OLEH AYATULLOH MARSAI
Siang itu, awal Januari 2012 lalu, saya dan rombongan Wisata Sejarah memutuskan untuk bertolak ke Istana Kaibon. Pagi hingga zuhur, kami sudah ke Museum Kepurbakalaan Banten, Istana Surosowan dan Masjid Agung Banten, tidak ketinggalan berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Siang sampai sore, rencananya akan kami habiskan di Kaibon, Benteng Speelwijk dan Vihara Avalokitesvara.
Kedua, pengunjung spiritual. Mereka adalah pengunjung ziarah, perorangan maupun rombongan yang datang ke Banten Lama untuk berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Pengunjung ini juga tidak hanya dari lokal Banten, tidak jarang saya melihat mobil pariwisata luar kota di parkiran.
Siang itu, awal Januari 2012 lalu, saya dan rombongan Wisata Sejarah memutuskan untuk bertolak ke Istana Kaibon. Pagi hingga zuhur, kami sudah ke Museum Kepurbakalaan Banten, Istana Surosowan dan Masjid Agung Banten, tidak ketinggalan berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Siang sampai sore, rencananya akan kami habiskan di Kaibon, Benteng Speelwijk dan Vihara Avalokitesvara.
Dalam
perjalanan ke Kaibon saya melihat serombongan (sepertinya santri) menaiki Benteng
Surosowan. Tempat dimana rombongan naik itu rupanya belum lama runtuh. Dan,
reruntuhan masih berserakan. Batu karang persegi empat hasil karya nenek moyang
bergelimpangan. Saya turun dari mobil untuk membidikkan kamera poket kearah
gambar timpang ini. Sambil berjanji dalam hati, saya akan menuliskannya nanti.
Dalam
tulisan ini perlu kiranya memetakan ragam pengunjung Banten Lama ini. Sepanjang
pengetahuan penulis, pengunjung Banten Lama ini bisa dibagi tiga. Pertama, pengunjung sejarah. Pengunujung
ini datang ke Surosowan untuk obsevasi, mengamati langsung maha karya
Kesultanan Banten, setelah dia banyak tahu tentang Kesultanan dari buku atau
sumber tertulis lainnya. Inilah yang saya lakukan, membawa anak-anak didik ke
lokasi bersejarah, setelah mereka mempelajari di kelas. Tidak jarang kami
berpapasan atau berdialog dengan pengunjung sejarah dari mancanegara, misalnya
Belanda.Kedua, pengunjung spiritual. Mereka adalah pengunjung ziarah, perorangan maupun rombongan yang datang ke Banten Lama untuk berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Pengunjung ini juga tidak hanya dari lokal Banten, tidak jarang saya melihat mobil pariwisata luar kota di parkiran.
Pada
katagori pengunjung spiritual, ada sebagian orang atau sebagian rombongan yang
lebih dari sekedar ziarah. Mereka melakukan ritual di tempat-tempat tertentu,
misalnya di kolam-kolam, sumur, ruang bawah tanah yang berada di dalam Istana
Surosowan.
Perilaku
pengunjung spiritual terakhir inilah yang terkadang tidak sejalan dengan
semangat pengelolaan, penjagaan dan pelestarian cagar budaya. Jarang sekali
mereka melakukan kordinasi dengan pihak pengelola cagar budaya setempat. Mereka
masuk tidak melalui pintu yang tersedia, tapi dengan memanjat pintu atau tembok
Benteng Surosowan. Mereka juga datang tidak kenal waktu kerja, sering malam
atau dini hari.
Ketiga, pengunjung pasangan
mojok. Mereka yang datang ke lokasi Banten Lama untuk bermesraan dengan
pasangannya. Pemandangan ini tidak sulit ditemukan, terutama di empat lokasi
penting: Kaibon, Surosowan, Benteng Speelwijk dan Tasikardi. Tentu saja ini
sangat mengganggu, terutama bagi yang biasa membawa siswa-siswa ke lokasi
bersejarah ini, baik dari sekolah lokal Banten maupun kota-kota lain di
Indonesia.
Berkaitan
dengan pengunjung golongan ini, ada pengalaman yang tidak bisa saya mengerti
sampai sekarang, seorang siswa menemukan kondom di ruang bawah tanah Istana
Surosowan. Kondom akhirnya menjadi tema obrolan di kalangan mereka. Riskan bukan?
Polisi Wisata
Bagaimana
pun cagar budaya itu penting mendapatkan perhatian dari semua pihak.
Lebih-lebih pemerintah. Meskipun saya ragu ketika mendapati bangunan-bangunan
komersial bertengger di atas puing-puing bangunan bersejarah, dengan mudah mendapatkan
izin pemerintah. Tapi, Banten Lama berbeda. Tempat ini identitas Banten yang
tak terbantahkan, harus ada upaya kongkret pemerintah untuk menjaganya.
Berkaitan
dengan perilaku tak bertanggungjawab pengunjung di atas, saya teringat dengan
pengalaman seorang Wahyuni Kammah, ketika berkunjung ke Machu Picchu, warisan peradaban bangsa Inca di Peru, Amerika
Selatan.
Dia
menulis di majalah Intisari, No. 571,
“Ketika sedang duduk di atas batu sambil mengamati pemandangan sekitarnya dan
arsitektur Macho Picchu yang memukau, tiba-tiba saya mendengar suara tiupan
peluit. Rupanya berasal polisi pengawas wisata yang meneriaki saya untuk tidak
duduk di atas batu. Lagi-lagi, Dinas Pariwisata Peru sungguh-sungguh melindungi
cagar budayanya.”
Di
lokasi wisata Banten Lama, dan di semua tempat wisata di Banten (nantinya),
tidak berlebihan jika belajar dari Peru, memberlakukan adanya polisi wisata.
Polisi wisata ini, disamping mencegah perilaku-perilaku merusak yang
kemungkinan dilakukan oleh pengunjung, baik sengaja maupun tidak sengaja, juga
mengantisipasi adanya pencurian yang mungkin saja terjadi di tempat wisata.
Lebih jauh, saya kira, akan memunculkan ketenangan tersendiri bagi pengunjung.
(*)
*Penulis,
Guru Sejarah di MA Al-Khairiyah Karangtengah – Cilegon.