Oleh Ayatulloh Marsai
“Mulai tahun ini penerimaan CPNS bersih dari yang namanya
calo, saya bersungguh-sungguh akan membenahi pemerintahan, karena ini bukan
lagi ajang politik apalagi pencitraan.” (Azwar
Abu Bakar, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi, www.menkab.co.id).
25 November 2010, di harian ini saya pernah menulis,
“Potret Semu Penerimaan CPNS.” Saya ingin menambahkan kata “bukan” pada judul itu,
hingga menjadi “ Bukan Potret Semu Penerimaan CPNS.” Sebetulnya saya khawatir
dibilang “lagi-lagi” menulis hal yang sama: pegawai negeri sipil. Tidak bosan-bosan.
Apa boleh buat, “kalau kita melihat kapal terancam tenggelam,
kita tidak boleh berpangku tangan,” begitu kata Kuntowijoyo menilik tugas
cendikiawan. Harus menyokong pikiran, harus berbuat. Dan, bila kapal itu nyaris
dua kali tenggelam pada arus yang sama, tidak ada salahnya mengingatkan lagi
kepada nahkoda kapal. Tapi, persoalannya bukan lagi pada isi pikiran (peringatan),
namun bagaimana peringatan itu disampaikan. Jika peringatan dengan “teriakan”
di awal tidak terdengar atau tidak
didengar, kenapa tidak kita coba “berteriak” lebih keras dari sebelumnya. Lalu,
baru dengan cara lain: isyarat dan tindakan, misalnya.
Tulisan ini akan fokus pada bagaimana menafsir kata
“mulai tahun ini” yang dinyatakan oleh para penanggungjawab dan penyelenggara test
penerimaan CPNS sekarang, baik di pusat maupun daerah. Di tingkat daerah tidak
satu-dua kali pejabat yang bertanggungjawab terhadap proses seleksi CPNS, menjamin
“tidak lagi” terjadi kecurangan.
Pernyataan “mulai tahun ini” dan “tidak lagi,” secara tersirat bisa bermakna membenarkan
“kecurangan” memang telah terjadi, yakni kecurangan dalam penerimaan CPNS, baik
dilakukan oleh oknum dalam maupun oknum luar. Baik kecurangan berlatar-belakang
keluarga, kedekatan maupun kecurangan berlatar jasa-jasa politik. Entah itu masyarakat
mengenalnya dengan istilah titipan, jatah atau balas budi. Setidaknya itulah
yang masih dikhawatirkan Fahri, seorang warga Cilegon, hingga dia tidak
mendaftar menjadi peserta seleksi CPNS tahun ini (Banten Raya, 20 September
2013).
Apakah Fahri sendirian dalam hal ini? Saya yakin
Fahri tidak sendiri. Indikasinya, tahun ini minat masyarakat sangat rendah
untuk mendaftar tes seleksi CPNS. Terhadap fakta ini, mungkin akan ada yang
berdalih lain. Misalnya, formasi yang disuguhkan oleh pemerintah jarang
diminati oleh masyarakat atau tidak sesuai dengan ijazah yang dimiliki. Itu
benar juga. Tetapi, bahwa sebagian masyarakat pesimis terhadap kemurnian proses
penerimaan CPNS ini juga tidak bisa diabaikan.
Selanjutnya pernyataan “mulai tahun ini,” bisa
dipahami sebagai bentuk pengakuan dari para pemangku tanggungjawab, bahwa pada
test penerimaan CPNS yang dulu-dulu itu benar telah terjadi kecurangan. Jika demikian,
apakah pihak-pihak yang dirugikan bisa menuntut “mereka” secara hukum? Lalu, apakah
mereka yang dihasilkan dari “kecurangan,” dengan “adem-ayem” bisa dijadikan sebagai
pelaksana test penerimaan CPNS sekarang? Lalu lagi, tidakkah kita sangsi pada
hasil seleksi tahun itu kemudian? Sebab, langsung maupun tidak langsung, proses
seleksi “diurus” oleh individu-individu dari hasil seleksi sebelumnya
(sebelumnya lagi) yang sedikit-banyak hasil dari kecurangan para oknum ?
Begitu susahnya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu
ketika sebuah kesalahan diarahkan pada mahkluk bernama oknum. Terlepas oknum
itu sendiri atau kolektif. Itukah rumitnya birokrasi, yang terkenal baku menerapkan
aturan main di atas kertas tetapi begitu fleksibel ketika ada “main” di bawah
kertas. Dalam birokrasi, kenyataan baik atau buruk, tidak punya arti apa-apa,
jika tidak tertulis di atas kertas. Sebaliknya, yang tertulis (baik atau buruk)
akan dibenarkan meskipun dalam kenyataannya tidak sesuai.
Birokrasi demikian telah banyak melahirkan lelucon. Satu
contoh, “Bukan Empat Mata,” tentu anda tahu nama acara itu sebelumnya: “Empat Mata!”
Karena adegannya yang dinilai melanggar ketentuan,
program itu dinyatakan terlarang. Tapi, apa lacur, program itu bisa tayang
kembali hanya dengan menambahkan kata “bukan.” Jadilah “bukan empat mata.”
Kita tidak melihat perbedaan acara itu secara
signifikan. Masih itu-itu juga. Tidak berubah: pembawa acaranya, pendamping-pendampingnya,
stasion TV-nya. Mungkin juga studionya, personil shoot-nya, sofa dan karfetnya
juga tidak berubah. Singkatnya tidak ada perubahan “penting” selain pada nama
yang ditambahkan kata “bukan” pada “empat mata.”
Tentu saja kita tidak mau trend pernyataan “tidak lagi” dan “mulai tahun ini” dalam penyelenggaraan
test seleksi CPNS, sama seperti yang telah terjadi pada acara “bukan empat
mata.” Mudah-mudahan pernyataan itu benar-benar menjadi titik balik:
benar-benar mulai tahun ini tidak lagi ada kecurangan pada seleksi CPNS. Dengan
begitu generasi-generasi terbaiklah yang akan menghuni rumah birokrasi kita.
Birokrasi yang mengabdikan dirinya pada kepentingan negara-bangsa dan seluruh
rakyatnya. Bukan melayani atasan. Mulai tahun ini, mudah-mudahan, tidak lagi
ada birokrasi yang melayani selain kepentingan negara dan rakyatnya.
Masyarakat harus diyakinkan. Gol A Gong pernah
menulis, “harus menciptakan kenangan baru untuk menghapus kenangan yang lama.”
Artinya, dalam konteks seleksi penerimaan CPNS, kenangan buruk mengenai hasil
seleksi, hanya bisa dihapus dengan menciptakan kenangan baru yang gemilang.
Kenangan baru itu adalah pembuktian kemurnian hasil seleksi tahun ini. Semoga!
Rumah Baca Damar26