“Bangsa
Indonesia adalah hasil perjuangan bersama warga bernasib sama di wilayah
Nusantara: dijajah oleh Belanda. Mereka hidup miskin, tidak mendapat
pendidikan, tidak mempunyai hak sama dengan warga Belanda dan kaum priyayi.”
(Salahuddin Wahid).
“Tidak mempunyai hak yang
sama,” adalah kata kunci penjajahan. Dunia pendidikan kita memperlihatkan wajah
“tidak memberikan hak yang sama,” jika dilihat dari tidak semua orang bisa
menikmati sekolah bermutu. Tren baru dunia pendidikan kita adalah adanya RSBI
(Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Kabarnya, karena kualitas
internasional, sulit sekali orang biasa bisa masuk ke sekolah ini. Hanya
orang-orang yang ber-duit saja yang bisa masuk ke sekolah ini. Atau, kalau
pihak sekolah mau mendengarkan himbauan Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh, ada
jatah 20 persen untuk orang miskin berprestasi. Dengan kata lain, memang betul
80 persen siswa RSBI anak-anak orang kaya, yang belum tentu berpestasi. Mereka
bisa bersekolah di RSBI karena mereka punya uang.
Dulu, pemerintah kolonial
mendirikan sekolah berdasarkan kelas sosial. Europesche Lager School (ELS), untuk anak-anak Eropa, Asia dan
ningrat pribumi. Tujuan pendidikan diarahkan pada pengembangan intelektual,
pengembangan watak dan kemampuan praktis. Sedangkan untuk pribumi, pemerintah kolonial
mendirikan sekolah Hollansch Indische
School (HIS). Tujuan pendiriannya
lebih kepada keinginan penjajah untuk mencetak tenaga kerja, ketimbang untuk
menjadikan anak didik tumbuh menjadi manusia dewasa.
Karena berbeda kelas, banyak
perlakuan yang dibedakan kepada keduanya. Selain tujuan di atas, masalah metode
pengajaran, dana yang dikeluarkan, juga masalah siapa saja yang boleh dan tidak
boleh sekolah. Ya, itulah sistem kelas, tujuannya membedakan distribusi hak
antara satu dengan yang lain. Eropa, bangsa asing dan pribumi tertentu, boleh, sementara
pribumi kebanyakan, tidak.
Masalah pengajaran. Seorang
Slamet Imam Santoso, pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tahun
1961, sebagaimana dikutip Dion Pare, dalam “Menemukan Orientasi Pendidikan
Kita” (Koran Tempo, 19 April 2012), mengemukakan bahwa pendidikan yang dia
peroleh dari sekolah zaman penjajah di pendidikan kedokteran (STOVIA) tahun
1932, mampu mengembangkan kemampuan intelektualitas, pengembangan
watak/karakter, sekaligus juga membekali keterampilan hidup.
Selain dia mampu membaca
sendiri, mengulang soal, dan berfikir sendiri untuk memecahkan masalah, juga
mempunyai beberapa kemampuan yang terbentuk dari sistem pengajarannya.
Misalnya, kemampuan menulis, komunikasi sosial, dan kemampuan memahami
konsep-konsep secara jelas. Pembentukan watak juga dengan sendirinya terbentuk
melalui interaksi guru yang berkualitas tinggi, melalui pengajaran yang diterapkan.
Seperti, disiplin, tertib dan hemat.
Betapa ideal pendidikan yang
diterima oleh sekelompok elite pada zaman penjajah. Berbanding terbalik dengan
pendidikan yang diterima oleh kaum pribumi. Pelajarannya hanya membaca, menulis
dan berhitung. Karena, tujuan pengajarannya hanya untuk menciptakan tenaga
administrasi di kantor-kantor penjajah. Tidak lebih.
Masalah dana. Jelas sangat
timpang perbandingan dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk sekolah
anak-anak Eropa dengan pribumi. Ahmad Mansur Suryanegara, dalam Api Sejarah, menyebutkan bahwa
pemerintah kolonial mengeluarkan anggaran untuk Europesche
Lager School (ELS), sekolah yang diperuntukkan khusus orang Eropa, yang
jumlah muridnya hanya 2.500 murid mendapatkan subsidi f. 2.677.000. Sebaliknya,
untuk Hollansch Indische School (HIS)
dengan jumlah murid 162.000, hanya disediakan dana f. 1.399.000. Padahal jumlah
muridnya 75 kali lipat lebih banyak daripada murid ELS, dengan subsidi hanya
setengah dari ELS.
Potret pendidikan masa penjajah
itu, jelas tidak beranjak, meski Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya,
hingga saat ini. Linear saja. Pemerintahan sepertinya melanjutkan sistem yang
sudah ada. Karena, pendidikan bermutu ideal masih milik segelintir orang, baik
karena ia elite, ia punya uang, maupun karena punya koneksi.
Sementara, sebagian besar
rakyat hanya bisa menikmati pendidikan berstandar minimum, diarahkan pada
lulusan-lulusan bermental terjajah, hanya butuh lapangan kerja semata. Sekolah
untuk bangsa terjajah diarahkan untuk “memproduksi
robot” dan pelayan (pegawai) yang akan mengisi kebutuhan tenaga pada
industri-industri negara maju.
Meskipun, tidak boleh
dinafikan banyak rakyat bisa menikmati pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan
swadaya masyarakat, formal atau non formal, yang berdiri di atas wakaf
masyarakat, memegang teguh tujuan idealis pendidikan berbasis intelektualitas
dan moral. Lembaga semacam ini (terus) bertahan di tengah persaingan “pasar”
yang tidak melihat dia sebagai produk yang menarik (karena tidak instan),
disamping dengan keterbatasan biaya yang dimiliki.
Sebagiannya lagi, menurut
Salahuddin Wahid, dalam “Belum (Sepenuhnya) Menjadi Indonesia” (Kompas, 25 Mei
2012), sekitar 20 juta anak usia 7-15 tahun, belum tersentuh pendidikan dasar.
Ada sekitar 8 juta anak usia 16-20 tahun, tidak dapat menikmati pendidikan
menengah. Sekitar 3 juta tamatan sekolah menengah tidak bisa melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi. Dua per tiga tenaga kerja hanya lulusan SMP.
Sedang, bagaimana grand design pengembangan bangsa ke
depan (mungkin) dimonopoli oleh sekelompok elite yang mengenyam pendidikan
tinggi (nun bermutu), yang konsep pengembangannya diimpor dari bangsa lain.
Melihat kenyataan di atas,
wajah pendidikan kita, jelas sekali belum bisa mencerdaskan anak bangsa secara
merata, tanpa diskriminasi.
(Tulisan ini dimuat di Banten Raya, Senin 25 Juni 2012)
_Penulis adalah Guru
Sejarah, tinggal di Cilegon.