKH MUHAMMAD SHOLEH BIN ABDUROHMAN atau lebih dikenal dengan Penziarahan Gunung Santri terletak di atas puncak Gunung Santri Desa Bojonegara, Kecamatan Bojonegara Kabupaten Serang, terletak di sebelah barat laut daerah pantai utara, 25 kilometer dari Kota Serang atau sekitar 7 kilometer dari Kota Cilegon. (Wisata Ziarah Pilgrimage, Provinsi Banten, 2008).

Shalat Jum’at di Kaki Gunung Santri
Ini bukan kali pertama saya berkunjung ke Gunung Santri. Dulu, sewaktu saya kecil, orang tua bersama keluarga besar, sering mengajakserta saya untuk berziarah ke sini, juga ke tempat-tempat lain di Banten. Orang lebih sering menyebutnya ziarah keliling. Kegiatan ini semacam tradisi di kampung saya, dan hampir semua kampung-kampung di Banten. Bagi kami ziarah keliling ke makam-makam para wali di Banten bisa menambah keberkahan dan ketenangan hidup. Tidak terkecuali Gunung Santri.
Jum’at itu (22/03/2012), saya berangkat dari rumah sekitar jam 10.30 wib. Sebelum jam 11.30, saya sudah sampai di kaki gunung santri, jadi kurang dari satu jam dari tempat tinggal saya di Kelurahan Tegal Bunder, Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon. Dekat sekali, hanya terhalang beberapa bukit sebelah barat Gunung Santri. Saya memarkir sepeda motor merah kesayangan, lalu menyusuri rute jalan yang menuju ke puncak gunung.
Menjelang menit-menit pelaksanaan Shalat Jum’at, pengunjung makin ramai, penumpang dua bus pariwisata dari Tangerang memenuhi jalan sempit menuju puncak Gunung Santri. Pemandangan ini meyakinkan kepada saya bahwa tradisi ziarah ke Gunung Santri tidak hanya berkembang di kampung saya, namum di Banten bahkan di Pulau Jawa pada umumnya. Rombongan itu memaksakan diri puncak, saya pastikan bapak-bapak dalam rombongan itu akan tergesa-gesa turun untuk menunaian Shalat Jum’at nanti. Sebab, di atas tidak ada masjid.
Saya menahan diri untuk naik ke puncak agar tidak tergesa-gesa menjalankan Shalat Jum’at. Saya memilih mampir di sebuah masjid megah di kaki Gunung Santri ini, namanya Masjid At-Takwa. Kata seorang bapak yang rumahnya tepat di depan Masjid At-Takwa, masjid ini usianya baru dua tahun setelah di rehab total. Sambil beristirahat, saya menunggu waktu Shalat Jum’at di sini, untuk kemudian naik ke puncak Gunung Santri.

Gunung Santri, Tonggak Sejarahnya Banten
Lain dulu, lain sekarang. Kalau dulu saya diajak oleh orang tua, tanpa kesadaran apapun dalam benak saya selain jalan-jalan. Oleh karena itu, sesampainya di lokasi, saya bersama teman-teman sebaya sering tidak ikut tertekur dalam ritual ziarah, melainkan melihat pemandangan yang ada di tempat itu. Tidak ketinggalan belanja mainan.
Sekarang, tentu saya berangkat atas inisiatif sendiri. Tentu dengan tujuan sendiri pula. Antara lain ingin mengenal lebih dekat tokoh-tokoh wali yang dimuliakan itu. Bukan dari segi kewaliannya saja, tetapi mencoba untuk merekonstruksi kisah-kisah heroik yang berkembang dalam tradisi lisan masyarakat. Semacam menelisik ke masa lalu, kenapa mereka begitu dimuliakan dan dikeramatkan oleh masyarakat sekarang. Siapa tahu kita bisa mengambil hikmah yang lain, selain sekedar menziarahi makamnya. Misalnya, kita coba meneladani jihad mereka menyebarkan Islam, jihad mereka menghadapi penjajah dulu.
Khusus Gunung Santri, tokoh Muhammad Sholeh bin Adurrahman adalah tokoh penting dalam sejarah Kesultanan Banten. Dia adalah tangan kanan Sunan Gunung Djati. Dia datang dari Cirebon bersama Sunan Gunung Djati untuk mencari Hasanudin yang pergi demi sebuah misi. Setelah Sunan Gunung Djati menemukan anaknya itu, Muhammad Sholeh minta izin untuk tetap tinggal di Banten dan menetap di sini, sekaligus menjaga Hasanudin dari gangguan musuh.
Betul saja, Hasanudin harus berhadapan dengan penguasa Banten Kuno, Pucuk Umun. Pucuk Umun menantang Hasanudin untuk adu jago. Muhammad Soleh-lah yang kemudian diminta oleh Hasanudin untuk melawan jagonya Pucuk Umun. Dan, menang.
Dari peristiwa itulah, Hasanudin resmi menjadi penguasa Banten sekaligus menjadi Sultan pertama Kesultanan Islam Banten. Peristiwa ini menegaskan pentingnya peranan Muhammad Sholeh bin Abdurrahman, Gunung Santri, dalam sejarah Banten. Tentunya sampai sekarang, Provinsi Banten. Kalau Provinsi Banten mau jadi bangsa besar, jangan sia-siakan para pahlawannya (baca: Muhammad Sholeh bin Abdurahman, Gunung Santri). Itu saja!
Saya ngilu mendengar Masjid Beji direhab tanpa mempertahankan arsitektur aslinya. Masjid ini seharusnya penting bagi Banten, tidak boleh dibongkar begitu saja, ini peninggalan sejarah loh! Di sinilah sepak terjang tokoh Ki Wasyid berjuang. Masjid Beji, bagi saya adalah dapurnya gerakan Geger Cilegon. Dan, peristiwa Geger Cilegon kemudian menjadi tonggak sejarah Kota Cilegon sekarang.
Selain sisi gerakan perjuangan fisik itu, dari Kampung Beji inilah Ki Yasin, anak Ki Wasyid mendidik ratusan santrinya. Dan, seperti biasanya dalam tradisi pesantren, para santri ini disebar ke pelosok-pelosok untuk mengajarkan ilmunya. Biasanya dengan mendirikan pesantren lagi.
Konon pesantren yang ada di tetangga kampung saya, Pondok Pesantren Nurul Qomar Karangtengah, Kelurahan Pabean, Kecamatan Purwakarta, adalah pesantren yang didirikan oleh santrinya Ki Yasin, Kiai Qomarudin namanya. Seperti namanya “komar” yang artinya “bulan”, beliau seperti cahaya bulan di malam hari. Gelap bisa menjadi terang karenanya. Pengaruh langsung pesantren Nurul Qomar ini tidak hanya wilayah Cilegon bagian utara sekarang, tapi sampai ke Bojonegara, Pulau Panjang dan Lampung. Pengaruh tidak langsungnya lebih luas dari itu.
Itulah pentingnya Gunung Santri, tidak hanya berkaitan dengan Kesultanan Islam Banten dengan Muhammad Sholeh bin Abdurrohman-nya, tapi juga berkaitan dengan Geger Cilegon dan penyebaran Islam di Banten.  

Anak Tangga, Kotak Amal dan Rempeyek
Sesuai rencana seusai Shalat Jum’at saya melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Santri. Sepanjang perjalanan saya menikmati sekali lika-liku menuju puncak. Dari mulai mengamati barang dagangan yang terjejer sepanjang jalan, kotak amal dan para pengemis. Bahkan terbesit untuk menghitung kotak-kotak amal itu. Tidak lupa pula dengan anak tangga, belokan dan pegangan besi yang disediakan untuk mempermudah peziarah mencapai puncak.
Menurut Ferdi, teman yang menyertai perjalanan saya, jumlah anak tangga di sini sekitar 700-an. Sementara saya menghitung jumlah kotak, kalau tidak salah ada 40 kotak amal. Setelah saya amati lebih cermat, kotak amal itu bervariasi peruntukannya. Ada yang buat masjid, anak yatim, dan sodakoh untuk pengurusan penziarahan. Tentu ini peluang bagi pengunjung untuk bersodakoh, menanam pohon surga. Toh, para peziarah datang jauh-jauh ke Gunung Santri atas dorongan agama. Dan, agama sangat menganjurkan sodakoh. Ditambah dengan keberadaan sekitar puluhan pengemis, menambah variasi peluang beramal di sini. 
Capek juga kalau harus sampai puncak dalam satu tarikan nafas. Untung di kanan-kiri jalan berjejer warung-warung tadi. Bentuknya sudah disesuaikan untuk duduk-duduk mengendorkan otot. Saya pun memutuskan untuk istirahat. Saya melihat rempeyek, tidak hanya di warung tempat saya duduk, tapi di warung-warung yang saya lewati juga banyak. Tampaknya “rempeyek” adalah salah satu panganan khas yang ada di Gunung Santri. “rempeyek” adalah kue, lebih tepat kerupuk, yang terbuat dari tepung beras dihiasi biji kacang tanah. Cara memasaknya digoreng. Lebih nikmat dimakan sebagai pelengkap mie atau nasi. Saya sendiri tertarik untuk mencobanya. Sambil beristirahat di belokan dua terakhir ini, saya memesan mie instan. Dari warung ini saya bisa melihat pemandangan ke bawah arah selatan. Dari warung-warung yang berjejer di pinggir jalan kita bisa melihat Kota Cilegon dan sebagian lautan Bojonegara serta Pulau Panjang. Indah sekali.
Ada yang baru saya lihat, dibanding pengalaman saya berkunjung sebelumnya. Ya, satu tahun kemarin saya bersama istri dan anak ke sini tidak ada dagangan “air untuk ziarah.” Sekarang, kita tidak usah repot-repot membawa air itu dari rumah, di warung-warung sepanjang jalan menuju puncak disediakan. Harganya hanya 1000 rupiah, dikemas dalam botol bekas air mineral (segala merk). Rasanya tidak kalah dengan air mineral dalam kemasan. Saya sendiri mencoba membeli air ini untuk mengetahui keamanannya ketika diminum. Al-hamdulillah, segar rasanya dan aman!

Landscape dari puncak Gunung Santri
Sampai di puncak saya dan Ferdi tidak langsung berziarah. Kami mencoba menyelinap ke gang menuju belakang bangunan peziarahan. Ada apa di sana, selain hiruk-pikuk ritual ziarah ini, saya penasaran.
Saya masuk gang melingkar ke arah utara. Kosong, tidak ada bangunan di sana, yang ada bebatuan menyeringai dibalik sela-sela rerumput. Pemandangannya amboy indahnya…! Mata lepas jauh memandang. Begitu agresif angin membelai seluruh tubuh, sehingga saya lupa dengan pendakian tinggi menuju puncak ini. Dari sini saya bisa melihat bebas tiga penjuru angin: utara, timur dan barat. Di sini kita bisa berfoto-foto ria dengan landscape (pemandangan alam) pantai dan perbukitan sebagai background. Asyik, bukan?
Tapi, tiba-tiba keindahan itu menyurut, ketika saya melihat lebih dalam apa yang terjadi di pantai dan perbukitan Bojonegara ini. Di pantai, pabrik-pabrik melumat bibir-bibir laut, tak bersisa. Di perbukitan, mesin-mesin berat menyerbu hasil kerja bom, seperti semut menemukan gunungan gula lalu mengangsurnya ke liang rumah. Mereka melahap batu-batu yang menjadi tonggak daerah ini sampai dasar. Singkatnya, laut ditimbun, gunung dikeruk. Tak heran bila sekitar Gunung Santri penuh kepulan debu tak pernah absen karenanya.
Pukul 14.00, kemudian saya teringat belum melakukan ritual ziarah. Saya harus ziarah, nih! Saya mau membisikan kata terimakasih kepada Muhammad Sholeh bin Abdurrahman, karena keberadaan kuburnya di puncak Gunung Santri-lah, bukit ini luput dari nafsu serakah para investor itu. Subhanallah, kuburan seorang waliullah, bukan hanya bisa menghidupi penduduk sekitar (dengan berdagang), tapi juga bisa menjaga kelestarian alam sekitarnya.
Karangtengah, Cilegon, 23-26 Maret 2012

Sabtu, 17 Maret 2012

Menjelang UN, Menulislah!


Sumber Foto: Ujiannasional.biz

Oleh Ayatulloh Marsai*

Judul di atas terbersit begitu saja dalam pikiran saya. Tidak terasa Ujian Nasional sudah dekat, tinggal beberapa minggu saja. Ya, mulai pertengahan April nanti Ujian Nasional akan digelar oleh seluruh sekolah di Indonesia, dari tingkat dasar sampai sekolah tingkat atas. Tidak peduli letak sekolah, di pinggir atau di pusat kota. Tidak peduli fasilitas belajar di sekolah, lengkap atau minim. Tidak peduli status sekolah, negeri atau pun swasta. Juga tidak peduli sekolah umum atau madrasah. Pokonya semua harus Ujian Nasional, bagaimana pun keadaannya. Dan, hasilnya harus sama, mencapai standar nilai yang ditentukan oleh pemerintah.

Menjelang Ujian Nasional, menulislah. Kalimat ini semacam intruksi kepada saya untuk menulis lagi mengenai posisi madrasah swasta, khususnya di Kota Cilegon, berkaitan dengan apa yang sudah diberikan oleh Pemkot Cilegon kepada sekolah umum, namun tidak kepada madrasah. Yakni, buku pegangan UN. Sudah dua kali UN lho! Artinya sudah dua tahun setelah program buku UN gratis itu dilaksanakan oleh Pemkot Cilegon. Dua tahun juga madrasah menjadi penonton yang baik untuk program itu.

Dua kesempatan saya menanyakan kepada dinas terkait. Kesempatan pertama, ketika saya menjadi peserta Seminar Pendidikan yang digelar oleh Keluarga Mahasiswa Cilegon Jakarta, Februari 2011, di aula gedung DPRD Cilegon. Kesempatan kedua, ketika Dinas Pendidikan Kota Cilegon diundang oleh peserta Kukerta IAIN Sunan Maulana Hasanudin Banten ke madrasah kami, untuk mencerahkan pikiran kelas XII, calon peserta UN tahun pelajaran 2010-2011.

Dalam dua kesempatan itu, Dinas Pendidikan Kota Cilegon, konsisten dengan jawabannya, bahwa madrasah akan mendapatkan gilirannya nanti kalau pendapatan daerah sudah bisa mencukupi. Sepertinya logis. Tapi, tidak! Karena posisi madrasah – sekolah bukan zamannya lagi ditempatkan pada posisi stratatifikasi sosial (pendekatan kelas). Kecuali pemerintah mau mengambil posisi melanjutkan pemerintahan pra kemerdekaan.

Perbedaan madrasah – sekolah dalam Negara yang sudah merdeka mestinya dipandang sebagai keberagaman lembaga pendidikan di Indonesia. Bukan pengkelasan, yang satu lebih tinggi, lebih baik daripada yang lain. Posisi yang mengakibatkan perbedaan distribusi hak lembaga pendidikan oleh pemerintah. Termasuk masalah prioritas, sekolah dulu, baru madrasah. Seperti iklan: ini dulu, baru itu!

Sampai di sini, bukankah jelas ada perbedaan (baca: pengkelasan)? Sementara, Ujian Nasional membabat habis semua sekolah atau madrasah untuk sampai pada standar nilai yang ditentukan. Namun, dari sisi hak yang diberikan Negara/pemerintah kepada sekolah dan madrasah, baik oleh pusat maupun daerah, jelas belum mencapai standar yang sama. Belum juga terpecahkan masalah pemerataan hak ini, muncul berbagai macam konsep tentang peningkatan status sekolah, misal sekolah berstandar internasional.

Tulisan ini hanya sebagai pelipur lara saya saja yang berkecimpung di madrasah swasta. Atau sebagai curhat saja kepada publik supaya perasaan dan pikiran saya plong menghadapi Ujian Nasional. Dan, ikhlas melihat anak didik saya Ujian Nasional dengan “persenjataan” yang dibedakan oleh pemerintah dari sekolah.


Sesuai dengan saran para psikolog, kalau ingin menghilangkan rasa gundah, was-was, dan semacamnya, maka kita harus tumpahkan perasaan itu keluar. Dan menurut penelitian, menuliskannya merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkan pikiran positif dan lebih fokus dalam pekerjaan. Dan harus diingat, menulis adalah cara paling merdeka untuk menumpahkan perasaan kita, tanpa takut dan malu saat mencurahkannya. Disamping pikiran kita juga plong karenanya.

Gambar: summer-lock.blogspot.com
Oleh karena itu, disamping tulisan ini untuk mengobati kesal saya kepada kondisi di atas, juga saya menyarankan kepada para siswa se-Indonesia untuk menumpahkan perasaan apa saja yang berkecamuk dalam benaknya menjelang Ujian Nasional. Supaya, apa saja yang kalian rasakan itu tumpah di atas kertas. Dijamin itu akan melegakan perasaan ketertekanan anda menghadapi UN ini. Dan, tidak hanya pada saat menjelang UN ini saja, pada momen-momen menegangkan lainnya, jurus menulis ini bisa dipakai. Rasakan hasilnya, plong! Maka sangat dianjurkan, kalian punya buku catatan harian atau yang dikenal dengan diary. Bagi yang sudah punya, maksimalkan diary itu menjelang UN.

Sumber: datakudatamu.wordpress.com
Seorang ahli pernah mengadakan penelitian tentang masalah ini. Dia meminta relawan dari sebuah kampus untuk menjadi responden dalam penelitiannya. Dia membagi responden itu menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, diminta untuk menuliskan apa saja yang dirasakan, terutama yang berkaitan dengan rasa was-was, gelisah dan traumatis, beberapa minggu sebelum ujian semester, setiap hari. Kelompok kedua, tidak diminta menulis. Hanya dianjurkan kepada mereka untuk belajar menjelang ujian semester.

Hasilnya, kelompok relawan yang diperintahkan menulis tadi, nilainya lebih unggul daripada kelompok yang dianjurkan belajar saja menjelang ujian.

Lebih lanjut, selain manfaat di atas, diary bisa melatih kita untuk menyampaikan pikiran dengan bahasa tulisan. Bahasa tulisan multak fardu ‘ain bagi insan akademik. Dalam setiap jenjang pendidikan formal, kita dituntut untuk lihai membuat karya tulis. Tentu saja kegiatan menulis di atas, --yang awalnya diniatkan untuk mencurahkan perasaan saja--- nanti akan menjadi keterampilan berharga pada jenjang pendidikan selanjutnya. Jangan sampai insan pendidikan gagap menulis gagasannya, kemudian terjerumus pada lembah dosa plagiat-isme. Kecanggihan teknologi, disambut dengan pesta copy-paste. Amit-amit cabang bayi! Wassalam.
*Penulis adalah guru madrasah, peserta kelas menulis Rumah Dunia, angkatan 19.

Jumat, 16 Maret 2012

Menjaga Mimpi

Monday, January 23, 2012

Bismillahirahmanirrahim.

Dua hari ini, saya dan beberapa anak didik saya mencoba mendekati mimpi kami. Menjadi penulis. Kami ke Gol A Gong, Rumah Dunia, tempatnya para menulis hebat. Sebab, ada yang bilang “kalau mau jadi orang sukses, bergaulah dengan orang-orang sukses”. Baik itu orangnya, buku-bukunya, lingkungannya dan seterusnya.

Mimpi ini, bagi saya bukan mimpi baru. Ini mimpi lama. Lama sekali. Tepatnya, seingat saya kelas 1 Aliyah. Saya berkesempatan bertemu dengan seseorang dalam sebuah acara Diklat Dakwah di sekolah, namanya Pak Anis. Dia memberi harapan kepada saya, atau kepada semua peserta yang tidak pandai berolah lisan, untuk berdakwah dengan tulisan. Yang sudah pandai, apalagi, lebih bagus lagi bila mendapat keduanya. Ber-olah lisan mantap, menulis juga oke.

Pertemuan dengan Pak Anis membawa perubahan besar dalam gaya kehidupan saya. Saya menjadi orang paling aneh di lingkungan pertemanan saya di sekolah. Teman-teman yang lain pagi pergi dari rumah ke sekolah langung, saya dari rumah keliling dulu ke Simpang Tiga hanya sekedar membeli Koran Republika. Baru setelah dapat Republika saya ke sekolah. Di sekolah, teman asyik ngobrol, saya hanyut dalam halaman perhalaman Republika. Saya paling aneh di sekolah ini.

Kelas 2, tahun 1997, seorang teman mengabari kalau di IAIN “SGD” Serang mau ada Pelatihan Jurnalistik Abu-abu Se-Banten. Teman itu ngajak saya untuk ikut dalam acara itu. Saya sama sekali tidak berfikir panjang, saya langsung ayo. Tapi, baiayanya mahal sekali untuk ukuran saat itu, Rp. 20.000,-. Saya berjuang menjadi pelobi paling berhasil untuk menaklukan orang tua, supaya rela mengeluarkan biaya untuk pendidikan tambahan ini. Akhirnya berhasil.

Kami berangkat. O ya, teman yang lain saya itu ikut serta bersama saya adalah Urip, dan Hasanudin. Di sana saya tercengang mendengar, melihat para penulis ini. Gol A Gong, subhanallah, menjadi pembicara dalam acara ini. Ada Toto S Radik. Saya terbakar, tapi saya tetap orang yang tidak pandai mengolah lisan, saya tidak bisa bicara dan berdialog dengan mereka karena grogi.

Dari pelatihan abu-abu ini, disamping saya bertemu dengan banyak penulis besar tadi, saya juga bertemua dengan teman-teman hebat, kakak senior “mahapelajar”, saya bisa ke ANTV, Majalah HAI dan Majalah Bola. Semakin panas motor jurnalistik saya karenanya.

Terus. Berlanjut di bangku kuliah,  jurusan Ilmu Jurnalistik sempat melambaikan tangannya kepadaku. Saya juga diperkenalkan jurusan Pendidikan Agama Islam oleh kakak-kakak senior. Modal saya dari rumah, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, saya konsisten dengan pilihan saya dan lulus. Mengenai jurnalistik saya melampiaskannya dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik di kampus.

Mimpi besar saya agak menemukan titik terang ketika bertemu dengan “Mengikat Makna”, Hernowo, dan “Menulis dengan Emosi”, dari Kaifa, Mizan. Saya menadapat kesan dari keduanya menulis itu mudah. “Lepaskan saja emosimu, kau akan bias menulis”. Kurang lebih begitu semangat yang bisa saya petik dari dua buku tersebut. Dan, inilah gaya kepenulisan saya sampai saat ini. Melepas emosi dalam diri.

Saya lulus kuliah, saya tidak jadi apa-apa. Malah saya gelisah dengan urusan pekerjaan dan penghasilan ekonomi. Saya mulai mencari bisnisan apa yang bias mengasilkan uang untuk pertahanan hidup, gengsi sarjana dan jenjang kehidupan. Sampai sekarang tidak ada yang bisa betul-betul membahagiakan saya.

Era Facebook, mempertemukan saya dengan beberapa teman lama, dulu waktu kuliah. Mereka sudah pada sukses menulis. Ahmad Sahidin, sudah menerbitkan buku, kerja di Penerbit Salamadani. Dani, meskipun sibuk ngajar di sekolah, dia menulis buku. Buku-buku pendidikan. Dua teman ini, adik kelas saya, yang dulu setahu saya kemampuannya kurang lebih sama dengan saya. Sekarang mereka sudah berkarya.

Satu lagi, Heri Ruslan, tetangga kost saya, mahasiswa jurnalistik saya,  ternyata sudah jadi wartawan beneran, senior lagi. Agaknya, waktu dia magang dulu di Koran Republika waktu PPL, berkelanjutan sampai menjadi pekerjaan.

Semua itu, saya ketahui dari fb. Dan membangunkan aku dari “tidur nyaman di sekolah”, menyadarkan saya pada mimpi lamaku. Saya harus mencobanya. Saya mulai rajin membaca Koran-koran local. Setiap isu yang menarik saya tulis dan saya beranikan diri mengirimkannya di media. Dan ternyata saya bisa, tulisan saya dimuat!!! Tapi tidak tahu menurut Gol A Gong tulisan saya itu layak muat atau tidak?

Tulisan saya di Banten Raya  Post, Sinergisitas Ulama & Umara, Kemana Efek Sosial Ibadah Haji, Amnesia Sejarah, Potret Semu Penerimaan CPNS, 100 Hari Kerja Walikota & Nasib Madrasah Swasta, Aspirasi dan Media Massa, Selamat Tahun Baru Indonesia, Menata Banten Lama dari Sekolah, Golput Juga Suara Rakyat, Ketika Santri Berkuasa, dan Menunggu Jawaban Untirta.  Di Radar Banten satu tulisan, Guru & Korupsi. 

Sampai sekarang, saya tetap mencintai mimpi saya, cita-cita saya menjadi seorang menulis. Dan sekarang saya sadar saya harus menjaga mimpi ini. Untuk menjaga mimpi itu lingkungan saya tidak boleh kena polusi, harus bersih sehat buat pohon mimpi menulis saya. Maka saya harus bergaul, bergelut dengan para penulis.

Alasan inilah diantaranya yang membawa saya ke Rumah Dunia, menyatu dengan para penulis hebat, di usia saya yang tidak remaja lagi, 33 tahun, tahun 2012.

_Ayatulloh Marsai

Kamis, 15 Maret 2012

Membongkar Rahasia Penulis Perjalanan


Judul                          : TE-WE (travel writer)

Penulis                         : Gol A Gong

Penerbit                       : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun                          : Februari 2012

Tebal                           : 103 halaman


TE-WE (travel writer), bukan buku traveling biasa. Ini kesan pertama yang akan kita rasakan ketika membaca buku ini. Buku traveling, biasanya banyak bercerita bagaimana pengalaman, suasana, hotel dan makanan di daerah atau negara tertentu yang dikunjungi. TE-WE (travel writer) tidak hanya bicara itu. Gol A Gong, penulis buku ini, membongkar rahasia para traveler  yang bisa bertualang  menjelajahi dunia dengan mendapatkan uang. Ini rahasianya: melakukan perjalanan atau petualangan dengan menuliskan pengalaman perjalanan itu, kemudian mengirimkan tulisannya ke media.

Dalam buku ini, Gol A Gong, juga membagi pengalaman bagaimana memasarkan tulisan, serta memberi wawasan kepada kita tentang tulisan apa saja  yang bisa dibuat dari sebuah perjalanan. Mulai dari feature, laporan perjalanan, sampai novel! Dia berbagi hal tulisan dengan lugas, karena memang dia melakukannya langsung.

Dia tidak hanya bertoeri. Dia sudah membuktikannya. Waktu SMA (1981), dia menjelajahi Jawa – Bali. Saat kuliah, dia keliling Indonesia (1986 – 1988). Tahun 1990 – 1992, dia susuri negara-negara di Asia: Singapura, Malaysia, Thailand, Myanmar, Banglades, India, Nepal, dan Pakistan (hal. 5).

Semua petualangan tersebut kemudian menghasilkan tulisan perjalanan. Dimuat di majalah Anita Cemerlang, HAI, dan tabloid Warta Pramuka. Tulisan-tulisan itu kemudian dibukukan, Perjalanan Asia (Puspa Swara, 1992) dan The Journey (Maximalis, Grafindo, 2008). Dari pengalaman perjalanan itu, Gol A Gong, juga membuat novel,  Balada Si Roy (Gramedia Pustaka Utama, 1989-1994) dan Bangkok Love Story (Gramedia Pustaka Utama, 1994).

Kita dipaksa yakin oleh buku TE-WE ini, karena penulisnya akan membuktikannya lagi, langsung Maret tahun ini. Mas Gong, akan berangkat bersama istrinya ke Mekah. Dia menyebut perjalanannya kali ini dengan “honeymoon ala backpacker.”

Tentu saja perjalanan ini tidak langsung ke Mekah. Bukan petualangan jadinya, kalau langsung Mekah. Dia akan mengawali perjalanan dari Singapura, naik kereta ke Kuala Lumpur, terus ke Hat Yai dan seterusnya sampai ke Mekah.

Yang menjadi berbeda dari buku ini, dibanding buku traveling lain, lagi-lagi adalah gambaran produk perjalanan itu (tulisan), bagaimana proses produksinya, sekaligus memasarkannya. Dari perjalanan kali ini, dia sudah merencanakan membuat sejumlah buku, disamping tulisan perjalanan di beberapa majalah tanah air.

Calon buku itu adalah  Hoeymoon ala Backpacker, Bukan Housewife Biasa, Spiritual Journey, The Traveler’s Wife, Road to Mecca dan Sukses di Negeri Petro Dollar. Hebatnya, semua judul rencana buku itu sudah disepakati terbit oleh sejumlah penerbit besar di Indonesia. Dan, penerbit bersedia membayar di muka untuk biaya perjalanannya.

Buku ini cocok dibaca oleh petualang yang belum menulis perjalanan petualangannya. Atau bagi yang sudah menulis, tetapi masih berserakan di buku diary. Juga pas bagi para penulis yang masih betah di rumah. Apalagi, bagi yang belum melakukan keduanya, “wajib” membaca buku ini. Sebab, Mas Gong sengaja ingin “memanas-manasi” pembaca buku ini, terutama pemula. Di setiap akhir bab, dia meneriakan kalimat provokatif, misal, “…perkenalkan: I am a traveler  writer and travel writer!”, “Itu artinya uang, kawan! Bukankah itu keren?”,  “Ayo, saatnya bertualang sambil menulis!”, dan seterusnya.

Kita akan dibikin menyesal oleh teriakan-teriakan itu, baik karena telah menyia-nyiakan perjalanan berharga yang pernah kita lakukan, dengan tidak menuliskannya, atau karena kita belum ke mana-mana sampai detik ini. []

Diresensi Ayatulloh Marsai
Warga Banten

Selasa, 13 Maret 2012

Wisata Buku Rumah Dunia ke Kompas Gramedia Book Fair 2012

Film Negeri 5 Menara

Hari Sabtu, 3 Maret 2012, (minggu kemarin), saya ikut serta dalam sebuah acara yang disebut oleh Rumah Dunia sebagai Wisata Buku. Unik. Saya baru kali ini mengenal istilah ini. Sebelumya saya hanya mengenal Wisata Sejarah dan Wisata Ziarah untuk jenis wisata unik ini. Sekarang saya kenal istilah yang benar-benar baru bagi saya, yakni WISATA BUKU. Wah, bisa saya programkan nanti di komunitas saya, atau lebih dulu di keluarga saya.

Lokasi Wisata Buku kali ini di Gelora Bung Karno, Senayan: Kompas Gramedia Book Fair 2012. Luar biasa. Saya ingat-ingat, baru kali ini juga saya ke pameran buku besar, Jakarta, dan yang mengadakan penerbit terbesar di Indonesia. Bagi saya semuanya menarik. Di sini saya bisa membeli buku-buku dengan harga “baik hati.” Bisa bertemu dengan penulis-penulis bukunya. Ada Ahmad Fuadi, Mas Gol A Gong dan Mbak Tias.

Ahmad Fuadi hadir dalam rangka promo film Negeri 5 Menara. Di sini dia berbagi perasaan, bagaimana perasaan ketika tulisan difilmkan. Dia sungguh ragu awalnya, alasannya, pembaca sudah punya film dalam benak masing-masing ketika membaca novelnya. Jadi, film hanya akan membatasi “film” versi pembaca-pembacanya. Banyak tawaran datang, tapi beberapa kali dia menolaknya. Hingga suatu saat dia sampai pada sebuah simpul pikiran: tujuan dia menulis novel ini adalah untuk berbagi pengalaman. Novel, aksesnya terbatas pada orang-orang tertentu saja. Dipastikan banyak orang yang belum membaca, tidak tahu semangat atau pesan negeri 5 menara, maka film bisa menjadi solusi. Film bisa dinikmati hampir oleh semua kalangan. Maka difilmkan-lah novel negeri 5 menara ini.

Karena kali ini –pada acara Kompas Gramedia Book Fair--, Ahmad Fuadi mempromosikan film, tentu saja  dia datang bersama insan-insan perfilman dalam film ini. Ada Ikang Fauzi dan pemeran-pemeran “sohibul menara”, saya tidak hapal nama-namanya. ***

Buku Sejarah

Di pameran buku ini, saya tidak bosan-bosan mebaca judul-judul buku yang bertebaran memenuhi mata. saya sempat mengambil buku-buku seri sejarah, seri bapak bangsa. Buku Bung Karno, Bung Hatta dan Syahrir. Yang menarik dari penerbit ini, saya lupa namanya, juga menerbitkan buku tokoh Muso, Aidit, Semaun, dan tokoh-tokoh sosialis-komunis lainnya. Istilah yang disematkan kepada mereka bukan bapak bangsa, tapi tokoh aliran kiri. Dan, tidak ketinggalan ada juga buku tentang Kartoswiryo, julukannya tokoh islam.

Agaknya ada pergeseran sudut pandang kali ini. Di buku sekolah, baik yang sosialis maupun yang islamis, mereka disebut pemberontak. Atau ada buku pegangan yang agak moderat menyebut gerakan mereka dengan gangguan keamanan dalam negeri.

Sayang, buku-buku itu –seri sejarah bapak bangsa tadi--, saya letakan kembali, tidak jadi saya beli dengan pertimbangan baru masuk pintu, takut-takut nanti ada buku yang lebih menarik lagi, saya pengen beli, uangnya sudah habis. Itu yang saya hawatirkan, maka saya letakkan buku-buku tadi di tempatnya semula. Kemudian saya terus menyusuri ruang demi ruang, kios demi kios, pameran buku ini. ***

3 Buku Pertama yang Saya Beli
Saya terpaku di kios Mizan. Lama juga saya di sana, membaca buku-buku yang sudah terbuka kemasannya. Di sini, buku yang akhirnya bisa merogoh kantong saya adalah Ngawur Karena Benar (karya Sujiwo Tejo, penerbit Imania: 2012), Jurnalisme Investigasi (karya Dandhy Dwi Laksono, Kaifa: 2010), dan Jejak Bisnis Rasul (karya Muhammad Sulaiman, Ph. D dan Aizudidinur Zakaria, penerbit Hikmah: 2010).

Saya tertarik dengan karya Sujiwo ini dengan gaya tulisan dan bahasanya yang blak-balakan, renyah, dan terang benderang dalam menggunakan istilah. Juga, isinya betul-betul membongkar hal-hal sosial politik, yang banyak orang malah tidak mau tahu dan cendrung menyembunyikannya. Itu saja. Selebihnya, saya tahu pengarangnya dari TV One, acara debat.

Buku Jurnalisme Investigasi, saya beli karena saya membutuhkannya. Saya sedang pengen banyak tahu tentang investigasi, yang disebut-sebut dalam materi kepenulisan Rumah Dunia, bisa melahirkan tulisan feature. Maka saya merasa perlu membeli buku ini untuk mengenal teori dan pengalaman jurnalis meliput berita di lapangan. Kemudian, saya bisa mengambil sesuatu yang bisa saya jadikan bekal dalam menulis feature (tulisan khas).

Sementara buku Jejak Bisnis Rasul, saya beli karena saya berharap bisa menjawab penasaran saya selama ini tentang sisi ekonomi dakwah Nabi. Maksud saya, dakwah memerlukan dana yang besar tentunya, apalagi ada banyak peperangan yang terjadi saat itu dengan kaum kafir, tentu membutuhkan logistic tidak sedikit. Nah, dari mana Nabi mendapatkan kos semuanya. Saya mencari sampai saat ini. Kalau pertanyaan ini bisa dijawab oleh buku ini, maka saya bisa menjelaskan dan meyakinkan kepada umat bahwa jadi orang Islam itu harus kaya raya, tidak lepas dari urusan harta kekayaan. Saya mau melawan pandangan, Rasul menjauhi kehidupan dunia. Sebaliknya, Rasul sangat giat bekerja. Dan, dakwah tidak akan efektif tanpa biaya yang rasional. ***

Buku Pesanan Istri & Anak Saya
Sebelum berangkat, saya bilang kepada anak dan istri, “mau nitip buku apa, Bapak mau ke pameran buku nih?” Anak saya, Tihami, memesan buku cerita bergambar. Istri pesan buku kehamilan dan menyusui atau yang berkaitan dengan mendidik anak.

Di lokasi pameran saya mencari buku anak-anak. Saya selalu menaruhnya lagi, terus sebanyak saya memegang buku itu, sebanyak itu juga saya kembalikan ke tempatnya semula. Buku anak-anak, mahal-mahal. Ya, ternyata di pameran sebesar Gramedia, buku anak-anak yang berkualitas, atau yang saya suka, tetap saja mahal. Sampai-sampai saya tunda dulu untuk mengikuti Launching Buku TE-TE (travel writer).

Sore hampir maghrib, launching buku TE-WE selesai. Saya tidak akan lupa dengan janji saya kepada Tihami, membeli buku cerita bergambar. Saya tidak akan mengecewakan dia, yang bisa mengakibatkan hilang seleranya terhadap buku. Saya bergegas menuju kios-kios yang berjejer, dengan acak saya mencari buku yang kira-kira cocok dengan Tihami. Tetap saja yang saya temukan buku cerita yang mahal. Akhirnya, saya tidak lagi mempedulikan harganya. Bagiku sekarang yang penting anak saya tidak kecewa, dan bisa tumbuh kecintaannya terhadap buku.

Lalu mata saya tertuju pada buku-buku yang cavernya bergambar hewan. Ada sapi, ikan, penguin dan sebagainya. Harganya cukup mahal untuk ukuran buku 23 halaman, 29.000 rupiah. Saya hanya bisa ambil dua buku: Itik Tak Lagi Kecil Hati dan Hadiah Buat Sapi.

Dalam perjalanan pulang saya menelpon istri, menanyakan kabar Tihami. “Tihami belum tidur Pak, nunggu Bapak, mau lihat buku katanya,” jawab istriku. Dalam hati saya bergumam syukur, untung saya paksakan tadi membeli buku ini meskipun harganya mahal. Ternyata benar anakku sangat menantikannya.

Ya, anak saya termasuk anak yang senang dan suka cita kalau dibelikan buku. Sejak bayi, saya biasakan memberi dia oleh-oleh buku, disamping mainan, layaknya bayi. Harapan saya dia akan tumbuh menjadi orang yang suka membaca dan mencintai buku. Amin!

Mengenai pesanan istri, saya belikan dia buku seri psikologi, Relasi Orang Tua & Anak (karya Dra. M.M. Nilam Widyarini, M. Si). Dengan buku ini, saya berharap istri saya semakin bijak dalam mendampingi anak-anaknya, mengantarkan mereka ke pintu gerbang kemandirian hidup. Amin. ***

Gol A Gong & Bukunya
Ini yang paling menyita perhatian saya dalam pameran buku ini, Gol A Gong, menjajakan buku karangannya langsung. Sebuah pemandangan baru bagi saya. Pameran-pameran buku (kecil) pernah saya datangi, tidak ada penulis, langsung menjajakan karyanya di stand, di kerumunan pengunjung. “Mba buku baru saya, bagus,” atau Mba, Pak, tahu Gol A Gong? Saya! Ini buku saya yang baru, boleh lihat. Beli Mbak, bagus!” dan seterusnya. Saya terus berdecak kagum, subhanallah! Mbak Tias juga sama hebatnya, berdiri ramah mengakrabi para fans yang mampir, kebetulan lewat atau yang tidak sengaja lewat dan tertarik untuk melihat-lihat karyanya.

Entahlah, apakah ini juga dilakukan oleh penulis lain. Tapi, sepanjang penglihatan saya, tidak melihat penulis lain melakukan hal yang sama di pameran ini.

Saya sendiri ingin membeli semua karya beliau. Tapi apa daya, uang tak sampai. Saya hanya bisa beli satu, Gempa Literasi. Disamping saya sudah dapat jatah buku TE-WE plus naik bus pergi-pulang, hanya dengan uang 50 ribu rupiah. Kalau dihitung-hitung ada yang gratis nih, entah itu bukunya, atau pergi-pulang ke Senayan-nya. Yang jelas, murah berkahlah. Pengalaman dapat, buku dapat! 

O, iya… dalam hati saya meniatkan untuk membeli semua karya Gol A Gong. Tunggu saja nanti, awas! ***

Buku Terakhir
Sengaja saya mengambil jalan yang berbeda dengan ketika saya masuk. Kalau tadi masuk, saya mengambil jalan sebelah kanan panggung utama, pulangnya saya mengambil sebelah kiri panggung. Tapi tetap tidak melepaskan mata dari buku-buku yang riuh menyapa.

Saya kaget bukan kepalang, ketika saya mengetahui harga buku-buku yang dipajang di sebelah kiri panggung utama, murah! Harganya hanya berkisar 5 – 15 ribu saja. Nyesal saya tadi tidak lewat sini. “Waduh gimana nih, mana bagus-bagus lagi. Rata-rata terbitan Gramedia!” teriak saya dalam hati.

Akhirnya, saya memilih. Satu saja. Tentu buku yang nantinya sangat bermanfaat buat saya. Dapat! Teaching of History (karya S. K. Kochher, penerbit Grasindo). Harganya hanya 10 ribu rupiah. Buku ini mungkin bisa menjawab kejenuhan siswa belajar sejarah. Saya akan mendapatkan cara baru, cara segar mengajarkan sejarah di sekolah. Saya bisa dengan mudah menanamkan kesadaran sejarah kepada mereka. Semoga!

Sampai di sini, dompet saya tidak bisa kompromi lagi, sekuat apapun buku-buku di rak itu merayu. Tak ada daya lagi. Ketika saya sadari, isi dompet sudah berpindah pada plastic kresek di tangan. Mereka, “anak” wisata buku kali ini, adalah TE-WE (travel writer), Gempa Literasi, Ngawur karena Benar, Jurnalisme Investigasi, Jejak Bisnis Rasul, Teaching History, Relasi Orang Tua & Anak, Itik Tak Lagi Kecil Hati dan Hadiah Buat Sapi.

Alhamdulillah, koleksi buku saya bertambah 9 buku. Semoga terus bertambah, tidak hanya bukunya, tapi juga wawasan pengoleksinya! Semoga! Wassalam.

Dukumalang, Cilegon, 11-12 Maret 2012