Oleh Ayatulloh Marsai*
Tidak habis-habisnya kasus pernikahan Aceng Fikri
dengan Fany Oktora dibicarakan. Semua media membicarakan hal ini. Satu sebab
utamanya, karena Aceng Fikri adalah pejabat publik. Pejabat publik diharapkan
ideal (sempurna), sebagai teladan orang-orang yang dipimpinnya. Agaknya berlaku
logika: bagaimana bisa memimpin dengan baik-baik kalau dirinya saja tidak baik;
bagaimana bisa menciptakan pemerintahan yang benar, kalau sendirinya saja tidak
benar.
Ketidakbecusan Aceng Fikri, setidaknya yang marak diberitakan
di media massa, adalah pelecehan kaum wanita. Letak pelecehan itu ketika Aceng
Fikri menikahi dalam tempo waktu super singkat (dibanding ukuran umum), hanya
empat hari pernikahan; untuk kemudian menceraikannya melalui SMS pula; ditambah
dengan komentar-komentar Aceng yang menyakitkan kaum perempuan: “sudah tidak
perawan,” “bukan speknya,” dan proses penceraian itu sendiri.
Tidak hanya istri pertamanya (mungkin) dan Fany,
semua perempuan Garut sakit hatinya mendengar dan melihat tingkah-pola Aceng
Fikri ini. Maka aksi tuntutan mundur muncul di mana-mana. Gaungnya semakin
“mantap” menggema karena menemukan momen “Hari Ibu” bulan Desember ini. Pihak-pihak
berwenang bertali-sambung mersepon, mulai DPRD Garut, Mendagri, hingga
tokoh-tokoh masyarakat.
Sekarang, nasib jabatan Aceng Fikir tinggal menunggu
putusan Mahkamah Agung (MA). Apakah MA sependapat dengan DPRD Garut, bahawa
Aceng Fikri melanggar UU Perkawinan dan UU Nomor 32 tentang Pemerintahan
Daerah? Ada waktu 30 hari untuk MA memutuskan. Jika MA memutuskan bersalah,
tamatlah jabatan Aceng Fikri sebagai Bupati Garut!
Wanita
Sebagai Kekuatan Sejarah
Ini bukan kali pertama, masalah etika, khususnya
masalah wanita, menyebabkan pesona seorang pemimpin memudar. Hilang dari garis
edar kepemimpinan nasional maupun daerah. Jelas, di sini wanita sebagai penentu
sejarah: jaya-runtuhnya seorang penguasa tergantung bagaimana dia memperlakukan
para wanita, terutama ibu dan istrinya.
Dalam pentas politik, perempuan, bisa menyatukan
juga bisa mencerai-beraikan. Terutama dalam sejarah perpolitikan Nusantara.
Mataram Kuno dengan Sriwijaya misalnya, adalah dua kerajaan yang berdamai
dengan dijadikannya putri Raja Sriwijaya sebagai istri oleh Raja Mataram; Sunan
Gunung Djati bisa dengan mudah menyebarkan Islam di wilayah kekuasaan Raja
Siliwangi dengan sebab menikahi putri raja, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh
Majapahit sebelumnya.
Tapi, tidak sedikit, dengan sebab perempuan, perang
antar kelompok bahkan melibatkan banyak kerajaan pun terjadi.
Penyatuan dan perpecahan oleh sebab perempuan di
atas, agaknya masih menjadi hukum sejarah umat manusia: terutama politik. Tentu
dengan konteks kekinian. Perempuan bisa membangun juga bisa meruntuhkan sebuah
kekuasaan.
Kasus Aceng Fikri, Bupati Garut, adalah satu misal
paling aktual saat ini. Sebelum tersandung kasus pernikahan empat hari, Aceng
adalah pemimpin yang berwibawa. Kiranya, kemenangan dia dalam Pemilukada Garut
2008 dari jalur indepeneden, bisa dijadikan alasan untuk menyimpulkan bahwa
sosok Aceng diakui sebagai orang baik oleh rakyat Garut. Kemenangannya telak:
57 persen. Tetapi, anggapan itu menjadi jungkirbalik setelah dia menikahi
secara siri seorang gadis 18 tahun, dan menceraikannya empat hari setelah
pernikahan. Melalui SMS pula.
Selain Aceng, banyak pejabat yang kariernya segera
‘kelam’ sebab tersandung masalah perempuan. Bedanya: kalau Aceng melangsungkan
pernikahan, meskipun secara siri, banyak pejabat-pejabat malah tidak menikah:
main perempuan di tempat hiburan. Di sini kelebihan Aceng kiranya, secara hukum
agama dia tidak melanggar. Hanya melanggar secara etika.
Ibarat pelaksanaan shalat, dia tidak melanggar
apapun dari syarat dan rukun shalat, namun pakainnya sehelai sarung sekadar di atas pusar sampai kaki.
Shalat ini sah secara hukum, namun sungguh tidak etis. Dan, sebagai pejabat
publik, etika itu penting.
Menyakiti
(Pemilik) Rahim
Menyimak keruntuhan dan kekelaman pejabat publik
garagara perempuan saya teringat satu pertemuan kuliah dengan Prof. Ahmad Mansur
Suryanegara, penulis buku Api Sejarah,
Salamadani, dia mengatakan: “siapa pun pemimpin yang menyakiti perempuan dia
akan tumbang dari kekuasaannya. Karena Allah menitipkan satu anggota tubuh pada
perempuan dari namanya: Ar-Rahim.”
Kemudian professor meyebutkan beberapa tokoh
nasional yang mengalami nasib tragis, tersungkur dari kekuasaannya, setelah
menyakiti istrinya karena punya hubungan dengan perempuan lain.
Penjelasan professor tersebut memang sulit dimengerti,
jika kita mengandalkan rasio. Namun kita akan segera mengerti, ketika kita mau
melibatkan intuisi (hati) dalam melihat suatu kebenaran.
Perbedaan fitrah wanita dengan laki-laki terletak di
rahimnya. Dari rahim inilah lahir konsekwensi-konsekwensi: mengandung,
melahirkan dan menyusui. Maka tiga hal inilah yang menyebabkan derajat wanita
tiga kali lebih tinggi dari laki-laki. Kalau saja wanita tidak “menuruni” sifat
rahim Allah, mana mungkin bisa
menjalani tiga tugas berat itu. Dan, ketika wanita, orang yang sudah
susah-payah menanggung konsekwensi kepemilikan rahim ini, disakiti, maka sangat
mungkin Sang Pemilik rahim sesunggunya juga merasakan sakit itu. Kalau sudah
Sang Pemilik Rahim, Allah, yang sakit, hal paling buruk pun bisa terjadi pada
seseorang.
Akhirnya, para pejabat publik, public figure, dan kita semua mulai menghitung, berapa pejabat,
berapa public figure dan berapa orang
biasa yang kariernya kelam, gelap-gulita, setelah menyakiti pemilik “rahim”
ini: ibu dan istrinya. Lalu, kita belajar untuk tidak menyakiti hati ibu dan
istri kita. Selamat hari ibu!
*Penulis
adalah Guru Sejarah Kebudayaan Islam di MA/MTs Al-Khairiyah Karangtengah,
Cilegon. Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
*dimuat Radar Banten, 29 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar