Sabtu, 19 Mei 2012

Semangat Laskar Ki Komar

Karya Ayatulloh Marsai


terkembang kemah terhampar, bertanda awal
merah putih, bendera ungu serta cokelat kekuningan bercanda bersama angin
cahaya timur pun tak mau ketinggalan
berjingkrak bersama semangat laskar ki komar

putih pikiran itulah bakti kami
mendarat dalam laku perbuatan
memancar untuk semua jiwa semesta
tak pandang siapa.


berlari gerak kami. Mengejar sang waktu menangkap ruang penuh
mimpi menjadi sari peradaban
ceria suara kami. Meneriakan cita dan cinta pada bumi
coklat baju kami. Berkalung merah putih, tali di tangan mengikat matahari   


meski kadang panas menjadi terik,
namun tak hanguskan semangat kami
kami terus, terus menjadi.
 

17 Mei 2012

Kamis, 17 Mei 2012

Mengenali Rumah Tukik, Anyer dalam ‘Writing Day’


Ahad, 13 Mei 2012
Masih terasa tubuh ini mengeram akibat perjalanan hari ini. Writing Day, namanya. Tetapi aku sangat bergairah untuk menyusuri jejak perjalanannya. Ya, setidaknya apa yang tersisa dalam memori. Sembari, sesekali memetik hikmah, siapa tahu bisa memperkaya batin yang tak jarang dirundung galau.

Writing Day, sebuah agenda Rumah Dunia untuk Kelas Menulis ke-19. Writing Day, aku mengartikannya dari yang aku alami, sebuah latihan menulis sehari di alam terbuka. Kali ini pantai Anyer. Untuk angkatan sebelumnya, agenda ini disebut Writing Camp, latihan menulis dipadukan dengan kamping. Asyik euy!

Jalan Cilegon-Anyer Bukan Primadona Lagi

Perjalanan selalu menyuguhkan pengalaman baru, suasana yang berbeda, teman bertambah, sampai bertambahnya wawasan kita. Seperti, bagiku ini yang pertama kali untuk tujuan Anyer melewarti Taktakan, Mancak kemudian Anyer. Biasanya, tujuan Anyer, ya pasti jalan Cilegon-Anyer.

Satu sisi ini pengalaman baru, dengan jalan berliku-liku, tidak jarang menanjak sangat tajam, diapit pohon-pohon di kanan-kiri jalan. Bisa dibilang indah, meski ada saja kurangya.

Sisi lain, timbul sebuah kesimpulan dalam benakku. Jalan Cilegon-Anyer jalur yang dihindari oleh pejalan yang tahu jalur lain. Jalan Cilegon-Anyer tidak menjadi primadona lagi. Buktinya, kami semua sepakat bahwa jalan yang akan kita lalui adalah Taktakan-Mancak-Anyer. Meski pulangnya kami tidak punya pilihan, sebab malam hari jalan yang tadi kami lewati tidak ada penerang jalan, gelap. Hawatir tergelincir ke jurang.

Dalam perjalanan pulang ini, aku melihat kondisi terkini jalan Cilegon-Anyer. Jalan hanya berfungi satu jalur, itupun jalan yang rusak. Lubang menganga sepanjang jalan, tumpukan pasir, menjadikan perjalanan menjadi “wajib” macet.

Kacau. Mungkin mobil industri-industri besar penyebabnya yang berjejer dengan beban berat. Mungkin juga air hujan yang tidak punya pilihan untuk melaju karena got mampet oleh sampah. Mungkin juga korupsi sebagai biang keladinya, jalan dibangun tidak sesuai dengan takaran ideal. Akibatnya jalan rusak. Pariwisata merana.



Rumah Tukik, Heibat!

Usai agenda Writing Day, sebetulnya kami diberi kebebasan untuk menikmati apa saja di pesisir pantai Anyer ini, namun sebelum aku menikmati indahnya pantai, aku menyetujui usul Abdul Salam HS. untuk melihat-lihat Rumah Tukik. Semacam komunitas membaca yang berada di naungan yayasan.

Di sini mata saya memandang melingkari kawasan yang lebih dari satu hektar ini. Ada pemancingan, ada bangunan yang didesain apik berisi kerajinan tangan (gerabah), balai pertemuan terbuat dan berlantai kayu, hamparan kolam untuk berselancar dengan getek.

Aku bersama teman-teman Rumah Dunia yang lain terus melangkah masuk lebih dalam. Ada perpustakaan, hasil karya anak binaan komunitas membaca Rumah Tukik terpajang: angklung, lukisan, pernak-pernik dll. Di ruangan terpisah, aku melihat para remaja sedang belajar computer dengan dibimbing langsung oleh relawan. “Anak-anak ini belajar di sini kalau mereka sedang libur atau hari Minggu,” terang salah satu relawan Rumah Tukik.

Komunitas ini juga dilengkapi dengan studio music. Ya, meski untuk hari-hari yang lain direntalin, tapi khusus untuk hari Sabtu dan Minggu digunakan oleh remaja dengan gratis. Selain studio, pemancingan juga ada aturan tersendiri. Lainnya dipersembahkan untuk mencerdaskan anak-anak binaan Rumah Tukik.  

Ketika kami bertanya dana untuk biaya komunitas ini, Tia, panggilan salah satu aktivis komunitas, mengatakan bahawa semua biaya diperoleh dari CSR usaha Bapak dan Ibu.

Heibat. Aku sempat membayangkan bagaimana jadinya kalau semua perusahan di kotaku menggunakan CSR-nya untuk kegiatan seperti ini. Harus di kota tempat dia berusaha, tidak boleh dibawa pulang ke kampung halamannya. Cukuplah yang dibawa pulang hasil usahanya, CSR-nya harus diserahkan dan dimanfaatkan di Cilegon. Bayangkan! Berapa komunitas membaca akan lahir, berapa anak bangsa bisa bermain dan belajar di sana, dan yang pasti kondisi Cilegon, Banten dan bangsa akan berubah 180 derajat dari sekarang. Yang pasti bangkit!

Ayo kemana CSR Kota Cilegon?
Kemudian Banten. Kemudian Indonesia. Kemudian Dunia. CSR-nya mana?