Selasa, 10 April 2012

Banten Perlu Polisi Wisata

OLEH AYATULLOH MARSAI
Siang itu, awal Januari 2012 lalu, saya dan rombongan Wisata Sejarah memutuskan untuk bertolak ke Istana Kaibon. Pagi hingga zuhur, kami sudah ke Museum Kepurbakalaan Banten, Istana Surosowan dan Masjid Agung Banten, tidak ketinggalan berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Siang sampai sore, rencananya akan kami habiskan di Kaibon, Benteng Speelwijk dan Vihara Avalokitesvara.

Dalam perjalanan ke Kaibon saya melihat serombongan (sepertinya santri) menaiki Benteng Surosowan. Tempat dimana rombongan naik itu rupanya belum lama runtuh. Dan, reruntuhan masih berserakan. Batu karang persegi empat hasil karya nenek moyang bergelimpangan. Saya turun dari mobil untuk membidikkan kamera poket kearah gambar timpang ini. Sambil berjanji dalam hati, saya akan menuliskannya nanti.
Dalam tulisan ini perlu kiranya memetakan ragam pengunjung Banten Lama ini. Sepanjang pengetahuan penulis, pengunjung Banten Lama ini bisa dibagi tiga. Pertama, pengunjung sejarah. Pengunujung ini datang ke Surosowan untuk obsevasi, mengamati langsung maha karya Kesultanan Banten, setelah dia banyak tahu tentang Kesultanan dari buku atau sumber tertulis lainnya. Inilah yang saya lakukan, membawa anak-anak didik ke lokasi bersejarah, setelah mereka mempelajari di kelas. Tidak jarang kami berpapasan atau berdialog dengan pengunjung sejarah dari mancanegara, misalnya Belanda.


Kedua, pengunjung spiritual. Mereka adalah pengunjung ziarah, perorangan maupun rombongan yang datang ke Banten Lama untuk berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Pengunjung ini juga tidak hanya dari lokal Banten, tidak jarang saya melihat mobil pariwisata luar kota di parkiran.

Pada katagori pengunjung spiritual, ada sebagian orang atau sebagian rombongan yang lebih dari sekedar ziarah. Mereka melakukan ritual di tempat-tempat tertentu, misalnya di kolam-kolam, sumur, ruang bawah tanah yang berada di dalam Istana Surosowan.
Perilaku pengunjung spiritual terakhir inilah yang terkadang tidak sejalan dengan semangat pengelolaan, penjagaan dan pelestarian cagar budaya. Jarang sekali mereka melakukan kordinasi dengan pihak pengelola cagar budaya setempat. Mereka masuk tidak melalui pintu yang tersedia, tapi dengan memanjat pintu atau tembok Benteng Surosowan. Mereka juga datang tidak kenal waktu kerja, sering malam atau dini hari.

Ketiga, pengunjung pasangan mojok. Mereka yang datang ke lokasi Banten Lama untuk bermesraan dengan pasangannya. Pemandangan ini tidak sulit ditemukan, terutama di empat lokasi penting: Kaibon, Surosowan, Benteng Speelwijk dan Tasikardi. Tentu saja ini sangat mengganggu, terutama bagi yang biasa membawa siswa-siswa ke lokasi bersejarah ini, baik dari sekolah lokal Banten maupun kota-kota lain di Indonesia.

Berkaitan dengan pengunjung golongan ini, ada pengalaman yang tidak bisa saya mengerti sampai sekarang, seorang siswa menemukan kondom di ruang bawah tanah Istana Surosowan. Kondom akhirnya menjadi tema obrolan di kalangan mereka. Riskan bukan?

Polisi Wisata
Bagaimana pun cagar budaya itu penting mendapatkan perhatian dari semua pihak. Lebih-lebih pemerintah. Meskipun saya ragu ketika mendapati bangunan-bangunan komersial bertengger di atas puing-puing bangunan bersejarah, dengan mudah mendapatkan izin pemerintah. Tapi, Banten Lama berbeda. Tempat ini identitas Banten yang tak terbantahkan, harus ada upaya kongkret pemerintah untuk menjaganya.

Berkaitan dengan perilaku tak bertanggungjawab pengunjung di atas, saya teringat dengan pengalaman seorang Wahyuni Kammah, ketika berkunjung ke Machu Picchu, warisan peradaban bangsa Inca di Peru, Amerika Selatan.

Dia menulis di majalah Intisari, No. 571, “Ketika sedang duduk di atas batu sambil mengamati pemandangan sekitarnya dan arsitektur Macho Picchu yang memukau, tiba-tiba saya mendengar suara tiupan peluit. Rupanya berasal polisi pengawas wisata yang meneriaki saya untuk tidak duduk di atas batu. Lagi-lagi, Dinas Pariwisata Peru sungguh-sungguh melindungi cagar budayanya.”  

Di lokasi wisata Banten Lama, dan di semua tempat wisata di Banten (nantinya), tidak berlebihan jika belajar dari Peru, memberlakukan adanya polisi wisata. Polisi wisata ini, disamping mencegah perilaku-perilaku merusak yang kemungkinan dilakukan oleh pengunjung, baik sengaja maupun tidak sengaja, juga mengantisipasi adanya pencurian yang mungkin saja terjadi di tempat wisata. Lebih jauh, saya kira, akan memunculkan ketenangan tersendiri bagi pengunjung. (*)
*Penulis, Guru Sejarah di MA Al-Khairiyah Karangtengah – Cilegon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar