Oleh Ayatulloh Marsai
Ketika menulis artikel ini, penulis masih dag dig dug menunggu hasil Sidang Paripurna DPR hari ini (Jum’at, 30 Maret 2012). Apakah mereka setuju dengan rencana menaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah atau sebaliknya, menolak. Sementara itu unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM terus dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, sejak rencana kenaikan BBM itu digulirkan oleh pemerintah.
Ketika menulis artikel ini, penulis masih dag dig dug menunggu hasil Sidang Paripurna DPR hari ini (Jum’at, 30 Maret 2012). Apakah mereka setuju dengan rencana menaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah atau sebaliknya, menolak. Sementara itu unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM terus dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, sejak rencana kenaikan BBM itu digulirkan oleh pemerintah.
Sejatinya keinginan rakyat menjadi ”tuhan” di negara
demokrasi. Suara “tuhan” itu sekarang diamanatkan kepada anggota DPR. Jadi apa
yang diputuskan oleh Sidang Paripurna DPR seharusnya mencerminkan keinginan
rakyat, yakni harga BBM tidak jadi naik.
Terlepas dari masalah konstalasi politik yang sedang
berlangsung, itu hanya fenomena
(kejadian yang nampak) saja. Sementara nomena-nya (kejadian yang tidak nampak)
kita tidak tahu pasti. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada negara ini. Logikannya,
benarkah ada pemerintahan yang menginginkan rakyatnya sengsara. Atau, benarkah
ada partai politik yang “bunuh diri” rela kehilangan simpati rakyat dengan
menolak keinginan rakyatnya, lebih-lebih masalah BBM sebagai salah satu bahan hajat
mendasar dalam aktifitas masyarakat? Penulis berpendapat tidak mungkin, kecuali
ada kekuatan lebih dahsyat dari rakyat yang mereka sangat takuti, baik takut
karena ancamannya maupun karena takut kehilangan perlindungan kekuatan itu.
Inilah mestinya yang kita diskusikan.
Meskipun tidak bisa dilihat, bukan berarti tidak
bisa dirasakan. Tekanan kenaikan BBM yang sering terjadi adalah salah satu
bukti bahwa kekuatan itu ada. Pertanyaannya, siapa yang mengendalikan harga
minyak dunia? Kenapa Indonesia yang mempunyai sumber minyak melimpah, terjerat
pada harga minyak internasional itu? Karena Indonesia menjadi konsumen minyak,
bukan produsen! Bukankah Indonesia seharusnya menjadi produsen? Dengan posisi
produsen, Indonesia menjadi negara yang kaya dari penjualan minyak itu? Jawabannya,
karena sumber minyaknya Indonesia tidak dikelola sendiri!
Sebodoh itukah kita sebagai bangsa? Mungkin! Tapi,
tidak akan selamanya bodoh kalau kita mau belajar dan berani bersikap.
Misalnya, kita belajar dari “keteterannya” Presiden Soeharto tahun 1997-1998
menghadapi harga minyak dunia, akibat inflasi terus menerus terjadi.
Kesalahannya adalah karena dia menyerahkan pengelolaan sumber daya alam, baik
mineral maupun gas, kepada asing. Jadi yang berkuasa adalah modal asing
(investor asing). Kekuatan yang selalu menghancurkan Indoenesia sejak awal
adalah kekuatan asing. Bedanya kalau pra-kemerdekaan kekuatan (modal) asing itu
disertai penguasaan wilayah dan serangan senjata, maka pasca-kemerdekaan
(modal) asing bergandengan tangan dengan “kucuran bantuan hutang” kepada APBN. Meskipun,
bukan tidak mungkin juga kekuatan senjata akan digunakan, kalau Indonesia
mencoba melepaskan diri dari jeratannya. Pada akhirnya ketergantungan terhadap
hutang membuat Indonesia seperti “kerbau dicongo”, tidak berkutik kekayaan
alamnya diperas oleh pengusaha-pengusaha asing. Inilah kemudian yang membuat
Presiden Soeharto “keteteran” dan memilih terjun dari kekuasaan.
Tetapi tidak membuat dia jatuh miskin? Ini juga
pertanyaan besar ketika kita coba sandingkan dengan Soekarno, Presiden
Indonesia pertama. Lalu kita coba lirik pejabat-pejabat dan politisi-politisi
sekarang yang gaya hidupnya, rumah dan segala isinya, melebihi gajinya! Ya,
kalau bukan karena kebodohan, Indonesia menjadi miskin, mungkin karena “perselingkuhan” pemerintah
dengan para investor asing itu. Sehingga yang terjadi, kekayaan negara tidak
tersebar merata untuk kemakmurkan rakyatnya, sebaliknya hanya bisa dinikmati
oleh segelintir orang yang dekat dengan akses pengelola sumber daya alam itu.
Dosa
besar Orde Baru kepada rakyat dan alam Indonesia adalah ketika para ekonom Orde Baru bertemu
dengan para CEO
korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi
multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank,
General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase
Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan
murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar. Dalam
pertemuan ini, menurut Jhon Pilger, dikutip dalam Wikipedia, kekayaan Indonesia dibagi-bagi oleh
perusahaan-perusahaan asing tersebut bagai rampasan perang. Freeport
mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil
Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis.
Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Kebijakan ini sudah berlawanan
dengan Pasal 33 UUD 1945. Dalam ayat 2 disebutkan, “Cabang-cabang produksi
yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh Negara,” dan dalam ayat 3, “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Lihat saja Undang-undang atau peraturan tentang pengelolaan
kekayaan alam Indonesia yang lahir setelah 1967. Terakhir, Orde Baru
menerbitkan Peraturan Pemerintahan nomor 20 tahun 1994 dengan pasal 5 ayat 1
yang isinya memperbolehkan perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang
tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, yaitu
pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum,
telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit
tenaga atom dan mass media.
Kesalahan Presiden Soeharto ini dipelihara oleh
pemerintah sekarang, yakni dengan terus mengandalkan investor asing untuk
mengelola kekayaan alam Indonesia yang melimpah. Bahkan sekarang modal asing
semakin bebas, menetap di Indonesia. Disahkan undang-undang tentang Penanaman
Modal nomor 25 tahun 2007, menggantikan semua perundangan dan peraturan dalam
bidang penanaman modal. Pasal 1 menyatakan tidak ada perbedaan antara modal
asing dan modal dalam negeri. Pasal 7, “Pemerintah tidak akan melakukan
tindakan nasionalisasi atau pengambilan hak kepemilikan penanaman modal,
kecuali dengan undang-undang.” Pasal 12 mengatakan bahwa semua bidang usaha
terbuka bagi penanaman modal, kecuali produksi senjata dan usaha yang secara
emplisit dinyatakan tertutup berdasar undang-undang. Sistem apa ini, kalau
bukan neoliberalisme?
Dapat dipastikan rakyat Indonesia akan semakin
sengsara ke depan, sampai kekayaan sumber daya alam Indonesia benar-benar
dikelola sendiri. Dahlan Iskan, menawarkan solusi mengganti bensin dengan
listrik. Tetapi hal ini tidak akan pernah merubah rakyat menjadi sejahtera,
karena dengan Undang-undang seperti di atas, investor asing bisa langsung masuk
menjadi produsen listrik. Dan, tetap akan menjadi “panglima” menentukan harga, mengambil
keuntungan sebesar-sebesarnya dari pemakaian (konsumsi) listrik oleh rakyat.
Oleh karena itu, naiknya harga BBM di Indonesia
hanya persoalan waktu saja. Seandainya tidak naik per 1 April 2012 ini pun, toh
ke depan tetap naik. Sebab, selama modal asing mengelola migas kita, harga
minyak terus ditekan oleh pasar dunia. Maka, selain demonstrasi rakyat hari ini
bisa mempengaruhi secara politik terhadap putusan pemerintah, jauh lebih
penting usaha kelas menengah (para tokoh cendekiawan) nasional seperti Mahfud
MD, Din Syamsudin dkk. mudah-mudahan terus bergulir konsisten. Yakni mengingatkan
kepada pemerintah untuk memperhatikan putusan Mahkmah Konstitusi (MK) tahun
2003 masih berlaku, bahwa harga minyak tidak boleh diserahkan kepada mekanisme
pasar. Menurut Din, perlu merevisi UU Migas karena pemberlakuan UU-lah yang
mempengaruhi secara sistemis kehidupan rakyat dan kondisi keungan negara. (Kompas, Jum’at, 30 Maret 2012).
Jadi, Negara dan rakyat Indonesia hanya bisa selamat
dari bayang-bayang kenaikan harga BBM pasar dunia, bila UU Migas dan
pengelolaannya tidak bertentangan dengan semangat UUD 1945 Pasal 33. Dan,
DPR-lah (sebagai wakil rakyat) yang menentukan. Bila DPR tidak mampu menalar UUD
1945 pasal 33 ini, jangan salahkan rakyat menggunakan nalarnya sendiri. [Radar Banten, Senin, 2 April 2012]
Penulis
adalah Guru Se jarah MA Al-Khairiyah Karangtengah – Cilegon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar