Aku ingat waktu kecil aku
sangat pemalu. Apalagi untuk tampil di depan orang banyak. Ketika ihtifalan di sekolah sore, aku gemetar.
Keringat seolah nyumber dari seluruh pori-pori kulitku. “Keringete ning
silit-silit”, kata istilah kampungku. Artinya, keringat sampai ke pantat.
Entah, kenapa itu terjadi pada diriku. Tidak dengan teman-temanku, mereka aku
lihat berani dan percaya diri tampil di depan umum. Sementar aku tidak.
Termasuk komunikasi, aku
suka gemetaran. Tidak hanya itu, aku tidak berani menatap mata lawan bicaraku.
Sampai sekarang, jarang. Padahal dalam buku “Bahasa Tubuh”, salah satu etika
dan sekaligus gambaran kepribadian yang baik adalah ketika seseorang
berkomunikasi verbal dengan menatap mata lawan bicaranya. Dan juga dengan badan
berhadapan. Aku tidak bisa melakukanya. Aku sangat lemah.
Di kelas, di rapat-rapat,
di komunitas kelompok, tetap saja begitu kesimpulannya, aku tidak pandai dan
tidak cakap berbicara. Orang juga mengenalku ‘si pendiam’. Ah, sebenarnya aku
tidak mau seperi itu. Aku ingin sekali berbicara lantang, menggebu-gebu. Saking
keinginan itu bukan sekedar keinginan, aku sering berlatih di depan kaca. Cara
ini sesuai dengan anjuran kakak Pembina dakwah di pesantren. Dia menjelaskan,
salah satu cara untuk berlatih bicara di hadapan orang banyak adalah dengan
cara berbicara di depan cermin, yang besar bila perlu. Aku menurutinya.
Disaat aku sedang
berlatih, pernah tetanggaku mengintip, tahu-tahu ketika aku selesai latihan,
dia menjawab salamku pada saat aku menutup pembicaraan. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, pungkasku. Dan, “walaikum salam”, jawab tetanggaku itu. Sontak
aku kaget. Malu, ternyata dari tadi ada yang mendengar latihan bicaraku. Ah,
biarin. Aku juga bangga kok, termasuk menambah kualitas latihanku.
Latihan demi latihan,
pengalaman demi pengalaman, tidak membuatku merasa sempurna. Meski demikian,
aku bukan yang paling jelek. Aku adalah orang biasa, yang tidak sempurna juga
tidak terlalu minim kemampuan. Beberapa temanku di SLTA ada saja yang memujiku
pintar. Kalau itu sebuah kejujuran, mungkin iya. Kalau itu juga sebuah
basa-basi, aku juga memang merasa seperti itu, singkatnya aku tidak merasa sempurna.
Perasaan ini, baiknya
membuat aku ingin terus belajar. Tetapi satu sisi, kadang-kadang, membuat aku
tidak berani tampil dalam kesempatan-kesempatan penting, dimana disitu ada peluang.
Padahal, sepintar apapun aku, kalau tidak berusaha menampakan kepintaran kita
dalam tempat yang tepat, aku tidak bisa mendapatkan apa-apa dari kepintaranku
itu. Kecuali untuk diri sendiri. Padahalkan, orang terbaik di dunia ini, kata
Nabi, adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain. Jadi, jika aku berani
tampil, aku akan manfaat buat yang lain. Tetapi kalau diam saja, tidak ada
eksternalisasinya, ya beku deh.
Sadar diri dengan
kelemahanku, terbersit dalam dalam benakku tidak akan mencari profesi yang
membutuhkan kemampuan bicara. Dua pekerjaan yang aku hindari dalam pikirku,
yaitu menjadi guru dan penceramah. Aku tidak akan menjadi keduanya.
Tahukah anda yang terjadi
dalam hidupku kemudian? Jalan hidup membawaku ke pekerjaan-pekerjaan yang
paling aku hindari tadinya. Sekarang, aku seorang guru. Sekarang, aku juga
seorang yang suka dipercaya menjadi khatib di mesjid kampungku, suka diminta
mewakili kata sambutan, baik dalam hajat masyarakat maupun hajat walimatul
arus, bahkan kematian. Yang aku takutkan, justru terjadi. Ya, inilah hidup.
Masih karena alasan yang
sama, karena tidak bisa bicara aku kemudian menggantungkan mimpiku kepada
pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan tulis-menulis. Pahamku waktu itu, aku
harus tetap berguna untuk orang lain, aku harus menunaikan kewajiban dakwahku
sebagai muslim, tapi tidak dengan lisan. Aku yakinkan diriku menjadi seorang
da’i bil kitab.
Kelas 2 Aliyah, aku
mendaftar menjadi salah satu peserta pelatihan jurnalistik abu-abu di IAIN SGD
Serang. Di sana aku sangat berminat, penuh semangat, mengikuti acara demi
acara. Yang paling berkesan adalah acara malam itu, diakhir acara kami dibentuk
kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok itu diibaratkan sebuah perusahaan
penerbitan media, atau tepatnya tim redaksi. Kami berlomba mencari berita,
mencari ide bergerak pada segmen apa media yang akan dibuat, lembar apa saja
yang harus ada. Paling seru investigasi, mencari berita focus pada satu
masalah. Waktu itu reporter media kami memotret para bapak pengais becak di
malam hari. Menarik. Sepertinya inilah duniaku.
Tidak, kehidupan membawaku
kepada keduanya, sesuatu yang aku benci, maupun sesuatu yang aku sukai, kalau
harus terjadi, terjadilah. Ternyata kita harus mempersiapkan segala
kemungkinan, harus belajar semua. Banyak hal, apa saja. Yang penting jangan
diam. Bergeraklah, meski hanya dalam fikiran.
“Aku berfikir maka aku
ada”, kata filosofi Yunani. Oleh Karl Marx, kalimat itu ditindaklanjuti menjadi,
“aku bekerja maka aku ada”. Nah, boleh dong
untuk kepentingan eksistensi, aku juga melakukan hal yang sama, menindaklanjuti
kalimat itu berdasarkan kepentinganku di sini. Merubah kalimat tersebut
menjadi, “aku bicara maka aku ada, aku menulis maka aku ada, aku harus bicara
dan aku harus menulis”. Ah, semua kalimat-kalimat terakhir hanya pengembangan
saja. Tetap saja orang yang punya hak paten
atas konsep itu adalah filosof Yunani. Terimakasih
Bang Yunanian.
Ayatulloh Marsai
28 November 2011