Rabu, 02 Oktober 2013

(Bukan) Lagi Potret Semu Penerimaan CPNS

Oleh Ayatulloh Marsai

“Mulai tahun ini penerimaan CPNS bersih dari yang namanya calo, saya bersungguh-sungguh akan membenahi pemerintahan, karena ini bukan lagi ajang politik apalagi pencitraan.” (Azwar Abu Bakar, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, www.menkab.co.id).

25 November 2010, di harian ini saya pernah menulis, “Potret Semu Penerimaan CPNS.” Saya ingin menambahkan kata “bukan” pada judul itu, hingga menjadi “ Bukan Potret Semu Penerimaan CPNS.” Sebetulnya saya khawatir dibilang “lagi-lagi” menulis hal yang sama: pegawai negeri sipil. Tidak bosan-bosan.

Apa boleh buat, “kalau kita melihat kapal terancam tenggelam, kita tidak boleh berpangku tangan,” begitu kata Kuntowijoyo menilik tugas cendikiawan. Harus menyokong pikiran, harus berbuat. Dan, bila kapal itu nyaris dua kali tenggelam pada arus yang sama, tidak ada salahnya mengingatkan lagi kepada nahkoda kapal. Tapi, persoalannya bukan lagi pada isi pikiran (peringatan), namun bagaimana peringatan itu disampaikan. Jika peringatan dengan “teriakan” di awal tidak terdengar  atau tidak didengar, kenapa tidak kita coba “berteriak” lebih keras dari sebelumnya. Lalu, baru dengan cara lain: isyarat dan tindakan, misalnya.

Tulisan ini akan fokus pada bagaimana menafsir kata “mulai tahun ini” yang dinyatakan oleh para penanggungjawab dan penyelenggara test penerimaan CPNS sekarang, baik di pusat maupun daerah. Di tingkat daerah tidak satu-dua kali pejabat yang bertanggungjawab terhadap proses seleksi CPNS, menjamin “tidak lagi” terjadi kecurangan.

Pernyataan “mulai tahun ini” dan  “tidak lagi,” secara tersirat bisa bermakna membenarkan “kecurangan” memang telah terjadi, yakni kecurangan dalam penerimaan CPNS, baik dilakukan oleh oknum dalam maupun oknum luar. Baik kecurangan berlatar-belakang keluarga, kedekatan maupun kecurangan berlatar jasa-jasa politik. Entah itu masyarakat mengenalnya dengan istilah titipan, jatah atau balas budi. Setidaknya itulah yang masih dikhawatirkan Fahri, seorang warga Cilegon, hingga dia tidak mendaftar menjadi peserta seleksi CPNS tahun ini (Banten Raya, 20 September 2013).

Apakah Fahri sendirian dalam hal ini? Saya yakin Fahri tidak sendiri. Indikasinya, tahun ini minat masyarakat sangat rendah untuk mendaftar tes seleksi CPNS. Terhadap fakta ini, mungkin akan ada yang berdalih lain. Misalnya, formasi yang disuguhkan oleh pemerintah jarang diminati oleh masyarakat atau tidak sesuai dengan ijazah yang dimiliki. Itu benar juga. Tetapi, bahwa sebagian masyarakat pesimis terhadap kemurnian proses penerimaan CPNS ini juga tidak bisa diabaikan.

Selanjutnya pernyataan “mulai tahun ini,” bisa dipahami sebagai bentuk pengakuan dari para pemangku tanggungjawab, bahwa pada test penerimaan CPNS yang dulu-dulu itu benar telah terjadi kecurangan. Jika demikian, apakah pihak-pihak yang dirugikan bisa menuntut “mereka” secara hukum? Lalu, apakah mereka yang dihasilkan dari “kecurangan,” dengan “adem-ayem” bisa dijadikan sebagai pelaksana test penerimaan CPNS sekarang? Lalu lagi, tidakkah kita sangsi pada hasil seleksi tahun itu kemudian? Sebab, langsung maupun tidak langsung, proses seleksi “diurus” oleh individu-individu dari hasil seleksi sebelumnya (sebelumnya lagi) yang sedikit-banyak hasil dari kecurangan para oknum ?

Begitu susahnya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu ketika sebuah kesalahan diarahkan pada mahkluk bernama oknum. Terlepas oknum itu sendiri atau kolektif. Itukah rumitnya birokrasi, yang terkenal baku menerapkan aturan main di atas kertas tetapi begitu fleksibel ketika ada “main” di bawah kertas. Dalam birokrasi, kenyataan baik atau buruk, tidak punya arti apa-apa, jika tidak tertulis di atas kertas. Sebaliknya, yang tertulis (baik atau buruk) akan dibenarkan meskipun dalam kenyataannya tidak sesuai.

Birokrasi demikian telah banyak melahirkan lelucon. Satu contoh, “Bukan Empat Mata,” tentu anda tahu nama acara itu sebelumnya: “Empat Mata!” Karena adegannya  yang dinilai melanggar ketentuan, program itu dinyatakan terlarang. Tapi, apa lacur, program itu bisa tayang kembali hanya dengan menambahkan kata “bukan.” Jadilah “bukan empat mata.”

Kita tidak melihat perbedaan acara itu secara signifikan. Masih itu-itu juga. Tidak berubah: pembawa acaranya, pendamping-pendampingnya, stasion TV-nya. Mungkin juga studionya, personil shoot-nya, sofa dan karfetnya juga tidak berubah. Singkatnya tidak ada perubahan “penting” selain pada nama yang ditambahkan kata “bukan” pada “empat mata.”

Tentu saja kita tidak mau trend pernyataan “tidak lagi”  dan “mulai tahun ini” dalam penyelenggaraan test seleksi CPNS, sama seperti yang telah terjadi pada acara “bukan empat mata.” Mudah-mudahan pernyataan itu benar-benar menjadi titik balik: benar-benar mulai tahun ini tidak lagi ada kecurangan pada seleksi CPNS. Dengan begitu generasi-generasi terbaiklah yang akan menghuni rumah birokrasi kita. Birokrasi yang mengabdikan dirinya pada kepentingan negara-bangsa dan seluruh rakyatnya. Bukan melayani atasan. Mulai tahun ini, mudah-mudahan, tidak lagi ada birokrasi yang melayani selain kepentingan negara dan rakyatnya.
Masyarakat harus diyakinkan. Gol A Gong pernah menulis, “harus menciptakan kenangan baru untuk menghapus kenangan yang lama.” Artinya, dalam konteks seleksi penerimaan CPNS, kenangan buruk mengenai hasil seleksi, hanya bisa dihapus dengan menciptakan kenangan baru yang gemilang. Kenangan baru itu adalah pembuktian kemurnian hasil seleksi tahun ini. Semoga!


Rumah Baca Damar26

Rabu, 11 September 2013

Untuk Tidak Jatuh Pada Lubang Yang Sama

Hari ini saya mengajar di kelas tujuh, atau kelas satu Madrasah Tsanawiyah, Al-Khairiyah Karangtengah.

Yang menjadi pembahasan kali ini adalah tujuan dan manfaat mempelajari sejarah kebudayaan Islam. Saya menyampaikan kepada mereka pengertian sejarah, pengertian kebudayaan, dan pengertian, Islam.

Pengertian sejarah langsung saya kaitkan dengan peristiwa masa lalu yang dialami manusia. Terus, kebudayaan saya artikan sebagai hasil penciptaan batin (akal, budi) manusia. Dan, Islam saya kaitkan langsung dengan ajaran al-Qur’an dan Hadist. Karena idealnya memang segala gerak dan prilaku umat Islam digerakkan oleh ajaran Islam. Setidaknya itulah pengertian yang saya sandarkan pada pendapatnya Hodson pengenai Islam sebagai doktrin: ajaran-ajaran dalam al-qur’an dan Hadis. Meskipun Hodson punya pengertiannya sendiri tentang Islam sebagai sejarah: apa saja yang terjadi dalam kehidupan umat Islam sepanjang masa.

Jadi, Sejarah Kebudayaan Islam adalah peristiwa dan hasil pencapaian umat Islam pada masa lalu.

Kemudian, karena pokok bahasan pertemuan kali ini adalah manfaat dan tujuan mempelajaran sejarah, saya kembali membahas persoalan ini. Saya memberi perumpamaan:

“Siapa yang tadi pergi sekolahnya lewat sawah?”

Beberapa siswa mengacungkan tangannya. Lebih dari tiga atau lima. Saya tidak menunjuk satu-satu dari mereka, tapi saya langsung menjelaskan:

“Umpama, ketika sedang asyik berjalan, ngorol ngalor-ngidul, tidak menyadari kalau di depan kalian ada lubang, lalu kamu jatuh. Besoknya, kira-kira kamu akan jatuh lagi tidak?”

“Tidak!” semua menjawab.

“Nah, begitulah belajar sejarah. Kita melihat pengalaman pahit masa lalu sebagai pelajaran, bahwa kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di masa kini dan depan. Dan tadi, teman-teman yang ada di samping yang jatuh itu, kira-kira besoknya jatuh pada lubang yang sama tidak?” Kembali mereka semua menjawab, tidak.

“Berarti kita tidak hanya bisa belajar dari pengalaman hidup sendiri, tapi juga bisa belajar dari pengalaman orang lain. Untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dengan mereka. Untuk tidak mengalami kegagalan yang dialami oleh orang lain. Nah, pengalaman hidup orang lain itu banyak kita temukan pada buku-buku sejarah.”
***

Ada satu hal yang saya sayangkan dari buku pegangan ini. Yakni, tidak memberikan fakta yang imbang antara sebab-sebab kehancuran kebudayaan Islam dengan sebab-sebab kegagalannya. Buku ini langsung menyuguhkan sebab-sebab kehancuran umat. Ya, meskipun dari kegagalan pun banyak pelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya. Tetapi, sejarah sebagai fakta harus tetap berimbang. Karena secara subjektif fakta yang tidak berimbang akan memberikan gambaran tersendiri kepada pembaca sejarah (mengenai identitas suatu umat). Maksudnya, umat yang berperadaban tinggi atau sebaliknya.
***

Anak-anak agaknya sudah mulai paham. Baiklah, saya akan lanjutkan dengan penerapan terhadap hidupnya masing-masing. Masing-masing siswa saya minta untuk menulis minimal setengah halaman mengenai pengalaman hidupnya, baik yang jaya maupun yang gagal. Dari pengalaman hidup itu, saya persilahkan masing-masing mengambil hikmahnya.
Mengejutkan. Hampir semua siswa bisa melakukannya. Ada yang cepat, ada yang sedang, ada juga yang lambat. Tapi, intinya semuanya bisa mengekspresikan pengalaman hidupnya dalam bentuk tulisan. Saya bahagia. Ini potensi yang akan saya aktualkan. Sebuah potensi yang tidak akan saya sia-siakan.

Untuk mengapresiasi prestasi mereka, saya sudah sediakan tiga pulpen bagi yang paling baik tulisannya. Dan, mungkin buat yang paling cepat.[]


Kota Santri, 11 September 2013

Selasa, 16 April 2013

:anakku kelas duabelas, tahun duaribu tigabelas [1]


Kamu beruntung. Beruntung karena tersedia luas bagimu kesempatan mengeksplorasi diri. Tidak ada kesempatan bagi siapa pun untuk andil dalam keberhasilanmu. Keberhasilanmu adalah kemampuanmu. Bukan kemampuan orang lain. Bukan orang lain tidak perlu. Kamu perlu mereka, tapi sebagai pendukung saja. Tidak sebagai penentu.

Kenapa aku anggap kau beruntung? Tahu tidak, banyak angkatan sebelum kamu tidak punya kesempatan seperti ini. Orang-orang di luar menganggap mereka tidak mampu. Orang luar itu menganggap sangat perlu membantunya. Kalau orang itu tidak membantu mereka, tidak mungkin akan berhasil, anggap orang itu. Jadi mereka sekuat tenaga membantu. Nah, dalam situasi seperti ini, apa arti kemampuan seseorang, coba? Ketika menghadapi persoalan dianggap tidak mampu menyelesaikannya. Padahal belum dicoba. Aku kira keberadaan mereka hilang. Mereka tidak hadir dalam penyelesaian persoalan itu. Yang ada orang lain, yakni orang yang membantu itu.

Kamu betul-betul beruntung. Jika kamu berhasil hari ini, itu semata-mata karena kehebatan kamu. Dan jika belum berhasil, itu artinya kamu perlu belajar lagi. Perlu latihan lagi. Itu saja. Dan, kamu harus percaya, kalau kegagalan itu menciptakan tangganya sendiri dalam batinmu. Tangga kesabaran, ketegaran, tabah dan hikmah-hikmah yang lain yang tak terkira.

Sebaliknya, mereka yang selalu berhasil karena bantuan orang lain sebetulnya tidak menikmati keberhasilan itu. Juga belum tentu berhasil menghadapi kegagalan. Entah apa yang akan mereka perbuat jika kegagalan nanti suatu saat menghampiri hidupnya. Kita tahu, hidup punya siklusnya sendiri dalam hal berhasil dan gagal.

Aku jadi ingat bagaimana aku menasehati kamu. Karena kamu begitu cemas kelihatannya. Aku menasehatimu waktu itu. Bahwa rukun sukses adalah ketenangan dalam menghadapi masalah. Itu mutlak.

Waktu itu aku umpamakan petarung tinju. Serajin dan sekuat apapun seorang petinju, jika dia tidak tenang ketika berada dalam arena tanding, maka pertarungannya akan jauh dari sempurna. Dia akan kalah. Sebaliknya, kekuatan yang biasa-biasa saja, tetapi memiliki ketenangan yang laur biasa karena punya kemampuan mengendalikan yang sempurna. Sangat mungkin ia akan memenangkan pertandingan. Jadi singkatnya, ketika praktek, ketenanganlah yang nomor satu, baru kemudian bisa.

Aku memberimu resep waktu itu: menulislah dulu beberapa jenak sebelum mengerjakan soal. Kamu akan tenang. Aku mengatakan ini karena keyakinan yang dibentuk oleh beberapa artikel yang aku baca. Banyak artikel yang menegaskan bahwa menulis bisa menenangkan, rileks, dan juga bisa meningkatkan prestasi. Kuncinya: menulis bisa membuat tenang dan berfikir sistematis. Ketenangan inilah yang akan menjadi jalan bagi penyelesaian masalah yang sukses. Itu hasil penelitian lho! Jadi aku bukan mengada-ada. Oke, Pak nanti beberapa menit sebelum saya mengerjakan soal, saya mau menulis.

O, iya. Menulisnya harus lebih spesifik lagi. Yakni menulis hal-hal yang membuat kamu resah saat itu. Misalnya, kamu menulis: aku resah sekali saat ini, dst

Insya Allah dengan menulis keresahan justru akan menghilangkan rasa resah itu sendiri. Kamu percaya itu. Semoga kepercayaanmu akan kamu praktekan hari ini, sebagai pintu keberhasilan.
Selain nasehat-nasehat ini, aku dan lembaga juga memberimu program yang riil sebagai persiapan dan latihan. Bimbel: mimbingan belajar. Tidak sebentar. Tiga bulan man! Ah, sebuah usaha yang tidak seharusnya sebetulnya jika saja pendidikan selama tiga tahun itu maksimal. Tapi nyatanya, tidak hanya kita yang memberi program tambahan, banyak lembaga pendidikan tidak formal yang melakukan hal-hal yang sepertinya tidak percaya dengan lembaga pendidikan formal. Kalau kata Iffan Illich, justru masyarakat harus dibebaskan dari belenggu sekolah.
Ah itu urusan lain. Urusanku dan lembaga adalah memberimu bekal sematang-matangnya untuk suksesmu di arena ujian nanti –-sekarang ini maksudnya.

Waktu yang selalu kita bicarakan, atau tepatnya yang selalu kamu resahkan telah tiba. Bagaimana? Apakah kamu menulis dengan emosi sebelum mengerjakan soal? Tidak? kenapa? Kamu ragu? Kamu harus mencobanya sebelum menyesal nanti. Ah, seperti nada ancaman yach? Aku tidak bermaksud mengancam. Aku hanya menyampaikan pengetahuanku dan keyakinanku. Semoga kamu baik-baik saja, setidaknya hari ini dan tiga hari ke depan.

_cilegon, Damar26, 15 April 2013

Kamis, 21 Maret 2013

Persekongkolan, Teror dan Indoktrinasi dalam Sejarah Banten

Foto ayatulloh_marsai

Oleh Ayatulloh Marsai

“Malam Senin kinten kinten tabuh opat subuh aya karaman ti Beji ngarampog para priantun lebur papan kalayan tulis para menak di Cilegon.”

Kutipan pangkur ini saya temukan dalam buku “Bung Karno: Wahai Putra-putra Banten… Siapa Dia?: Riwayat Hidup Kiyai H. Mas Muchammad Arsyad Thawil,” karya H.M. Yoesoef Effendi SH, penerbit Yayasan Pendidikan Al-Chasanah, Manado, 1983.

Pangkur, sebagaimana artinya, komposisi tentang kemarahan, perkelahian, dan peperangan, pun pangkur di atas mengkisahkan peristiwa Geger Cilegon 1888. Tentu kemarahan Belanda terhadap pelaku-pelaku Geger Cilegon. Maka gambaran Geger Cilegon dalam pangkur tersebut adalah perspektif kolonial Belanda. Hingga para “pejuang” dalam perspektif kita, menjadi “perampok” dalam perspektif mereka. Inilah subyektifitas sejarah: pahlawan bagi bangsa kita adalah musuh untuk bangsa lain. Pilihan kata “perjuangan”, “perlawanan,” dan “pemberontakan,” menjadi tanda bagi kita untuk melihat ke dalam, kepentingan atau situasi kepenulisan sejarah.

Misalnya, kita bisa bandingkan karya Sartono Kartodirdjo, yang notabene lulusan Belanda, menulis judul disertasi “Pemberontakan Petani Banten” atas penelitiannya terhadap peristiwa Geger Cilegon, dengan karya Adjid Tohir (asal Pontang) yang lulusan Indonesia, memilih judul untuk bukunya, “Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa,” atas peristiwa sama.

Kembali ke persoalan pangkur di atas, Yoesoef Effendi, menceritakan bahwa pangkur tersebut dinyanyikan di sekolah-sekolah. Setelah dinyanyikan, guru menceritakan peristiwa yang dimaksud dalam pangkur. Dan, itu sangat subyektif. Bagus kalau tidak dijungkitbalikan. Tetapi, dalam situasi penjajahan kemungkinan indoktrinasi lebih masuk akal ketimbang membesar-besarkan bangsa yang sedang dijajah.

Penjungkirbalikan fakta sejarah itu berlangsung di sekolah dasar (sekolah rakyat) di Banten (mungkin seluruh tanah jajahan). Dimana generasi bangsa ini mendulang apa saja yang diberikan guru. Di kepala generasi lulusan sekolah Belanda itu terlukis gambar suram Banten: nenek moyangnya seorang perampok, pengacau, begal dan seterusnya. Cerita-cerita miring tentang peristiwa Geger Cilegon pun bermunculan. Setidaknya ada tiga yang berhasil dihimpun penulis buku ini. Pertama, sebab Ki Wasyid (sebagai tokoh sentral Geger Cilegon) melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah karena dia dilarang menebang pohon Kepuh besar oleh Asisten Residen. Ki Wasyid berkeinginan menebang pohon Kepuh karena pohon itu disucikan oleh masyarakat sekitarnya.

Kedua, masih tentang sebab, Ki Wasyid melawan Belanda karena dilarang melakukan azdan keras di Masjid Beji. Takut masjidnya dibongkar, Ki Wasyid menyerang Belanda.

Ketiga, cerita yang menjelek-jelekan gerakan Geger Cilegon, menurut penulis buku ini kemungkinan berasal dari keluarga orang-orang yang berkomplot dengan kolonial Belanda. Karena tidak bisa dipungkiri, tidak semua rakyat pro perjuangan. Ada saja orang-orang atau kelompok-kelompok yang justru mengambil keuntungan dari pihak penjajah. Sikap sebagian kelompok inilah yang merusak perjuangan bangsa sepanjang sejarah Indonesia (Banten). Sultan Haji adalah bukti nyata. Dia bersekongkol dengan Belanda melawan ayahnya sendiri, Sultan Agung Tirtayasa, demi mendapatkan kekuasaan penuh atas Kesultanan Banten. Meskipun untuk fakta ini beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa yang melakukan persekongkolan dengan Belanda itu Sultan Haji Palsu. Ini pekerjaan rumah bagi peneliti kesusastraan Banten karena kedatangan Belanda yang keduakalinya di Banten, 23 Desember 1948, menurut catatan buku ini, melakukan perusakan dan penghilangan terhadap cagar sejarah dan seni. Tidak menutup kemungkinan perdebatan tentang Sultan Haji asli atau palsu disebabkan oleh sumber yang sudah direkayasa atau disadur oleh Belanda. Hoesein Djajadiningrat saja yang melakukan penelitian terhadap sumber Sejarah Banten tahun 1918 menemukan naskah Babad Banten yang beragam versinya (asli?).

Sejarah lisan, florklor, cerita rakyat atau sejenisnya, yang menggambarkan suramnya pandangan masyarakat terhadap peristiwa Geger Cilegon, saya sendiri pernah mendengarnya di pesantren: perjuangan Ki Wasyid itu tidak sejalan dengan ulama-ulama Banten yang ada di Mekah. Terlalu gegabah, oleh karenanya perjuangan itu gagal. Dan, masih menurut cerita rakyat (sejarah lisan), oleh ulama-ulama Banten yang ada di Mekah Ki Wasyid dijuluki Ki Fasad. Orang Banten akan sakit hati mendengar ini, karena kita tahu “fasad” artinya rusak. Maka Ki Fasad maksudnya: kiai yang rusak (merusak perjuangan Banten).

Geger Cilegon dalam Misteri
Yoesoef Effendi mengisahkan penelusuran sumber-sumber lisan untuk menyusun buku ini. Dia merasakan kesulitan yang amat sangat. Sebab, hanya segelintir orang yang (berani dan) mau menceritakan pengalamannya, kesaksiannya, atau setidaknya cerita-cerita yang pernah didengarnya mengenai Geger Cilegon. Peristiwa Geger Cilegon terkubur rapih dalam benak para pelaku, saksi, anak cucunya dan segenap rakyat pada zamannya.

Para saksi kunci memilih diam. Ada beberapa alasan: karena sumpah, sakralisasi terhadap bukti sejarah. Yang dominan menjadi masalah bagi Yoesoef Effendi adalah sumpah. Kebanyakan informan sudah bersumpah kepada orang tuanya, nenek moyangnya untuk tidak menceritakan apa-apa yang berkaitan dengan peristiwa Geger Cilegon. Karena sumpah inilah, peristiwa heroik itu tidak sampai kepada generasi berikutnya. Punah.

Sakral. Benda-benda sejarah, baik tulisan maupun pusaka atau dalam bentuk gambar sedapat mungkin ditutupi atau dimusnahkan. Tidak boleh disentuh, lebih-lebih dibaca oleh orang sembarangan. Sikap ini, menurut saya, erat kaitannya dengan sikap Belanda yang merusak dan memburu sumber-sumber atau benda-benda sejarah Banten pada kedatangannya yang terakhir. Hingga masyarakat Banten, secara umum bersikap tertutup dan memilih diam tentang patriotismenya di masa lalu.

Bahkan, di pesantren tempat saya pernah belajar di kampung, berkembang cerita kalau pendiri pesantren ini, yang tidak lain teman dan murid Ki Yasin, Beji (putera Ki Wasyid), beliau tidak bisa difoto. Tidak ada satu pun gambar tentang dia. Dalam perspektif tarekat hal ini bukan sesuatu yang aneh. Bisa saja memang demikian. Alasan yang menjadi legitimasi biasanya adalah ketawadu’an seorang kiai yang berjuang di jalan Allah. Jasa-jasanya tidak mau diketahui oleh sesama manusia. Cukup Allah yang tahu. 

Tetapi sikap tertutup itu agak menemukan jalan maklum ketika kita membaca buku ini. Usaha pengejaran terhadap pelaku-pelaku Geger Cilegon sangat keji dilakukan oleh pihak Belanda. Pengejaran, penggantungan yang disertai mutilasi, pembunuhan masal terhadap pelaku mungkin mejadikan semua “kunci peristiwa” tertutup rapat. Baik dengan alasan rasional, demi keselamatan anak cucu, sampai alasan kesakralan dan sumpah setia kerahasiaan. Kemungkinan besar, sebetulnya mereka terteror oleh sikap Belanda. Bagaimana tidak, tahun 1889, Belanda menangkap 204 orang yang dianggap terlibat. Diantaranya 11 diagantung, 94 dibuang ke luar Banten dan 89 dihukum kerja paksa.

Di sisi lain, Belanda melakukan indoktrinasi di sekolah-sekolah kepada generasi berikutnya dari bangsa ini. Bukankah ini sebuah usaha untuk memotong generasi bangsa?

Usaha Belanda untuk menghapus jejak patriotisme rakyat Banten itu akan gagal, jika kita mau menekuni kembali sumber-sumber sejarah maupun kesusastraan versi kita sendiri, semisal karya Yoesoef Effendi ini. Niatan penulisan buku tidak muluk-muluk: hanya ingin mencatat bagian penting sejarah Banten; membangkitkan semangat putera-putera Banten untuk melakukan perubahan, sebagaimana pendahulu-pendahulunya telah mencontohkan itu; dan melalui catatan ini berharap ada orang, putera Banten khususnya, yang melanjutkan penulisan sejarah Banten lebih serius lagi.

Di Manado, tokoh Geger Cilegon yang dibuang ke sana telah terbukti berpengaruh besar dalam membangun peradaban Islam di sana. Tokoh yang dimaksud buku ini adalah Kiyai H. Mas Muchammad Arsyad Thawil. Itulah mungkin sisi positif kebijakan Belanda membuang kiai-kiai Banten ke pelosok Hindia (Indonesia). Mendapati ini, saya teringat Kuntowijoyo yang kurang lebih berpendapat: sekuat apapun politik meminggirkan umat Islam, selalu saja umat akan menemukan jalannya sendiri untuk eksis, bahkan tampil lebih matang.


[Terbit di halaman Sastra & Budaya, Banten Raya, 16 Maret 2013]

Penulis adalah Guru Sejarah/Kebudayaan Islam di Madrasah Al-Khairiyah Karangtengah – Cilegon. Pendiri Rumah Baca Damar26.

Minggu, 27 Januari 2013

MEMBACA “BUMI MANUSIA,” MENEMU GURU SASTRA DI SEKOLAH


Oleh Ayatulloh Marsai*

Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Dalam buku “Bumi Manusia,” kalimat sakti ini, Pramoedya Ananta Toer sematkan menjadi kata-kata yang meluncur dari seorang guru sastra di sekolah H.B.S, ketika memberikan pengantar  pada mata pelajaran Sastra Belanda. Semua siswa tersipu malu, karena selama ini tidak menganggap sastra sebagai sesuatu yang penting. Tapi, beberapa hari ke depan, berkat guru sastra yang satu ini (namanya: Magda Peters), semua siswa tersihir menjadi gandrung terhadap sastra, khususnya sastra Belanda.

Pengaruh dialog ini, atau tepatnya pengaruh kata-kata yang mengalir dari seorang guru yang baru saja datang dari Nederland ini, membuat saya tersindir dan teringat pada sebuah fakta Oktober tahun 2012 lalu: di Banten, dari total 30. 800 guru, hanya sekitar 7000 yang lulus uji kompetensi. Hudaya Latuconsina, selaku Kepala Dinas Pendidikan Banten, memberi keterangan di Radar Banten, 16 Oktober 2012: para guru itu kurang menguasai pedagogik.

Ketersindiran itu berpijak pada: Magna Peters berhasil membuat siswanya suka kepada pelajaran yang dia ampu. Berkebalikan dengan selera sebelumnya: sastra tidak menarik. Sementara saya (mungkin banyak lagi guru lainnya), masih menjadi hantu di kelas. Siswa riang saat jam istirahat, namun menjadi tegang, mengantuk atau lebih baik melukis wajah gurunya, kalau tidak mengobrol, saat guru mengajar di kelas. Mata pelajaran (apapun) menjadi tidak menarik, ketika disampaikan dengan cara yang tidak tepat. Terutama, ‘tepat’ dalam pengertian ‘cara mengomunikasikan’ materi kepada siswa.

Cara mengomukasikan itu bernama metode, dan metode itu baru akan hidup bila berhasil dipraktikan oleh guru dengan tepat mengenai sasaran. Komisi Pendidikan Menengah India, menulis: “Bahkan kurikulum terbaik dan silabus yang paling sempurna pun tetap mati, kecuali dipraktikkan ke dalam kehidupan melalui metode pembelajaran yang tepat dan guru yang tepat.” (S.K Kochhar, “The Teaching of History”)

Dalam “Bumi Manusia,” tokoh Magna Peters, menjunjung tinggi karya-karya yang bertebaran di koran-koran kala itu; menyediakan satu forum diskusi satu pekan sekali, mengajak siswanya untuk mendiskusikan karya terbaru: mengkritisi dan mengapresiasinya. Ketika dia tahu yang menulis adalah siswanya, Minke, namanya, dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan pembelaannya, meskipun karya itu jelas-jelas menyindir pemerintahan Hindia Belanda. Magna Peters tetap membela karya itu dengan hati sastranya. Walau pun dia tidak bisa berbuat banyak di bawah kekuasaan sistem kolonial Belanda.

Magna Peters sudah membela karya sastra, sudah berbeda dengan guru kebanyakan, sudah melawan sistem kolonial semampunya. Kemudian dia mengundurkan diri, dan pulang ke Nederland, kampung halamannya. Bukankah ini tindakan sastra yang sempurna, selaras dengan alam pikiran dan hatinya: yang dia ajarkan kepada siswa-siswanya sekaligus dia bela ajaran itu dalam kehidupannya. Guru yang tepat!

Mungkin Magna Peters adalah sastra itu sendiri. Seperti yang dikatakannya: “Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa.” Sementara dia sendiri mungkin, sastra dalam tindakan.
Karya Pram ini dicipta di Indonesia dengan latar Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sekarang, bumi Hindia Belanda itu bernama Republik Indonesia. Jika relasi karya ini masih terdapat kesesuaian dengan Indonesia abad ke-21 ini, tentu bukan salah Pram menulis. Dan, tentu bukan salah pelajaran Bahasa dan Sastra Indoensia juga, hingga harus disembunyikan dibalik tubuh pelajaran lain: kurikulum 2013, kabarnya demikian!

*Penulis adalah guru madrasah swasta, tinggal di Cilegon.

Ketika (Pemilik) Rahim Disakiti*


Oleh Ayatulloh Marsai*

Tidak habis-habisnya kasus pernikahan Aceng Fikri dengan Fany Oktora dibicarakan. Semua media membicarakan hal ini. Satu sebab utamanya, karena Aceng Fikri adalah pejabat publik. Pejabat publik diharapkan ideal (sempurna), sebagai teladan orang-orang yang dipimpinnya. Agaknya berlaku logika: bagaimana bisa memimpin dengan baik-baik kalau dirinya saja tidak baik; bagaimana bisa menciptakan pemerintahan yang benar, kalau sendirinya saja tidak benar.

Ketidakbecusan Aceng Fikri, setidaknya yang marak diberitakan di media massa, adalah pelecehan kaum wanita. Letak pelecehan itu ketika Aceng Fikri menikahi dalam tempo waktu super singkat (dibanding ukuran umum), hanya empat hari pernikahan; untuk kemudian menceraikannya melalui SMS pula; ditambah dengan komentar-komentar Aceng yang menyakitkan kaum perempuan: “sudah tidak perawan,” “bukan speknya,” dan proses penceraian itu sendiri.

Tidak hanya istri pertamanya (mungkin) dan Fany, semua perempuan Garut sakit hatinya mendengar dan melihat tingkah-pola Aceng Fikri ini. Maka aksi tuntutan mundur muncul di mana-mana. Gaungnya semakin “mantap” menggema karena menemukan momen “Hari Ibu” bulan Desember ini. Pihak-pihak berwenang bertali-sambung mersepon, mulai DPRD Garut, Mendagri, hingga tokoh-tokoh masyarakat.

Sekarang, nasib jabatan Aceng Fikir tinggal menunggu putusan Mahkamah Agung (MA). Apakah MA sependapat dengan DPRD Garut, bahawa Aceng Fikri melanggar UU Perkawinan dan UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah? Ada waktu 30 hari untuk MA memutuskan. Jika MA memutuskan bersalah, tamatlah jabatan Aceng Fikri sebagai Bupati Garut!

Wanita Sebagai Kekuatan Sejarah
Ini bukan kali pertama, masalah etika, khususnya masalah wanita, menyebabkan pesona seorang pemimpin memudar. Hilang dari garis edar kepemimpinan nasional maupun daerah. Jelas, di sini wanita sebagai penentu sejarah: jaya-runtuhnya seorang penguasa tergantung bagaimana dia memperlakukan para wanita, terutama ibu dan istrinya.

Dalam pentas politik, perempuan, bisa menyatukan juga bisa mencerai-beraikan. Terutama dalam sejarah perpolitikan Nusantara. Mataram Kuno dengan Sriwijaya misalnya, adalah dua kerajaan yang berdamai dengan dijadikannya putri Raja Sriwijaya sebagai istri oleh Raja Mataram; Sunan Gunung Djati bisa dengan mudah menyebarkan Islam di wilayah kekuasaan Raja Siliwangi dengan sebab menikahi putri raja, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh Majapahit sebelumnya.

Tapi, tidak sedikit, dengan sebab perempuan, perang antar kelompok bahkan melibatkan banyak kerajaan pun terjadi.

Penyatuan dan perpecahan oleh sebab perempuan di atas, agaknya masih menjadi hukum sejarah umat manusia: terutama politik. Tentu dengan konteks kekinian. Perempuan bisa membangun juga bisa meruntuhkan sebuah kekuasaan.

Kasus Aceng Fikri, Bupati Garut, adalah satu misal paling aktual saat ini. Sebelum tersandung kasus pernikahan empat hari, Aceng adalah pemimpin yang berwibawa. Kiranya, kemenangan dia dalam Pemilukada Garut 2008 dari jalur indepeneden, bisa dijadikan alasan untuk menyimpulkan bahwa sosok Aceng diakui sebagai orang baik oleh rakyat Garut. Kemenangannya telak: 57 persen. Tetapi, anggapan itu menjadi jungkirbalik setelah dia menikahi secara siri seorang gadis 18 tahun, dan menceraikannya empat hari setelah pernikahan. Melalui SMS pula.

Selain Aceng, banyak pejabat yang kariernya segera ‘kelam’ sebab tersandung masalah perempuan. Bedanya: kalau Aceng melangsungkan pernikahan, meskipun secara siri, banyak pejabat-pejabat malah tidak menikah: main perempuan di tempat hiburan. Di sini kelebihan Aceng kiranya, secara hukum agama dia tidak melanggar. Hanya melanggar secara etika.

Ibarat pelaksanaan shalat, dia tidak melanggar apapun dari syarat dan rukun shalat, namun pakainnya sehelai sarung sekadar di atas pusar sampai kaki. Shalat ini sah secara hukum, namun sungguh tidak etis. Dan, sebagai pejabat publik, etika itu penting.

Menyakiti (Pemilik) Rahim
Menyimak keruntuhan dan kekelaman pejabat publik garagara perempuan saya teringat satu pertemuan kuliah dengan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, penulis buku Api Sejarah, Salamadani, dia mengatakan: “siapa pun pemimpin yang menyakiti perempuan dia akan tumbang dari kekuasaannya. Karena Allah menitipkan satu anggota tubuh pada perempuan dari namanya: Ar-Rahim.”

Kemudian professor meyebutkan beberapa tokoh nasional yang mengalami nasib tragis, tersungkur dari kekuasaannya, setelah menyakiti istrinya karena punya hubungan dengan perempuan lain.

Penjelasan professor tersebut memang sulit dimengerti, jika kita mengandalkan rasio. Namun kita akan segera mengerti, ketika kita mau melibatkan intuisi (hati) dalam melihat suatu kebenaran.

Perbedaan fitrah wanita dengan laki-laki terletak di rahimnya. Dari rahim inilah lahir konsekwensi-konsekwensi: mengandung, melahirkan dan menyusui. Maka tiga hal inilah yang menyebabkan derajat wanita tiga kali lebih tinggi dari laki-laki. Kalau saja wanita tidak “menuruni” sifat rahim Allah, mana mungkin bisa menjalani tiga tugas berat itu. Dan, ketika wanita, orang yang sudah susah-payah menanggung konsekwensi kepemilikan rahim ini, disakiti, maka sangat mungkin Sang Pemilik rahim sesunggunya juga merasakan sakit itu. Kalau sudah Sang Pemilik Rahim, Allah, yang sakit, hal paling buruk pun bisa terjadi pada seseorang.
Akhirnya, para pejabat publik, public figure, dan kita semua mulai menghitung, berapa pejabat, berapa public figure dan berapa orang biasa yang kariernya kelam, gelap-gulita, setelah menyakiti pemilik “rahim” ini: ibu dan istrinya. Lalu, kita belajar untuk tidak menyakiti hati ibu dan istri kita. Selamat hari ibu!

*Penulis adalah Guru Sejarah Kebudayaan Islam di MA/MTs Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon. Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 

*dimuat Radar Banten, 29 Desember 2012