Minggu, 27 Januari 2013

MEMBACA “BUMI MANUSIA,” MENEMU GURU SASTRA DI SEKOLAH


Oleh Ayatulloh Marsai*

Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Dalam buku “Bumi Manusia,” kalimat sakti ini, Pramoedya Ananta Toer sematkan menjadi kata-kata yang meluncur dari seorang guru sastra di sekolah H.B.S, ketika memberikan pengantar  pada mata pelajaran Sastra Belanda. Semua siswa tersipu malu, karena selama ini tidak menganggap sastra sebagai sesuatu yang penting. Tapi, beberapa hari ke depan, berkat guru sastra yang satu ini (namanya: Magda Peters), semua siswa tersihir menjadi gandrung terhadap sastra, khususnya sastra Belanda.

Pengaruh dialog ini, atau tepatnya pengaruh kata-kata yang mengalir dari seorang guru yang baru saja datang dari Nederland ini, membuat saya tersindir dan teringat pada sebuah fakta Oktober tahun 2012 lalu: di Banten, dari total 30. 800 guru, hanya sekitar 7000 yang lulus uji kompetensi. Hudaya Latuconsina, selaku Kepala Dinas Pendidikan Banten, memberi keterangan di Radar Banten, 16 Oktober 2012: para guru itu kurang menguasai pedagogik.

Ketersindiran itu berpijak pada: Magna Peters berhasil membuat siswanya suka kepada pelajaran yang dia ampu. Berkebalikan dengan selera sebelumnya: sastra tidak menarik. Sementara saya (mungkin banyak lagi guru lainnya), masih menjadi hantu di kelas. Siswa riang saat jam istirahat, namun menjadi tegang, mengantuk atau lebih baik melukis wajah gurunya, kalau tidak mengobrol, saat guru mengajar di kelas. Mata pelajaran (apapun) menjadi tidak menarik, ketika disampaikan dengan cara yang tidak tepat. Terutama, ‘tepat’ dalam pengertian ‘cara mengomunikasikan’ materi kepada siswa.

Cara mengomukasikan itu bernama metode, dan metode itu baru akan hidup bila berhasil dipraktikan oleh guru dengan tepat mengenai sasaran. Komisi Pendidikan Menengah India, menulis: “Bahkan kurikulum terbaik dan silabus yang paling sempurna pun tetap mati, kecuali dipraktikkan ke dalam kehidupan melalui metode pembelajaran yang tepat dan guru yang tepat.” (S.K Kochhar, “The Teaching of History”)

Dalam “Bumi Manusia,” tokoh Magna Peters, menjunjung tinggi karya-karya yang bertebaran di koran-koran kala itu; menyediakan satu forum diskusi satu pekan sekali, mengajak siswanya untuk mendiskusikan karya terbaru: mengkritisi dan mengapresiasinya. Ketika dia tahu yang menulis adalah siswanya, Minke, namanya, dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan pembelaannya, meskipun karya itu jelas-jelas menyindir pemerintahan Hindia Belanda. Magna Peters tetap membela karya itu dengan hati sastranya. Walau pun dia tidak bisa berbuat banyak di bawah kekuasaan sistem kolonial Belanda.

Magna Peters sudah membela karya sastra, sudah berbeda dengan guru kebanyakan, sudah melawan sistem kolonial semampunya. Kemudian dia mengundurkan diri, dan pulang ke Nederland, kampung halamannya. Bukankah ini tindakan sastra yang sempurna, selaras dengan alam pikiran dan hatinya: yang dia ajarkan kepada siswa-siswanya sekaligus dia bela ajaran itu dalam kehidupannya. Guru yang tepat!

Mungkin Magna Peters adalah sastra itu sendiri. Seperti yang dikatakannya: “Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa.” Sementara dia sendiri mungkin, sastra dalam tindakan.
Karya Pram ini dicipta di Indonesia dengan latar Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sekarang, bumi Hindia Belanda itu bernama Republik Indonesia. Jika relasi karya ini masih terdapat kesesuaian dengan Indonesia abad ke-21 ini, tentu bukan salah Pram menulis. Dan, tentu bukan salah pelajaran Bahasa dan Sastra Indoensia juga, hingga harus disembunyikan dibalik tubuh pelajaran lain: kurikulum 2013, kabarnya demikian!

*Penulis adalah guru madrasah swasta, tinggal di Cilegon.

Ketika (Pemilik) Rahim Disakiti*


Oleh Ayatulloh Marsai*

Tidak habis-habisnya kasus pernikahan Aceng Fikri dengan Fany Oktora dibicarakan. Semua media membicarakan hal ini. Satu sebab utamanya, karena Aceng Fikri adalah pejabat publik. Pejabat publik diharapkan ideal (sempurna), sebagai teladan orang-orang yang dipimpinnya. Agaknya berlaku logika: bagaimana bisa memimpin dengan baik-baik kalau dirinya saja tidak baik; bagaimana bisa menciptakan pemerintahan yang benar, kalau sendirinya saja tidak benar.

Ketidakbecusan Aceng Fikri, setidaknya yang marak diberitakan di media massa, adalah pelecehan kaum wanita. Letak pelecehan itu ketika Aceng Fikri menikahi dalam tempo waktu super singkat (dibanding ukuran umum), hanya empat hari pernikahan; untuk kemudian menceraikannya melalui SMS pula; ditambah dengan komentar-komentar Aceng yang menyakitkan kaum perempuan: “sudah tidak perawan,” “bukan speknya,” dan proses penceraian itu sendiri.

Tidak hanya istri pertamanya (mungkin) dan Fany, semua perempuan Garut sakit hatinya mendengar dan melihat tingkah-pola Aceng Fikri ini. Maka aksi tuntutan mundur muncul di mana-mana. Gaungnya semakin “mantap” menggema karena menemukan momen “Hari Ibu” bulan Desember ini. Pihak-pihak berwenang bertali-sambung mersepon, mulai DPRD Garut, Mendagri, hingga tokoh-tokoh masyarakat.

Sekarang, nasib jabatan Aceng Fikir tinggal menunggu putusan Mahkamah Agung (MA). Apakah MA sependapat dengan DPRD Garut, bahawa Aceng Fikri melanggar UU Perkawinan dan UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah? Ada waktu 30 hari untuk MA memutuskan. Jika MA memutuskan bersalah, tamatlah jabatan Aceng Fikri sebagai Bupati Garut!

Wanita Sebagai Kekuatan Sejarah
Ini bukan kali pertama, masalah etika, khususnya masalah wanita, menyebabkan pesona seorang pemimpin memudar. Hilang dari garis edar kepemimpinan nasional maupun daerah. Jelas, di sini wanita sebagai penentu sejarah: jaya-runtuhnya seorang penguasa tergantung bagaimana dia memperlakukan para wanita, terutama ibu dan istrinya.

Dalam pentas politik, perempuan, bisa menyatukan juga bisa mencerai-beraikan. Terutama dalam sejarah perpolitikan Nusantara. Mataram Kuno dengan Sriwijaya misalnya, adalah dua kerajaan yang berdamai dengan dijadikannya putri Raja Sriwijaya sebagai istri oleh Raja Mataram; Sunan Gunung Djati bisa dengan mudah menyebarkan Islam di wilayah kekuasaan Raja Siliwangi dengan sebab menikahi putri raja, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh Majapahit sebelumnya.

Tapi, tidak sedikit, dengan sebab perempuan, perang antar kelompok bahkan melibatkan banyak kerajaan pun terjadi.

Penyatuan dan perpecahan oleh sebab perempuan di atas, agaknya masih menjadi hukum sejarah umat manusia: terutama politik. Tentu dengan konteks kekinian. Perempuan bisa membangun juga bisa meruntuhkan sebuah kekuasaan.

Kasus Aceng Fikri, Bupati Garut, adalah satu misal paling aktual saat ini. Sebelum tersandung kasus pernikahan empat hari, Aceng adalah pemimpin yang berwibawa. Kiranya, kemenangan dia dalam Pemilukada Garut 2008 dari jalur indepeneden, bisa dijadikan alasan untuk menyimpulkan bahwa sosok Aceng diakui sebagai orang baik oleh rakyat Garut. Kemenangannya telak: 57 persen. Tetapi, anggapan itu menjadi jungkirbalik setelah dia menikahi secara siri seorang gadis 18 tahun, dan menceraikannya empat hari setelah pernikahan. Melalui SMS pula.

Selain Aceng, banyak pejabat yang kariernya segera ‘kelam’ sebab tersandung masalah perempuan. Bedanya: kalau Aceng melangsungkan pernikahan, meskipun secara siri, banyak pejabat-pejabat malah tidak menikah: main perempuan di tempat hiburan. Di sini kelebihan Aceng kiranya, secara hukum agama dia tidak melanggar. Hanya melanggar secara etika.

Ibarat pelaksanaan shalat, dia tidak melanggar apapun dari syarat dan rukun shalat, namun pakainnya sehelai sarung sekadar di atas pusar sampai kaki. Shalat ini sah secara hukum, namun sungguh tidak etis. Dan, sebagai pejabat publik, etika itu penting.

Menyakiti (Pemilik) Rahim
Menyimak keruntuhan dan kekelaman pejabat publik garagara perempuan saya teringat satu pertemuan kuliah dengan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, penulis buku Api Sejarah, Salamadani, dia mengatakan: “siapa pun pemimpin yang menyakiti perempuan dia akan tumbang dari kekuasaannya. Karena Allah menitipkan satu anggota tubuh pada perempuan dari namanya: Ar-Rahim.”

Kemudian professor meyebutkan beberapa tokoh nasional yang mengalami nasib tragis, tersungkur dari kekuasaannya, setelah menyakiti istrinya karena punya hubungan dengan perempuan lain.

Penjelasan professor tersebut memang sulit dimengerti, jika kita mengandalkan rasio. Namun kita akan segera mengerti, ketika kita mau melibatkan intuisi (hati) dalam melihat suatu kebenaran.

Perbedaan fitrah wanita dengan laki-laki terletak di rahimnya. Dari rahim inilah lahir konsekwensi-konsekwensi: mengandung, melahirkan dan menyusui. Maka tiga hal inilah yang menyebabkan derajat wanita tiga kali lebih tinggi dari laki-laki. Kalau saja wanita tidak “menuruni” sifat rahim Allah, mana mungkin bisa menjalani tiga tugas berat itu. Dan, ketika wanita, orang yang sudah susah-payah menanggung konsekwensi kepemilikan rahim ini, disakiti, maka sangat mungkin Sang Pemilik rahim sesunggunya juga merasakan sakit itu. Kalau sudah Sang Pemilik Rahim, Allah, yang sakit, hal paling buruk pun bisa terjadi pada seseorang.
Akhirnya, para pejabat publik, public figure, dan kita semua mulai menghitung, berapa pejabat, berapa public figure dan berapa orang biasa yang kariernya kelam, gelap-gulita, setelah menyakiti pemilik “rahim” ini: ibu dan istrinya. Lalu, kita belajar untuk tidak menyakiti hati ibu dan istri kita. Selamat hari ibu!

*Penulis adalah Guru Sejarah Kebudayaan Islam di MA/MTs Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon. Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 

*dimuat Radar Banten, 29 Desember 2012