Sabtu, 29 Desember 2012

MEMBACA “BUMI MANUSIA” #1: ‘Perjumpaan Dengan Pramoedya Ananta Toer


Oleh Ayatulloh Marsai

Perjumaanku dengan Pramoedya Ananta Toer adalah lewat kutipan-kutipan yang aku temukan di tulisan-tulisan orang. Aku sendiri lupa siapa dan dimana tulisan itu aku temukan. Bahkan kutipan-kutipan khusus kata-kata bijak yang ada di blog. Ya, aku ingat, ada juga orang yang mengkhususkan menuliskan kutipan Pram, dari novel-novel yang dia baca.

Meski hanya membaca kutipan-kutipan, rupanya, itu cukup membuatku tertarik untuk mengutip kembali, ketika aku menulis. Kutiapan itu, “Orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” Ya, kata menarik ini aku kutip ketika menulis sebuah esai, “Menulis, Bekerja Untuk Keabadian.” Sempat tulisan ini aku kirim ke media massa, namun tidak dimuat. Aku iseng mengirimnya ke harian blog online, sunannungdjati.blogspot.com, ternyata dimuat.

Sampai sekarang, aku belum menemukan aslinya, di buku yang mana Pram menulis katakata itu. Nanti, pasti aku menemukannya. Aku sedang membacai karyakaryanya.

Lalu, entah di mana saya menemukannya, katakata Pram begitu kuat memegangi kepalaku ini: “seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Meski tidak paham betul bagaimana maksud katakata ini, aku merasakan kekuatannya. Sebab, adil sejak dalam pikiran, terasa tidak biasa dikatakan orang, juga tidak aku sadari selama ini. Ternyata: pikiran memang mengendalikan apa saja, termasuk keadilan pun harus dimulai sejak dalam pikiran.

Ternyata, kutipan terakhir, menjadi ikon penting di caver belakang buku Pram, Bumi Manusia. Buku ini sendiri aku temukan di pojok Toko Buku Gramedia, Bekasi, ketika aku sedang mendapat tugas “Workshop Pelajaran Keterampilan” di hotel Horison. Aku sempatkan jalanjalan di toko ini di selasela waktu istirahat. Sudah aku niatkan sejak aku melihat tidak jauh dari tempat kegiatan ada toko gramedia. Sayang sekali uang sakuku hanya cukup untuk mengambil satu buku saja. Aku ambil kemudian buku pertama: BUMI MANUSIA.

Konteks bagaimana katakata itu muncul, adalah dialog antara Minke (tokoh utama) dengan seorang bekas tentara kolonial asal Prancis. Bekas tentara ini menasehati Minke yang tidak lain siswa H. B. S. waktu itu, “sebagai terpelajar kamu harus adil sejak dalam pikiran.” Kenapa nasehat ini bisa muncul. Minke sedang terjebak pada pola pikiran orang kebanyakan: bahwa seorang perempuan gundik Belanda, Nyai Ontosoroh, tidak bermoral, tidak beradab. Jadi, siapa-siapa yang hidup serumah dengannya, sama tidak beradabnya. Sebab, tinggal serumah, sampai mempunyai keturunan, tidak diikat dengan tali pernikahan; tidak duduk di bangku sekolah, sama dengan bodoh; tidak duduk di bangku sekolah tidak bisa berbuat apaapa, apalagi melakukan kebaikankebaikan.

Seorang Prancis itu tidak mau, Minke berfikir sama dengan orang pada umumnya. Minke harus adil sejak dalam pikiran, dengan menyelidik kebenaran pikiran orang-orang itu terhadap Nyai Ontosoroh; Minke akhirnya sadar, bahwa Nyai Ontosoroh yang tidak pernah duduk di bangku sekolah seumur hidupnya adalah perempuan Jawa yang penampilan fisik dan pengetahuannya, tidak kalah dengan siswa H. B. S. Nyai ternyata sang otodidak ulung; Dan, Minke juga mengakui kehebatan Darsam, seorang Madura yang mengabdi setia kepada majikannya (Nyai Ontosoroh), yang berani melawan ketidakadilan dengan kemampuan fisiknya.

Akhirnya, perlawanan terhadap ketidakadilan adalah semangat yang harus ada pada setiap orang. Terlepas apa pun yang kita miliki. Orang tidak akan rendah atau tinggi dengan apa yang dia miliki, tetapi oleh apa yang dia lakukan terhadapnya.

Cilegon, 19 Desember 2012

Kisah Nabi di Bukit Shafa & Dongeng Harimau


Oleh Ayatulloh Marsai

“Jika aku katakan akan keluar seekor kuda dari dalam bukit ini, apakah kalian percaya?”
“Kami percaya!” serentak orang-orang yang hadir menjawab.

Sepenggal dialog itu terjadi antara Nabi Muhammad SAW dengan masyarakat Quraisy Mekah. Nabi mendapat perintah untuk menyampaikan agama tauhid secara terbuka, setelah lama menyampaikannya secara tertutup. Nabi mengumpulkan orang Mekah di bukit Shafa. Lalu Nabi berkata: “Jika saya katakan dari bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian percaya?” Semuanya menjawab percaya.

Bisa segampang itu mereka percaya kepada Nabi. Padahal, apa yang dikatakan Nabi tersebut hal yang diluar nalar logis: dari dalam bukit keluar kuda.

Bukit di sana tidak lebih dari gundukan batu yang besar. Tidak ada pohon apalagi hutan. Semuanya batu. Hingga kalau dikatakan akan keluar seekor kuda darinya, itu ajaib. Dan, orang-orang yang hadir percaya itu, karena yang mengatakannya Nabi. Bukan karena mereka beriman kepada Nabi, melainkan dalam jejak rekam mereka Nabi, dari kecil hingga ada di hadapan mereka sekarang ini belum pernah kedapatan berbohong. Nyatanya ketika Nabi menyampaikan maksudnya untuk mengajak mereka untuk menyembang Allah, tidak menyekutukan-Nya, mereka banyak yang berpaling.

Kita bandingkan dengan sebuah kisah, mungkin anda sering mendengarnya, tentang seorang yang berteriak minta tolong. “Tolooong, harimau. Ada harimau!”

Orang-orang kampung tergopoh mendatangi asal suara minta tolong itu. Apa yang mereka lihat? Orang yang berteriak minta tolong itu sedang bersantai sambil nyengir, dan berkata, “Bohongan, cuma bercanda!”
Besoknya, orang-orang kampung mendengar teriakan minta tolong yang sama dengan kemarin. Mereka tidak peduli. Anggapan mereka, pasti si fulan sedang bercanda lagi, ingin mengelabui orang-orang kampung. Ternyata, kali ini benar. Seseorang mendapati si fulan mati dicincang harimau.

Di sebuah dusun, di belakang rumah, adanya harimau turun gunung mungkin saja terjadi. Tetapi, orang-orang kampung tidak percaya kalau fulan melihat harimau. Sebabnya fulan pernah berbohong. Orang-orang tidak mau dibohongi oleh fulan lebih dari satu kali. Hingga mereka tidak mempedulikannya lagi.

Begitu pun masyarakat kita sekarang. Kenapa sulit percaya kepada orang lain, sebab mereka pernah dibohongi, oleh satu dua orang. Entah itu orang terdekat, atau teman jauh bahkan orang lain yang tidak tahu asal-usulnya. Apalagi hanya melihat dari televise, spanduk di pinggir jalan, halaman iklan di koran dan majalah atau buku biografi (yang muncul menjelang pemilu).

Meski yang dikatakan sangat mungkin dilakukan, bahkan mudah, namun tidak mudah mendapat kepercayaan dari masyarakat. Persoalannya sekarang bukan isu, topik atau ideologi tapi siapa yang mengatakannya. Siapa yang berjanji? Bagaimana jejak rekamnya?

Pertanyaan ini muncul dari orang-orang yang mau memilih orang baik, pemimpin amanah yang akan membawa perubahan bangsa. Bukan dari orang-orang yang ikut arus “kesesatan” zaman ini: memilih orang yang sudah berkontribusi material kepada dirinya, kepada kelaurga dan golongannya.

Pemilu, momen penting untuk merubah kondisi bangsa ini. Pemilih mestilah pandai membaca calon, bukan hanya program. Mana calon yang cerdas, kuat dan berani melawan “kekuatan luar” dan “godaan dalam,” demi menegakkan amanat kepemimpinnya. Menepati janji kampanyenya.

Sebab, dalam perjalanannya nanti, dia akan banyak menghadapi tantangan. Tantangan itu bisa berupa kekerasan dan ancaman, dan juga sering berupa rayuan dan bujukan manis. Bahkan boikot.[]