Membaca Tajuk Baraya Post, “Tragedi Kemanusiaan”, saya menangkap keseriusan media mengangkat peristiwa kematian Evi Aprilia (4) oleh ganasnya gizi buruk. Sebelumnya, 11/04/11, Baraya Post, menempatkan berita ini sebagai hadline dengan judul “Penderita Gizi Buruk Meninggal”. Dan sampai hari ini saya masih bisa dengan mudah menemukan hasil penelusuran Baraya Post terhadap kasus ini, yakni di halaman “Metro Serang” dengan judul “Ibunda Evi 2 Bulan Hilang Kontak”.
Bukan tanpa alasan tentunya media memburu berita yang berkaitan seperti ini, kalau bukan karena tema yang menarik sekaligus patut dipersaksikan kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban media dalam posisinya sebagai pilar demokrasi. Seperti yang diakui dalam tajuknya, Banten Raya Post ingin mengingatkan pemerintah agar tidak lalai dalam memenuhi kelayakan hidup warga negaranya. Apalagi sampai memanipulasi data, antara kenyataan di masyarakat dengan laporan di atas kertas. Parahnya lagi saling lempar tanggungjawab antar dinas.
Disamping alasan itu, mungkin ada manfaatnya bila meninggalnya Evi Aprilia, dikaitkan dengan dua peringatan hari penting yang telah dan akan diperingati. Pertama, Evi meninggal beberapa hari setelah Peringatan Hari Kesehatan Seduania di Provinsi Banten.
Senin, 7 April 2011, suasana meriah jelas terlihat di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B). Berbagai kegiatan digelar, mulai upacara resmi, senam sehat, hingga menggelar lomba-lomba yang bersifat menghibur. Lomba tarik tambang, bakyak, misalnya, dilombakan antar dinas. Suasana meriah ini digelar tidak lain dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Sedunia.
Sementara jauh dari keramaian itu, di RT 01/01, Kampung Kebon Baru, Desa Sawah Luhur, Kecamatan Kesemen, bocah berumur 4 tahun sedang meregang nyawa tanpa perawatan intensif dalam derita gizi buruk. Boro-boro tahap penyadaran ketepatan penggunaan antibiotik yang menjadi tema peringatan hari kesehatan tahun 2011 ini, makanan bergizi saja mungkin tidak bisa terpenuhi dalam keluarga ini. Ironisnya, Evi bukan satu-satunya penderita gizi buruk di Kota Serang. Ada 739 balita penderita gizi buruk (Baraya Post, 13/04/11), di Serang. Jumlah yang tidak sedikit, semakin mempertegas bahwa upacara peringatan hari kesehatan sedunia hanya “ritual” yang dilaksanakan tanpa kesadaran untuk serius memberantas segala bentuk penyakit yang membahayakan kesehatan masyarakat. Kepada pemerintah propinsi maupun kota , agaknya harus mulai berfikir ulang mengenai efektivitas model upacara-upacara peringatan hari besar apapun ke depan agar tidak menjadi acara seremonial belaka.
Sebuah catatan untuk pemerintah provinsi maupun kota / kabupaten bahwa masalah kesehatan warga negara tidak selesai dari atas meja dan mimbar pidato kenegaraan, melainkan harus betul-betul sampai kepada sasaran. Tidak terlayaninya kebutuhan kesehatan masyarakat, berarti pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan asasi warga negaranya. Karena kesehatan adalah salah satu kebutuhan asasi manusia, disamping hak hidup dan hak pendidikan.
Kedua, Evi tutup usia 10 hari menjelang Hari Kartini. Tidak ada kematian yang lebih tragis dibanding mati tanpa belaian terakhir sang ibu. Ibu kandung Evi sedang di Arab Saudi, menjadi pembantu di negeri orang, demi mengangkat harkat martabat keluarga dari kemiskinan berkepanjangan. Dia ingin seperti yang dicita-citakan Kartini. Menjadi wanita yang tidak hanya di dapur, sumur dan kasur. Menjadi wanita yang bisa berperan aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi dan menghidupi keluarganya. Mungkin kalau keadaan tidak memaksa, dia tidak akan melakukan ini. Tetapi karena kemiskinan tidak juga beranjak dari kehidupan keluarganya, maka dia memutuskan pergi ke Arab sebagai pilihan satu-satunya. Meski harus meninggalkan 4 orang anak di bawah asuhan suami.
Apakah kondisi seperti ini yang dicita-citakan Kartini? Menjadi perempuan perkasa menghidupi kebutuhan hidup keluarga dengan pergi ke Arab? Sementara anak-anaknya kelaparan di bawah asuhan sang bapak yang bekerja sebagai pemulung dan buruh tani. Sang anak tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari seorang ibu. Padahal, Raden Adjeng Kartini pernah menulis: “dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya – diharibaannyalah anak itu belajar merasa dan berfikir berkata-kata dan makin lama makin tahulah saya, bahwa didikan yang mula-mula itu bukan tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian harinya”.
Kartini, apakah ibu kandung Evi berada pada jalur emansipasi wanita yang kamu anjur-anjurkan!? Dilihat dari akibat yang ditibulkan, bukan emansipasi seperti ini yang ditawarkan R. A. Kartini. Semangat emansipasi R. A. Kartini telah disalahartikan oleh “kartini-kartini” sekarang.
Ibunya Evi bukan satu-satunya perempuan yang memilih menjadi TKW ke Arab. Ribuan wanita Indonesia lain mencari nafkah ke luar negeri, meninggalkan keluarga demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Fenomena di dalam negeri juga kurang lebih sama, perempuan karier meninggalkan anak-anaknya di rumah, menggantikan ASI dengan susu kaleng, mempercayakan anaknya dibawah asuhan pembantu. Kartini, ketika semangatmu disalahartikan maka korban berjatuhan. Mungkin Evi Aprilia bukan korban yang pertama dan juga bukan yang terakhir ketika, “kartini-kartini” lain memakai baju emansipasi dengan egois dan tidak bertanggungjawab.
Di akhir tulisan ini, kita menemukan cita-cita dan makna Hari Kesehatan Se-Dunia dan Hari Kartini, dimentahkan oleh peristiwa meninggalnya Evi Aprilia. Sebab, Evi meninggal oleh gizi buruk sekaligus karena kurangnya kasih sayang sang ibu yang menjadi TKW ke Arab demi perbaikan ekonomi keluarga. Peristiwa ini patut menjadi renungan kita bersama terutama pemerintah, untuk tetap fokus pada pemenuhan hak warga negara, memberikan perlindungan, kemakmuran, keadilan dan kesentosaan hidup. Harapan kita bersama tentunya, kasus Evi, menjadi tragedi kemanusiaan terakhir yang disebabkan oleh keteledoran pemerintah memenuhi kebutuhan asasi warganya. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar