Sabtu, 20 Agustus 2011

Wisata Ziarah dan Sejarah


Oleh Ayatulloh Marsai

“Menjelang bulan suci Ramadhan 1432 H, ribuan peziarah dari berbagai daerah berdatangan ke kawasan Masjid Agung Banten Lama dan makam Sultan Maulana Hasanudin di Kota Serang, Provinsi Banten” (Republika, 25 Juli 2011).
Tardisi ziarah menjelang puasa Ramadhan ini sangat luas tersebar ke seluruh daerah Banten khususnya, Indonesia pada umumnya. Dari kalangan apa saja, petani, pedagang, pengusaha, karyawan dan pegawai pemerintah. Dari kota, hingga ke desa-desa.
Bagi mereka yang punya cukup uang, tidak jarang melewatkan awal puasa dengan berziarah ke Mekkah (umrah). Yang lain juga tidak ketinggalan berduyun-duyun berzaiarah ke makam-makam wali terdekat, atau se-Indonesia. Orang yang mau berangkat ke Mekkah biasanya merasa “wajib” ziarah dulu ke makam wali-wali tanah air. Ini artinya, mereka sadar akan jarak Mekkah cukup jauh. Untuk melakukan perjalanan jauh, maka yang dekat jangan sampai terlewatkan. Dan yang lebih “wajib” lagi ziarah ke makam ibu-bapak, atau nenek-kakek di pemakaman kampung.
Menjelang datangnya bulan puasa kita melihat tradisi ziarah ini begitu fenomenal di masyarakat kita. Kaitannya dengan Ramadhan, ziarah merupakan media menyambung silaturrahmi dengan kerabat dan mendokan bersama orang tua atau saudara-saudara yang sudah meninggal. Dalam tradisi masyarakat kita berziarah ke makam para waliullah dipercaya mempunyai hikmah tersendiri bagi peziarahnya. Terjalinnya tali silaturrahmi, mendo’akan yang sudah meninggal dan bersedekah kepada para pengemis, merupakan bagian dari persiapan-persiapan untuk menjalan ibadah puasa yang hikmat.
Khusus untuk obyek wisata ziarah Banten Lama, seorang arkeolog, Muarif Ambary dalam “Menemukan Peradaban”, menggolongkannya sebagai obyek ziarah death monuments, berkaitan dengan para wali dan keturunannya yang amat kharismatik. Ini bisa dilihat dari berbagai macam prilaku para peziarah. Setiap tahun pada bulan Ramadhan, media massa merekam peningkatan jumlah pengunjung, baik dari lokal Jawa, maupun dari pulau-pulau lain di Indonesia. Situasi ini memperlihatkan Banten secara historis sangat diperhitungkan oleh daerah-daerah lain di Indoensia.
Tentu juga oleh dunia Internasional, tidak jarang kita melihat touris-touris mancanegara berseliweran di kompleks Banten Lama ini. Walaupun perspektif para peziarah tadi berbeda dengan touris mancanegara. Peziarah datang untuk mendo’akan para wali, touris untuk melacak, menelusuri dan meneliti (sejarah) Kerajaan Islam Banten. Perihal penelitian ini sering juga dilakukan oleh para akademisi kita. Dari perbedaan perspektif itu sekaligus menunjukan kesamaan kepada kita bahwa keduanya menunjukan pentingnya kedudukan Banten Lama di mata internasional.
Mestinya, pada perkembangannya nanti, pihak pengelola harus lebih serius menangani wisata ziarah ini. Diantaranya dengan menggabungkan perspektif ziarah dan sejarah dalam satu paket perjalanan wisata. Memisahkan keduanya ibarat memisahkan ruh dari jasadnya. Sebab, memisahkan keteladanan, perjuangan para wali/tokoh sejarah dari dimensi kemanusiaan bisa menjerumuskan pada pengkultusan dan pendewaan tokoh itu sendiri. Bahwa kemashuran Sultan Maulana Hasanudin, Sultan Maulana Yusuf, dan Sultan Ageng Tirtayasa, tidak datang begitu saja. Kemashurannya tidak lepas dari kerja keras, strategi berperang dan memerintah, karya, dan inovasi untuk menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, memisahkan tokoh sejarah dari keimanan sebagai spirit perjuangannya, juga akan mengkerdilkan pengetahuan sejarah. Padahal dalam setiap peristiwa heroik pasti ada spirit yang diimani oleh tokoh sejarah itu.
Alangkah indahnya bila obyek wisata Banten Lama dikelola dengan menggabungkan dimensi ziarah dan sejarah tersebut. Pengunjung dipandu sejak pintu masuk untuk  berziarah ke makam raja-raja Banten, kemudian ke Masjid Agung, Istana Surosowan, Kaibon, Benteng Spleewizk, Kelenteng, Tasikardi dan Museum Kepubakalaan Banten. Yang terjadi sekarang, jarang sekali para peziarah singgah ke tempat-tempat bersejarah, selain makan dan masjid. Padahal, dengan mengunjungi obyek-obyek lain, seperti istana, benteng, perpustakaan, masjid serta benda-benda rerelik lain dalam wisata ziarah, akan memberikan kesadaran sejarah yang utuh tentang ketokohan dan perannya dalam lingkup kebangsaan.
Pengandaian itu akan terwujud, paling tidak jika terpenuhinya dua hal. Pertama, pengunjung wisata diorganisir. Selama ini pengunjung masih bersifat spontanitas dan tak terorganisir, hingga menyulitkan pengelola untuk memandu secara khusus dan professional. Tidak ada salahnya, pihak pengelola, mulai menggunakan tiket masuk ke komplek Banten Lama dan bekerja sama dengan biro travel. Dengan demikian, disamping bisa mendongkrak pemasukan anggaran bagi pemerintah setempat juga bisa memudahkan pemanduan wisata ziarah dan sejarah ini.
Kedua, pemandu ziarah mempunyai informasi yang cukup tentang latar belakang kesejarahan obyek wisata tersebut. Selama ini juga pemandu ziarah hanya memimpin ziarah. Tidak memberikan informasi kepada peziarah tentang latar belakang sejarah tokoh yang diziarahi. Begitu pun kepada para touris asing, para pemandu tidak bisa memberikan pelayanan lebih. Belum lagi bicara bekal berbahasa asing, mungkin nihil. Maka untuk kepentingan penggalian informasi biasanya touris asing membawa guide sendiri, baik dari biro wisata atau akademisi, untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai obyek yang dikunjungi.
Bagaimanapun, menurut Ambary (1998: 369), wisata ziarah Islam harus bisa meningkatkan apresiasi terhadap nilai-nilai keislaman dari peninggalan sejarah dan purbakala tersebut, sekaligus meningkatkan penghayatan berdasarkan informasi yang benar dan luas mengenai kedudukan, fungsi dan peran Islam dalam kehidupan bangsa.
Demi tercapainya tujuan itu, baiknya pengelola, pemerintah maupun swasta, tidak memugar aspek-aspek sejarah, karena justru akan mencerabut nilai wisata ziarah dari konteks kesejarahannya. Dan, pada gilirannya akan turut mendangkalkan pemaknaan ziarah itu sendiri. Pemugaran, atau membangun bangunan baru, seandainya diperlukan, hendaknya disinergiskan dengan pendapat para ahli sejarah, arkeolog, dan ahli disiplin lain yang berkaitan. Karena bagaimanapun, kompleks Banten Lama adalah aset bangsa, identitas bangsa, harus dijaga dan dikembangkan bersama untuk kepentingan bangsa.
Termasuk, membeludaknya peziarah setiap tahun pada awal bulan Ramadhan dan Lebaran, semoga memberikan efek keberkahan finansial bagi Negara, sekaligus bisa memperkuat nilai-nilai keislaman dan kebangsaan kita. Amin!
Penulis adalah guru Sejarah Kebudayaan Islam di MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah - Cilegon.

Rabu, 10 Agustus 2011

Ayo Bangun Sekolah, Stop Konsumerisme!

6 August 2011
03:12

Oleh Ayatulloh Marsai
Nyaris setiap hari saya membaca koran Banten Raya Post, halaman per halaman. Tapi baru kali ini saya betul-betul merasa “ngilu” membaca kekontrasan yang ada, per halamannya. Halaman awal tentang salah satu calon gubernur kita dilaporkan kepada Panwaslukada karena mencuri start kampanye. Kolom Tajuk prihatin dengan bangunan sekolah yang roboh, dan infrastruktur yang tak layak di usia Pemprov Banten yang sudah menginjak 11 tahun. Kemudian, ada camat yang ditengarai tidak netral menjelang pilgub. Ada berita PNS tak sadar zakat. Ada rekening gendut. Dan yang mencengangkan kita punya tempat perbelanjaan baru di Serang.


Jika benar, media ini gambaran umum situasi di Banten, maka usia 11 tahun Pemprov Banten tak sepadan dengan prestasinya. Masih banyak hal negatif daripada positifnya. Yang paling memilukan, ketika kita sandingkan antara keprihatinan Tajuk: “Ayo Bangun Sekolah Rusak,” dengan halaman akhir Barayapost hari ini (5/08/11), “Peresmian Mall of Serang dan Hipermart”. Sekolah yang rusak, kok yang dibangun malah Mall!


Saya kira kontradiksi ini bisa dibaca dengan mata telanjang. Tak perlu pisau analisis yang rumit-rumit. Setiap orang pasti tahu bahwa untuk sejahtera, masyarakat harus produktif. Bukan malah ditarik ke jerat-jerat konsumerisme. Untuk produktif masyarakat harus berpendidikan, bukan berbelanja. Karena hanya dengan pendidikan manusia bisa bertanggungjawab terhadap nasib diri dan bangsanya. Juga berakhlak, berkarakter, dan berjiwa demokratis. Memang tidak ada salahnya membangun Mall, tapi tanpa dibarengi pendidikan yang cukup, pembangunan tempat belanja itu semakin memandulkan produktifitas masyarakat.


Tanggungjawab Politik
Demokrasi mengharuskan rakyat memilih pemimpin dari kalangannya sendiri, sesama rakyat biasa. Nanti, kepemimpinan yang dipegang oleh pemimpin terpilih, tidak lain untuk kepentingan rakyat. Jadi semua hasil dari pengelolaan sumber daya yang dimiliki Negara dipersembahkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Inilah, menurut istilah Kuntowijoyo, disebut politik rasional atau rasionalitas dalam politik. “Pemimpin bertanggungjawab terhadap yang mereka pimpin” (al-Hadis).


Kenyataannya rasionalitas hanya milik orang besar secara struktural. Sementara yang kecil, yang dibawah, dipaksa untuk tidak rasional. Misalnya, dalam aturan setiap warga Negara punya kedudukan yang sama di mata hukum, berhak atas kesejahteraan, berhak atas pendidikan, berhak atas kesehatan. Kenyataannya, hanya orang tertentu yang bisa mendapatkan haknya itu. Lainnya, dipaksa untuk tidak rasional: di negaranya sendiri banyak rakyat terlunta-lunta, tidak berpedidikan, dan menderita gizi buruk. Belum lagi masalah hukum, pisau mata hukum hanya tajam untuk orang kecil.


Bila pemimpin tidak bertanggungjawab terhadap yang mereka pimpin, itu berarti telah keluar dari tujuan demokrasi, tujuan kepemimpinan. Rasionalnya, rakyat bisa menurunkan pemimpin seperti itu. Di Negara kita ini rasionalitas itu seharusnya berlaku untuk presiden dan wakil, gubernur dan wakil, bupati/walikota dan wakil, DPR-RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Karena mereka semua dipilih oleh rakyat.


Pemimpin, Rakyat dan Investor
Rakyat dan investor sama-sama penting. Rakyat adalah hakekat keberadaan Negara. Tanpa rakyat, tidak ada yang namanya Negara. Investor juga penting, dikala Negara kita tidak punya modal, tidak punya skill, sementara kita punya potensi alam yang kaya raya dan rasa, maka keberadaan investor sangat dibutuhkan. Tetapi, bila kita dalam situasi kritis, harus memilih antara rakyat dengan investor. Mana yang dipilih? Disinilah segera diketahui kepemimpinan para pemimpin kita untuk siapa. Untuk rakyat, atau untuk investor (modal asing)?


Rakyat dan investor sama-sama punya kebutuhan dasar. Kebutuhan asasi rakyat adalah kehidupan yang layak, kehidupan yang aman, sehat, dan berpendidikan. Konsekuensi dari pemenuhan kebutuhan ini tercipta masyarakat yang sejahtera, aman tentram, sehat dan cedas. Tentu dengan membangun akses ekonomi bagi rakyat, demokrasi, rumah sakit dan yang terpenting gedung sekolah layak pakai. Sedangkan kebutuhan isvestor adalah keuntungan sebesar-besarnya dan keamanan investasi.


Keduanya tidak saling bertentangan pada awalnya, tapi nanti, rakyat yang cerdas tidak mau selalu bergantung dari investor. Pada saatnya, rakyat harus mengelola kekayaan negaranya sendiri. Bertentangan dengan kepentingan investor yang ingin selamanya menanamkan modalnya demi keuntungan yang besar dan jangka panjang. Maka investor sangat berkepentingan menjadikan investasinya lama-lama di Negara kita. Dan, kebodohan kita, ketergantungan kita, ke-oportunis-an kita, yang akan melicinkan jalan mereka.


Di akhir tulisan ini pertanyaan harus diajukan: sudah berapa besar investasi yang “tertancap” di Banten. Dan hasil besaran investasi itu, sudah seberapa pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan asasi rakyat Banten? Nyatanya masih ada gedung sekolah roboh, busung lapar, gizi buruk dan “teror batin” atas rakyat kecil untuk bebas berserikat. Pangkal “seabreg” masalah ini adalah kebodohan, oleh karena itu rasionalitas dalam politik mewajibkan pemimpin untuk mencerdaskan rakyatnya. Ayo bangun sekolah! Stop konsumerisme.


*Penulis adalah Guru Sejarah Kebudayaan Islam, MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah.

Menunggu Jawaban Untirta

(Tanggapan Atas Tulisan Abdul Salam Hs, “Politik Kekuasaan Mengancam Dunia Kampus”)

Oleh Ayatulloh Marsai

Seandainya saya menemukan tulisan Abdul Salam Hs (ASH), “Politik Kekuasaan Mengancam Dunia Kampus”, ini di catatan facbook, saya akan langsung kasih cap jempol, atas keberaniannya mengulas masalah penggiringan sejumlah peserta KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa) untuk menyukseskan sosialisasi salah satu calon gubernur Banten.

Cap jempol ini untuk tiga hal. Pertama, keberanian. Banyak orang menyaksikan “kejanggalan”, “ketidakadilan” dan “kesewenang-wenangan”, tapi jarang yang berani membeberkannya ke publik. Baik karena alasan “keselamatan” atau dia sendiri termasuk di dalamnya; baik karena bersikap masa bodoh, atau lebih parah lagi, menganggap “kejanggalan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan itu hal yang biasa dan wajar. Hal terakhir inilah yang termasuk kedalam tingkatan “iman” terendah masyarakat kita. Termasuk dunia mahasiswa dan kampus.

Kedua, kemampuan dia menulis. Tidak semua pemberani bisa menulis. Dan tidak semua yang bisa menulis seorang pemberani. Tulisan ASH enak sekali dibaca, mengalir dalam bertutur, original dalam penggunaan bahasa. Dan ketiga, tidak boleh dilupakan, dia baru lulus SMA. Dalam usianya yang masih muda, wawasannya sudah luas. Dia sudah membaca “Catatan Sang Demonstran”, yang belum tentu mahasiswa atau sarjana pun sudah membaca buku itu.

Kalau pembaca menyangka saya kenal ASH itu salah. Selain namanya, semua hal yang berkaitan dengan ASH saya tidak tahu. Dimana rumahnya, asal sekolah, hoby dan sebagainya, gelap. Saya hanya penggemar kolom Gagasan di Banten Raya Post. Jadi saya selalu membaca setiap tulisan yang dimuat di kolom ini. Dan, tulisan ASH bagi saya tulisan yang istimewa dan menginspirasi.

Kampus Barometer Karakter Bangsa
Banyak kampus di Banten, tumbuh bak jamur di musim hujan, kata pepatah lama. Tetapi eksistensi kampus itu dalam kontrol sosial politik samar sekali. Betul kata ASH, kampus seharusnya menjadi kontrol bagi kekuasaan. Tetapi, bukan berarti tidak berpihak kepada siapapun, dan apapun. Kampus, menurut saya, harus menunjukan keberpihakan politiknya kepada rakyat umumnya. Dan, kepada kaum miskin (da’if) lebih-lebih kepada rakyat yang dibuat miskin (mustad’afin). Bukan kepada kekuasaan itu sendiri. Keberpihakan kampus, mestinya bukan kepada orang, tapi kepada –meminjam istilahnya Kuntowijoyo, obyektifitas dan rasionalitas kekuasaan. Rasionalitas kekuasaan itu tersimbolkan dalam asmaul husna-nya Allah, sebagai penguasa sejati. Ambil satu contoh, Dia Mahakuat, Mahaperkasa, dan Mahabesar. Namun dibalik kekuatan, keperkasaan dan kebesaran-Nya, secara bersamaan Dia juga Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jadi, Dia akan berbuat Adil.

Jika, kekuasaan tidak rasional, tidak mengurusi rakyatnya, misalnya, kemudian di kampus tidak ada gejolak apapun, maka keberpihakan kampus kepada rasionalitas dipertanyakan. Sebab rasionalitas kekuasaan, harus mengurusi rakyatnya, berlaku adil dengan pemerataan akses, baik terhadap yang kecil maupun yang besar, desa mapun kota, negeri maupun swasta.

Mudah-mudahan sistem kependidikan yang dikembangkan di dalam kampus tetap rasional. Masalah penerimaan mahasiswa baru (sempat mencuat juga di koran), masalah nilai mahasiswa, masalah tugas akhir, dan seterusnya, mudah-mudahan berjalan rasional.

Sebagai kampus terbesar di Banten (karena UIN Syahid masih menggunakan nama belakang Jakarta), di Untirta –lah barometer kepedulian dunia akademik terhadap nasib bangsa, rakyat dan warga Negara, melalui sikap-sikap politiknya.

Harus Ada Jawaban
Pihak yang bersangkutan atau pihak Untirta harus menjawab opini yang dilempar ASH. Tentu lewat dan cara yang sama (imbang), lewat kolom gagasan yang disediakan oleh Banten Raya Post ini. Harapan saya, pertama: terciptanya suasana diskusi di media massa dengan bahasa tulisan. Bahasa tulisan ciri khas dunia akademis, ciri masyarakat maju; kedua: masalahnya menjadi imbang.

Supaya masyarakat tidak hanya membaca opini satu pihak, tidak menimbangnya dengan opini pihak yang tersangkut; ketiga, terpenuhinya faktor penting yang melekat pada dunia pendidikan, yakni agen of change.

Penulis adalah guru Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah di Cilegon.

Senin, 01 Agustus 2011

Puasa dan Konsumeritas

1 August 2011
11:04
Oleh Ayatulloh Marsai 
Hari pertama puasa, saya ingin mencatat satu hal yang sejak setengah bulan lalu sedikit mengganggu pikiran dan perasaan. Catatan itu adalah naiknya harga-harga kebutuhan pokok (sembako). Benar saja, pada hari pertama puasa ini, ketika saya membolak-balik koran lokal hari ini (1/08/2011), ada lima berita tentang perkembangan harga kebutuhan pokok di pasar. Dua dianataranya jaminan dari pemerintah daerah bahwa pasokan beras dan gula aman, tidak akan mengalami kelangkaan sampai lebaran nanti. Lainnya tentang lonjakan harga sembako dan sayur di pasar-pasar tradisional wilayah Banten.
Kenaikan harga kebutuhan pokok (dan juga sandang sebetulnya) tidak hanya terjadi tahun ini. Setiap tahun menjelang puasa dan lebaran harga-harga sembako beranjak naik. Dalam rumus ekonomi, terjadinya kenaikan barang paling tidak disebabkan oleh dua kemungkinan: 1) meningkatnya permintaan. 2) langkanya pasokan barang.
Berkaitan dengan bulan Ramadhan, dimana setiap tahunnya harga barang naik, diantara dua kemungkinan di atas, mana yang lebih mungkin sebagai biang keladi kenaikan barang di pasaran? Kesimpulan dari beberapa diskusi dengan teman-teman di “markas” bahwa penyebab kenaikan barang di pasaran menjelang bulan puasa dan lebaran adalah naiknya permintaan.  Kesimpulan ini kemudian penulis kaitkan dengan tujuan puasa itu sendiri, yakni takwa. Dalam pelaksanaannya, puasa menurut Hatta Rajasa mengandung beberapa hikmah, yaitu menahan hawa nafsu, berlaku sabar, meperkuat etos kerja, meningkatkan rasa syukur, disiplin, dan kesehatan jasmani (Radar Banten, 1 Agustus 2011).
Poin pertama hikmah puasa adalah menahan hawa nafsu, baik nafsu jasmaniyah maupun nafsu batiniyah. Dalam tulisan ini saya ingin menjadikan situasi harga-harga barang di pasar sebagai barometer keberhasilan puasa kita berkaitan dengan menahan hawa nafsu ini. Apakah puasa kita justru memperbesar nafsu kita untuk berencana makan enak, minum enak, dan berpakaian bagus? Atau peningkatan harga di pasar karena sebab lain? Setidaknya ada tiga sebab meningkatnya tingkat konsumsi muslim Indonesia ketika bulan puasa dan lebaran.
Syari’at
Syariat Islam pada bulan Ramadhan, disamping mewajibkan umat beriman untuk puasa, juga menganjurkan untuk memperbanyak amal kebaikan. Disamping amal fi’liyah (perbuatan baik) juga maliyah (harta). Orang-orang kaya, yang diberi kelebihan rizki, biasanya terdorong untuk belanja lebih banyak dari biasanya, karena disamping untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga untuk berbagi dengan yang lain, mengeluarkan sedekahnya.
Dan, nanti pada akhir Ramadhan atau awal bulan Sawal, syariat juga mewajibkan masing-masing muslim, kecil maupun besar, laki-laki maupun perempuan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Pada sedekah maupun zakat fitrah, tentu mempengaruhi peningkatan permintaan barang (daya beli masyarakat) yang pada akhirnya mempengaruhi kenaikan harga kebutuhan pokok di pasaran.


Tradisi
Tradisi yang saya maksud adalah sikap kolektif terhadap datangnya dan sepanjang bulan Ramadhan yang sudah turun-temurun diwarisi oleh masyarakat. Sepanjang bulan Ramadhan, di Banten khsususnya,  paling tidak ada empat tradisi yang berkembang di masyarakat, yakni tradisi pregpegan/kramasan (munggahan), kunutan/ngupat, maleman dan hataman. Tradisi pregpegan adalah aktifitas masyarakat satu hari menjelang puasa Ramadhan. Banyak hal dilakukan, bersih-bersih tempat tinggal, lingkungan, mesjid, badan dengan mencukur rambut dan diakhiri dengan keramas. Tidak ketinggalan pada hari ini juga masakan istimewa disiapkan. Kebiasaan membeli daging, motong ayam/bebek pun tidak bisa dilewatkan. Tidak kalah penting dicatat di sini, malam hari setelah shalat tarawih, masyarakat berduyun-duyun pergi ke mesjid atau pendopo dengan membawa nasi dan lauknya. Nasi dan lauk itu akan dibagikan lagi secara merata kepada jamaah yang hadir. Acara ini biasa disebut acara kirim du’a , karena sebelum nasi dan lauk tadi dibagi rata, pimpinan upacara membaca hadarah yang disambung dengan do’a untuk keselamatan semua orang, yang masih hidup ataupun yang meninggal.
Tradisi kunutan/ngupat adalah tradisi membuat ketupat oleh masyarakat pada hari ke-14 puasa atau malam ke-15, bulan Ramadhan. Seperti acara pregpegan, ketupat juga dibawa ke mesjid untuk dibagi rata pada jama’ah yang hadir setelah sebelumnya dibacakan hadarah dan do’a.
Tradisi maleman adalah pembacaan doa bersama pada malam-malam ganjil bulan Ramadhan: 21, 23, 25, 27 dan 29. Artinya selama bulan Ramadhan dilaksnakan lima kali setiap tahunnya. Malam ganjil dipilih karena ada diantara penafsiran lailatulqodr akan turun pada malam-malam ganjil ini. Teknis pelaksanaanya sama dengan pregpegan dan kunutan. Yang membedakan acara maleman dengan yang lainnya menu yang dibawa ke mesjid hanya kue-kue ringan. Dalam perkembangannya sekarang lebih ringan lagi karena terdiri dari snack-snack yang tersedia di warung.
Terakhir tradisi khataman, yakni tradisi membaca hadarah dan doa bersama di masjid pada malam Idul Fitri. Menu sajian yang dibawa dan dibagi rata pada tradisi ini nasi, lauk dan sambelan. Berbeda dengan tradisi awal puasa dan pertengahan puasa, di sini bacaan ditambah dengan pembacaan surat-surat al-Qur’an pendek (At-Takasur sampai An-Nas).
Semua acara tersebut dilaksanakan secara serentak seluruh Indonesia, kecuali bagi daerah yang tidak memegang tradisi ini. Maka tradisi-tradisi pada bulan Ramadhan yang berkembang di Indonesia sangat signifikan dalam menentukan pasar, sembako khsususnya.
Pola Makan
Jadwal makan-minum pada bulan Ramadhan drastis berubah. Pada bulan yang lain makan dilakukan pada pagi, siang dan malam hari, sedangkan pada bulan Ramadhan makan dilakukan pada dini hari (makan sahur) dan sore menjelang malam (maghrib-buka puasa). Pada pelaksanaannya tidak hanya jadwal makannya yang berubah, ternyata sampai menu-nya pun menjadi tidak biasa (luar biasa). Ada banyak menu khas buka puasa di Indonesia, dari beragam kolak, ragam es campur, hingga santen roti. Semua menu itu hanya makanan pembuka, kemudian dilanjutkan dengan makan malam. Singkatnya, menu yang disediakan pada bulan Ramadhan diluar kebiasaan pada bulan yang lain.
Dari uraian di atas hanya satu yang mungkin terhindar dari kehawatiran berlebihan, yakni kebutuhan yang didorong oleh syari’at (sedekah dan zakat fitrah). Sedangkan yang dua terakhir, tradisi dan pola makan buka dan sahur, baiknya kita evaluasi ulang, apakah sejalan dengan semangat ibadah puasa yang menghendaki lahirnya manusia bertakwa, bisa mengendalikan hawa nafsu, sabar, etos kerja yang kuat, sederhana, syukur, disiplin, dan sehat? Ayo sempurnakan ibadah puasa Ramadhan kita!