Oleh Ayatulloh Marsai*
“
|
Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai
deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal
hanya hewan yang pandai.”
Dalam buku “Bumi Manusia,” kalimat sakti ini, Pramoedya
Ananta Toer sematkan menjadi kata-kata yang meluncur dari seorang guru sastra
di sekolah H.B.S, ketika memberikan pengantar pada mata pelajaran Sastra Belanda. Semua
siswa tersipu malu, karena selama ini tidak menganggap sastra sebagai sesuatu
yang penting. Tapi, beberapa hari ke depan, berkat guru sastra yang satu ini
(namanya: Magda Peters), semua siswa tersihir menjadi gandrung terhadap sastra,
khususnya sastra Belanda.
Pengaruh dialog ini, atau tepatnya pengaruh kata-kata
yang mengalir dari seorang guru yang baru saja datang dari Nederland ini, membuat
saya tersindir dan teringat pada sebuah fakta Oktober tahun 2012 lalu: di
Banten, dari total 30. 800 guru, hanya sekitar 7000 yang lulus uji kompetensi.
Hudaya Latuconsina, selaku Kepala Dinas Pendidikan Banten, memberi keterangan
di Radar Banten, 16 Oktober 2012:
para guru itu kurang menguasai pedagogik.
Ketersindiran itu berpijak pada: Magna Peters
berhasil membuat siswanya suka kepada pelajaran yang dia ampu. Berkebalikan dengan
selera sebelumnya: sastra tidak menarik. Sementara saya (mungkin banyak lagi
guru lainnya), masih menjadi hantu di kelas. Siswa riang saat jam istirahat,
namun menjadi tegang, mengantuk atau lebih baik melukis wajah gurunya, kalau
tidak mengobrol, saat guru mengajar di kelas. Mata pelajaran (apapun) menjadi
tidak menarik, ketika disampaikan dengan cara yang tidak tepat. Terutama, ‘tepat’
dalam pengertian ‘cara mengomunikasikan’ materi kepada siswa.
Cara mengomukasikan itu bernama metode, dan metode
itu baru akan hidup bila berhasil dipraktikan oleh guru dengan tepat mengenai
sasaran. Komisi Pendidikan Menengah India, menulis: “Bahkan kurikulum terbaik dan silabus yang paling sempurna pun tetap
mati, kecuali dipraktikkan ke dalam kehidupan melalui metode pembelajaran yang
tepat dan guru yang tepat.” (S.K Kochhar, “The Teaching of History”)
Dalam “Bumi Manusia,” tokoh Magna Peters, menjunjung
tinggi karya-karya yang bertebaran di koran-koran kala itu; menyediakan satu
forum diskusi satu pekan sekali, mengajak siswanya untuk mendiskusikan karya
terbaru: mengkritisi dan mengapresiasinya. Ketika dia tahu yang menulis adalah
siswanya, Minke, namanya, dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan
pembelaannya, meskipun karya itu jelas-jelas menyindir pemerintahan Hindia
Belanda. Magna Peters tetap membela karya itu dengan hati sastranya. Walau pun
dia tidak bisa berbuat banyak di bawah kekuasaan sistem kolonial Belanda.
Magna Peters sudah membela karya sastra, sudah berbeda
dengan guru kebanyakan, sudah melawan sistem kolonial semampunya. Kemudian dia
mengundurkan diri, dan pulang ke Nederland, kampung halamannya. Bukankah ini tindakan
sastra yang sempurna, selaras dengan alam pikiran dan hatinya: yang dia ajarkan
kepada siswa-siswanya sekaligus dia bela ajaran itu dalam kehidupannya. Guru
yang tepat!
Mungkin Magna Peters adalah sastra itu sendiri.
Seperti yang dikatakannya: “Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra
adalah lukisan dalam bahasa.” Sementara dia sendiri mungkin, sastra dalam tindakan.
Karya Pram ini dicipta di Indonesia dengan latar Hindia
Belanda pada awal abad ke-20. Sekarang, bumi Hindia Belanda itu bernama
Republik Indonesia. Jika relasi karya ini masih terdapat kesesuaian dengan
Indonesia abad ke-21 ini, tentu bukan salah Pram menulis. Dan, tentu bukan
salah pelajaran Bahasa dan Sastra Indoensia juga, hingga harus disembunyikan
dibalik tubuh pelajaran lain: kurikulum 2013, kabarnya demikian!
*Penulis
adalah guru madrasah swasta, tinggal di Cilegon.