Rabu, 04 April 2012

BBM (Bukan) Milik Rakyat

Oleh Ayatulloh Marsai

Ketika menulis artikel ini, penulis masih dag dig dug menunggu hasil Sidang Paripurna DPR hari ini (Jum’at, 30 Maret 2012). Apakah mereka setuju dengan rencana menaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah atau sebaliknya, menolak. Sementara itu unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM terus dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, sejak rencana kenaikan BBM itu digulirkan oleh pemerintah.

Sejatinya keinginan rakyat menjadi ”tuhan” di negara demokrasi. Suara “tuhan” itu sekarang diamanatkan kepada anggota DPR. Jadi apa yang diputuskan oleh Sidang Paripurna DPR seharusnya mencerminkan keinginan rakyat, yakni harga BBM tidak jadi naik.

Terlepas dari masalah konstalasi politik yang sedang berlangsung, itu hanya fenomena (kejadian yang nampak) saja.  Sementara nomena-nya (kejadian yang tidak nampak) kita tidak tahu pasti. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada negara ini. Logikannya, benarkah ada pemerintahan yang menginginkan rakyatnya sengsara. Atau, benarkah ada partai politik yang “bunuh diri” rela kehilangan simpati rakyat dengan menolak keinginan rakyatnya, lebih-lebih masalah BBM sebagai salah satu bahan hajat mendasar dalam aktifitas masyarakat? Penulis berpendapat tidak mungkin, kecuali ada kekuatan lebih dahsyat dari rakyat yang mereka sangat takuti, baik takut karena ancamannya maupun karena takut kehilangan perlindungan kekuatan itu. Inilah mestinya yang kita diskusikan.

Meskipun tidak bisa dilihat, bukan berarti tidak bisa dirasakan. Tekanan kenaikan BBM yang sering terjadi adalah salah satu bukti bahwa kekuatan itu ada. Pertanyaannya, siapa yang mengendalikan harga minyak dunia? Kenapa Indonesia yang mempunyai sumber minyak melimpah, terjerat pada harga minyak internasional itu? Karena Indonesia menjadi konsumen minyak, bukan produsen! Bukankah Indonesia seharusnya menjadi produsen? Dengan posisi produsen, Indonesia menjadi negara yang kaya dari penjualan minyak itu? Jawabannya, karena sumber minyaknya Indonesia tidak dikelola sendiri!

Sebodoh itukah kita sebagai bangsa? Mungkin! Tapi, tidak akan selamanya bodoh kalau kita mau belajar dan berani bersikap. Misalnya, kita belajar dari “keteterannya” Presiden Soeharto tahun 1997-1998 menghadapi harga minyak dunia, akibat inflasi terus menerus terjadi. Kesalahannya adalah karena dia menyerahkan pengelolaan sumber daya alam, baik mineral maupun gas, kepada asing. Jadi yang berkuasa adalah modal asing (investor asing). Kekuatan yang selalu menghancurkan Indoenesia sejak awal adalah kekuatan asing. Bedanya kalau pra-kemerdekaan kekuatan (modal) asing itu disertai penguasaan wilayah dan serangan senjata, maka pasca-kemerdekaan (modal) asing bergandengan tangan dengan “kucuran bantuan hutang” kepada APBN. Meskipun, bukan tidak mungkin juga kekuatan senjata akan digunakan, kalau Indonesia mencoba melepaskan diri dari jeratannya. Pada akhirnya ketergantungan terhadap hutang membuat Indonesia seperti “kerbau dicongo”, tidak berkutik kekayaan alamnya diperas oleh pengusaha-pengusaha asing. Inilah kemudian yang membuat Presiden Soeharto “keteteran” dan memilih terjun dari kekuasaan.

Tetapi tidak membuat dia jatuh miskin? Ini juga pertanyaan besar ketika kita coba sandingkan dengan Soekarno, Presiden Indonesia pertama. Lalu kita coba lirik pejabat-pejabat dan politisi-politisi sekarang yang gaya hidupnya, rumah dan segala isinya, melebihi gajinya! Ya, kalau bukan karena kebodohan, Indonesia menjadi miskin,  mungkin karena “perselingkuhan” pemerintah dengan para investor asing itu. Sehingga yang terjadi, kekayaan negara tidak tersebar merata untuk kemakmurkan rakyatnya, sebaliknya hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan akses pengelola sumber daya alam itu.

Dosa besar Orde Baru kepada rakyat dan alam Indonesia adalah ketika para ekonom Orde Baru bertemu dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar. Dalam pertemuan ini, menurut Jhon Pilger, dikutip dalam Wikipedia, kekayaan Indonesia dibagi-bagi oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut bagai rampasan perang. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Kebijakan ini sudah berlawanan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam ayat 2 disebutkan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara,”  dan dalam ayat 3, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Lihat saja Undang-undang atau peraturan tentang pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang lahir setelah 1967. Terakhir, Orde Baru menerbitkan Peraturan Pemerintahan nomor 20 tahun 1994 dengan pasal 5 ayat 1 yang isinya memperbolehkan perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom dan mass media.

Kesalahan Presiden Soeharto ini dipelihara oleh pemerintah sekarang, yakni dengan terus mengandalkan investor asing untuk mengelola kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Bahkan sekarang modal asing semakin bebas, menetap di Indonesia. Disahkan undang-undang tentang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007, menggantikan semua perundangan dan peraturan dalam bidang penanaman modal. Pasal 1 menyatakan tidak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri. Pasal 7, “Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilan hak kepemilikan penanaman modal, kecuali dengan undang-undang.” Pasal 12 mengatakan bahwa semua bidang usaha terbuka bagi penanaman modal, kecuali produksi senjata dan usaha yang secara emplisit dinyatakan tertutup berdasar undang-undang. Sistem apa ini, kalau bukan neoliberalisme?  

Dapat dipastikan rakyat Indonesia akan semakin sengsara ke depan, sampai kekayaan sumber daya alam Indonesia benar-benar dikelola sendiri. Dahlan Iskan, menawarkan solusi mengganti bensin dengan listrik. Tetapi hal ini tidak akan pernah merubah rakyat menjadi sejahtera, karena dengan Undang-undang seperti di atas, investor asing bisa langsung masuk menjadi produsen listrik. Dan, tetap akan menjadi “panglima” menentukan harga, mengambil keuntungan sebesar-sebesarnya dari pemakaian (konsumsi) listrik oleh rakyat.

Oleh karena itu, naiknya harga BBM di Indonesia hanya persoalan waktu saja. Seandainya tidak naik per 1 April 2012 ini pun, toh ke depan tetap naik. Sebab, selama modal asing mengelola migas kita, harga minyak terus ditekan oleh pasar dunia. Maka, selain demonstrasi rakyat hari ini bisa mempengaruhi secara politik terhadap putusan pemerintah, jauh lebih penting usaha kelas menengah (para tokoh cendekiawan) nasional seperti Mahfud MD, Din Syamsudin dkk. mudah-mudahan terus bergulir konsisten. Yakni mengingatkan kepada pemerintah untuk memperhatikan putusan Mahkmah Konstitusi (MK) tahun 2003 masih berlaku, bahwa harga minyak tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. Menurut Din, perlu merevisi UU Migas karena pemberlakuan UU-lah yang mempengaruhi secara sistemis kehidupan rakyat dan kondisi     keungan negara. (Kompas, Jum’at, 30  Maret 2012).

Jadi, Negara dan rakyat Indonesia hanya bisa selamat dari bayang-bayang kenaikan harga BBM pasar dunia, bila UU Migas dan pengelolaannya tidak bertentangan dengan semangat UUD 1945 Pasal 33. Dan, DPR-lah (sebagai wakil rakyat) yang menentukan. Bila DPR tidak mampu menalar UUD 1945 pasal 33 ini, jangan salahkan rakyat menggunakan nalarnya sendiri. [Radar Banten, Senin, 2 April 2012]
Penulis adalah Guru Se jarah MA Al-Khairiyah Karangtengah – Cilegon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar