Rabu, 27 Juni 2012

Antara-nusa


Karya Ayatulloh Marsai

Buliran keringat menyisir antara
Melaju meninggalkan nusa
Bersama deru mesin
Perahu menerjang ombak

Tak peduli

Sebab aku mendendam bara
Batu bara parkir di lautku
Lautku diberak-kencingi raksasa industri buas
Asing tak asing

Nusaku diangkat angkut dollar yang melunasi kepala
Kepala desa
Kepala daerah
Kepala negara

Di mata perahuku berlabu
Batu-batu beterbangan
Bersayap debu polusi
Mengubur sarang-sarang kuli yang tak bisa ‘tuk sekedar bermimpi

Hanya bisa menziarahi gunung-gunung yang dulu menghutan
Pasir pantai yang dulu menaman
Tempat anak-anak bermain
Pulang membawa rumput laut untuk ibu

Ibu, aku hanya bisa sampai disini
Mengalirkan keringat ke laut
Membakar kuali tanah
Menyalakan darah generasi raja di tanah airnya

Demi genarasi bertahta
Ku pijak tanah
Ku rengguk air
Ku dekap tanah air

Di atas perahu, 26 Juni 2012 

Senin, 25 Juni 2012

Pendidikan, (Belum) Cerdaskan Anak Bangsa


Oleh Ayatulloh Marsai

“Bangsa Indonesia adalah hasil perjuangan bersama warga bernasib sama di wilayah Nusantara: dijajah oleh Belanda. Mereka hidup miskin, tidak mendapat pendidikan, tidak mempunyai hak sama dengan warga Belanda dan kaum priyayi.” (Salahuddin Wahid).

“Tidak mempunyai hak yang sama,” adalah kata kunci penjajahan. Dunia pendidikan kita memperlihatkan wajah “tidak memberikan hak yang sama,” jika dilihat dari tidak semua orang bisa menikmati sekolah bermutu. Tren baru dunia pendidikan kita adalah adanya RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Kabarnya, karena kualitas internasional, sulit sekali orang biasa bisa masuk ke sekolah ini. Hanya orang-orang yang ber-duit saja yang bisa masuk ke sekolah ini. Atau, kalau pihak sekolah mau mendengarkan himbauan Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh, ada jatah 20 persen untuk orang miskin berprestasi. Dengan kata lain, memang betul 80 persen siswa RSBI anak-anak orang kaya, yang belum tentu berpestasi. Mereka bisa bersekolah di RSBI karena mereka punya uang.

Dulu, pemerintah kolonial mendirikan sekolah berdasarkan kelas sosial. Europesche Lager School (ELS), untuk anak-anak Eropa, Asia dan ningrat pribumi. Tujuan pendidikan diarahkan pada pengembangan intelektual, pengembangan watak dan kemampuan praktis. Sedangkan untuk pribumi, pemerintah kolonial mendirikan sekolah Hollansch Indische School  (HIS). Tujuan pendiriannya lebih kepada keinginan penjajah untuk mencetak tenaga kerja, ketimbang untuk menjadikan anak didik tumbuh menjadi manusia dewasa.

Karena berbeda kelas, banyak perlakuan yang dibedakan kepada keduanya. Selain tujuan di atas, masalah metode pengajaran, dana yang dikeluarkan, juga masalah siapa saja yang boleh dan tidak boleh sekolah. Ya, itulah sistem kelas, tujuannya membedakan distribusi hak antara satu dengan yang lain. Eropa, bangsa asing dan pribumi tertentu, boleh, sementara pribumi kebanyakan, tidak.

Masalah pengajaran. Seorang Slamet Imam Santoso, pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun 1961, sebagaimana dikutip Dion Pare, dalam “Menemukan Orientasi Pendidikan Kita” (Koran Tempo, 19 April 2012), mengemukakan bahwa pendidikan yang dia peroleh dari sekolah zaman penjajah di pendidikan kedokteran (STOVIA) tahun 1932, mampu mengembangkan kemampuan intelektualitas, pengembangan watak/karakter, sekaligus juga membekali keterampilan hidup.

Selain dia mampu membaca sendiri, mengulang soal, dan berfikir sendiri untuk memecahkan masalah, juga mempunyai beberapa kemampuan yang terbentuk dari sistem pengajarannya. Misalnya, kemampuan menulis, komunikasi sosial, dan kemampuan memahami konsep-konsep secara jelas. Pembentukan watak juga dengan sendirinya terbentuk melalui interaksi guru yang berkualitas tinggi, melalui pengajaran yang diterapkan. Seperti, disiplin, tertib dan hemat.

Betapa ideal pendidikan yang diterima oleh sekelompok elite pada zaman penjajah. Berbanding terbalik dengan pendidikan yang diterima oleh kaum pribumi. Pelajarannya hanya membaca, menulis dan berhitung. Karena, tujuan pengajarannya hanya untuk menciptakan tenaga administrasi di kantor-kantor penjajah. Tidak lebih.

Masalah dana. Jelas sangat timpang perbandingan dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk sekolah anak-anak Eropa dengan pribumi. Ahmad Mansur Suryanegara, dalam Api Sejarah, menyebutkan bahwa pemerintah kolonial mengeluarkan anggaran untuk  Europesche Lager School (ELS), sekolah yang diperuntukkan khusus orang Eropa, yang jumlah muridnya hanya 2.500 murid mendapatkan subsidi f. 2.677.000. Sebaliknya, untuk Hollansch Indische School (HIS) dengan jumlah murid 162.000, hanya disediakan dana f. 1.399.000. Padahal jumlah muridnya 75 kali lipat lebih banyak daripada murid ELS, dengan subsidi hanya setengah dari ELS.

Potret pendidikan masa penjajah itu, jelas tidak beranjak, meski Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, hingga saat ini. Linear saja. Pemerintahan sepertinya melanjutkan sistem yang sudah ada. Karena, pendidikan bermutu ideal masih milik segelintir orang, baik karena ia elite, ia punya uang, maupun karena punya koneksi.

Sementara, sebagian besar rakyat hanya bisa menikmati pendidikan berstandar minimum, diarahkan pada lulusan-lulusan bermental terjajah, hanya butuh lapangan kerja semata. Sekolah untuk bangsa terjajah diarahkan untuk  “memproduksi robot” dan pelayan (pegawai) yang akan mengisi kebutuhan tenaga pada industri-industri negara maju.

Meskipun, tidak boleh dinafikan banyak rakyat bisa menikmati pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan swadaya masyarakat, formal atau non formal, yang berdiri di atas wakaf masyarakat, memegang teguh tujuan idealis pendidikan berbasis intelektualitas dan moral. Lembaga semacam ini (terus) bertahan di tengah persaingan “pasar” yang tidak melihat dia sebagai produk yang menarik (karena tidak instan), disamping dengan keterbatasan biaya yang dimiliki.

Sebagiannya lagi, menurut Salahuddin Wahid, dalam “Belum (Sepenuhnya) Menjadi Indonesia” (Kompas, 25 Mei 2012), sekitar 20 juta anak usia 7-15 tahun, belum tersentuh pendidikan dasar. Ada sekitar 8 juta anak usia 16-20 tahun, tidak dapat menikmati pendidikan menengah. Sekitar 3 juta tamatan sekolah menengah tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dua per tiga tenaga kerja hanya lulusan SMP.

Sedang, bagaimana grand design pengembangan bangsa ke depan (mungkin) dimonopoli oleh sekelompok elite yang mengenyam pendidikan tinggi (nun bermutu), yang konsep pengembangannya diimpor dari bangsa lain.

Melihat kenyataan di atas, wajah pendidikan kita, jelas sekali belum bisa mencerdaskan anak bangsa secara merata, tanpa diskriminasi.

(Tulisan ini dimuat di Banten Raya, Senin 25 Juni 2012)
_Penulis adalah Guru Sejarah, tinggal di Cilegon.

Rabu, 06 Juni 2012

Makna Belajar


Belajar dan mengajar dengan dan dari proses itu artinya terus menjadi. Benar, salah, sama berharganya sebagai pelajaran. Seorang teman pernah bilang, kalau bisa, belajarlah dari kesalahan orang lain, bukan kesalahan sendiri. Lebih ringan resikonya, katanya. Dibanding dari kesalahan sendiri. Tapi, menurut saya, akan lebih tinggi resapan pelajaran itu jika kita belajar dari kesalahan sendiri.


Ayatulloh Marsai 
Karangtengah, 7 Juni 2012