Minggu, 27 Januari 2013

Ketika (Pemilik) Rahim Disakiti*


Oleh Ayatulloh Marsai*

Tidak habis-habisnya kasus pernikahan Aceng Fikri dengan Fany Oktora dibicarakan. Semua media membicarakan hal ini. Satu sebab utamanya, karena Aceng Fikri adalah pejabat publik. Pejabat publik diharapkan ideal (sempurna), sebagai teladan orang-orang yang dipimpinnya. Agaknya berlaku logika: bagaimana bisa memimpin dengan baik-baik kalau dirinya saja tidak baik; bagaimana bisa menciptakan pemerintahan yang benar, kalau sendirinya saja tidak benar.

Ketidakbecusan Aceng Fikri, setidaknya yang marak diberitakan di media massa, adalah pelecehan kaum wanita. Letak pelecehan itu ketika Aceng Fikri menikahi dalam tempo waktu super singkat (dibanding ukuran umum), hanya empat hari pernikahan; untuk kemudian menceraikannya melalui SMS pula; ditambah dengan komentar-komentar Aceng yang menyakitkan kaum perempuan: “sudah tidak perawan,” “bukan speknya,” dan proses penceraian itu sendiri.

Tidak hanya istri pertamanya (mungkin) dan Fany, semua perempuan Garut sakit hatinya mendengar dan melihat tingkah-pola Aceng Fikri ini. Maka aksi tuntutan mundur muncul di mana-mana. Gaungnya semakin “mantap” menggema karena menemukan momen “Hari Ibu” bulan Desember ini. Pihak-pihak berwenang bertali-sambung mersepon, mulai DPRD Garut, Mendagri, hingga tokoh-tokoh masyarakat.

Sekarang, nasib jabatan Aceng Fikir tinggal menunggu putusan Mahkamah Agung (MA). Apakah MA sependapat dengan DPRD Garut, bahawa Aceng Fikri melanggar UU Perkawinan dan UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah? Ada waktu 30 hari untuk MA memutuskan. Jika MA memutuskan bersalah, tamatlah jabatan Aceng Fikri sebagai Bupati Garut!

Wanita Sebagai Kekuatan Sejarah
Ini bukan kali pertama, masalah etika, khususnya masalah wanita, menyebabkan pesona seorang pemimpin memudar. Hilang dari garis edar kepemimpinan nasional maupun daerah. Jelas, di sini wanita sebagai penentu sejarah: jaya-runtuhnya seorang penguasa tergantung bagaimana dia memperlakukan para wanita, terutama ibu dan istrinya.

Dalam pentas politik, perempuan, bisa menyatukan juga bisa mencerai-beraikan. Terutama dalam sejarah perpolitikan Nusantara. Mataram Kuno dengan Sriwijaya misalnya, adalah dua kerajaan yang berdamai dengan dijadikannya putri Raja Sriwijaya sebagai istri oleh Raja Mataram; Sunan Gunung Djati bisa dengan mudah menyebarkan Islam di wilayah kekuasaan Raja Siliwangi dengan sebab menikahi putri raja, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh Majapahit sebelumnya.

Tapi, tidak sedikit, dengan sebab perempuan, perang antar kelompok bahkan melibatkan banyak kerajaan pun terjadi.

Penyatuan dan perpecahan oleh sebab perempuan di atas, agaknya masih menjadi hukum sejarah umat manusia: terutama politik. Tentu dengan konteks kekinian. Perempuan bisa membangun juga bisa meruntuhkan sebuah kekuasaan.

Kasus Aceng Fikri, Bupati Garut, adalah satu misal paling aktual saat ini. Sebelum tersandung kasus pernikahan empat hari, Aceng adalah pemimpin yang berwibawa. Kiranya, kemenangan dia dalam Pemilukada Garut 2008 dari jalur indepeneden, bisa dijadikan alasan untuk menyimpulkan bahwa sosok Aceng diakui sebagai orang baik oleh rakyat Garut. Kemenangannya telak: 57 persen. Tetapi, anggapan itu menjadi jungkirbalik setelah dia menikahi secara siri seorang gadis 18 tahun, dan menceraikannya empat hari setelah pernikahan. Melalui SMS pula.

Selain Aceng, banyak pejabat yang kariernya segera ‘kelam’ sebab tersandung masalah perempuan. Bedanya: kalau Aceng melangsungkan pernikahan, meskipun secara siri, banyak pejabat-pejabat malah tidak menikah: main perempuan di tempat hiburan. Di sini kelebihan Aceng kiranya, secara hukum agama dia tidak melanggar. Hanya melanggar secara etika.

Ibarat pelaksanaan shalat, dia tidak melanggar apapun dari syarat dan rukun shalat, namun pakainnya sehelai sarung sekadar di atas pusar sampai kaki. Shalat ini sah secara hukum, namun sungguh tidak etis. Dan, sebagai pejabat publik, etika itu penting.

Menyakiti (Pemilik) Rahim
Menyimak keruntuhan dan kekelaman pejabat publik garagara perempuan saya teringat satu pertemuan kuliah dengan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, penulis buku Api Sejarah, Salamadani, dia mengatakan: “siapa pun pemimpin yang menyakiti perempuan dia akan tumbang dari kekuasaannya. Karena Allah menitipkan satu anggota tubuh pada perempuan dari namanya: Ar-Rahim.”

Kemudian professor meyebutkan beberapa tokoh nasional yang mengalami nasib tragis, tersungkur dari kekuasaannya, setelah menyakiti istrinya karena punya hubungan dengan perempuan lain.

Penjelasan professor tersebut memang sulit dimengerti, jika kita mengandalkan rasio. Namun kita akan segera mengerti, ketika kita mau melibatkan intuisi (hati) dalam melihat suatu kebenaran.

Perbedaan fitrah wanita dengan laki-laki terletak di rahimnya. Dari rahim inilah lahir konsekwensi-konsekwensi: mengandung, melahirkan dan menyusui. Maka tiga hal inilah yang menyebabkan derajat wanita tiga kali lebih tinggi dari laki-laki. Kalau saja wanita tidak “menuruni” sifat rahim Allah, mana mungkin bisa menjalani tiga tugas berat itu. Dan, ketika wanita, orang yang sudah susah-payah menanggung konsekwensi kepemilikan rahim ini, disakiti, maka sangat mungkin Sang Pemilik rahim sesunggunya juga merasakan sakit itu. Kalau sudah Sang Pemilik Rahim, Allah, yang sakit, hal paling buruk pun bisa terjadi pada seseorang.
Akhirnya, para pejabat publik, public figure, dan kita semua mulai menghitung, berapa pejabat, berapa public figure dan berapa orang biasa yang kariernya kelam, gelap-gulita, setelah menyakiti pemilik “rahim” ini: ibu dan istrinya. Lalu, kita belajar untuk tidak menyakiti hati ibu dan istri kita. Selamat hari ibu!

*Penulis adalah Guru Sejarah Kebudayaan Islam di MA/MTs Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon. Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 

*dimuat Radar Banten, 29 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar