Ahad, 13 Mei 2012
Masih terasa tubuh ini mengeram akibat perjalanan hari
ini. Writing Day, namanya. Tetapi aku
sangat bergairah untuk menyusuri jejak perjalanannya. Ya, setidaknya apa yang
tersisa dalam memori. Sembari, sesekali memetik hikmah, siapa tahu bisa
memperkaya batin yang tak jarang dirundung galau.
Writing
Day, sebuah agenda Rumah Dunia untuk Kelas Menulis ke-19. Writing Day, aku mengartikannya dari
yang aku alami, sebuah latihan menulis sehari di alam terbuka. Kali ini pantai Anyer.
Untuk angkatan sebelumnya, agenda ini disebut Writing Camp, latihan menulis dipadukan dengan kamping. Asyik euy!
Jalan
Cilegon-Anyer Bukan Primadona Lagi
Perjalanan selalu menyuguhkan pengalaman baru, suasana
yang berbeda, teman bertambah, sampai bertambahnya wawasan kita. Seperti,
bagiku ini yang pertama kali untuk tujuan Anyer melewarti Taktakan, Mancak
kemudian Anyer. Biasanya, tujuan Anyer, ya pasti jalan Cilegon-Anyer.
Satu sisi ini pengalaman baru, dengan jalan berliku-liku,
tidak jarang menanjak sangat tajam, diapit pohon-pohon di kanan-kiri jalan.
Bisa dibilang indah, meski ada saja kurangya.
Sisi lain, timbul sebuah kesimpulan dalam benakku. Jalan
Cilegon-Anyer jalur yang dihindari oleh pejalan yang tahu jalur lain. Jalan
Cilegon-Anyer tidak menjadi primadona lagi. Buktinya, kami semua sepakat bahwa
jalan yang akan kita lalui adalah Taktakan-Mancak-Anyer. Meski pulangnya kami
tidak punya pilihan, sebab malam hari jalan yang tadi kami lewati tidak ada
penerang jalan, gelap. Hawatir tergelincir ke jurang.
Dalam perjalanan pulang ini, aku melihat kondisi terkini
jalan Cilegon-Anyer. Jalan hanya berfungi satu jalur, itupun jalan yang rusak. Lubang
menganga sepanjang jalan, tumpukan pasir, menjadikan perjalanan menjadi “wajib”
macet.
Kacau. Mungkin mobil industri-industri besar penyebabnya yang
berjejer dengan beban berat. Mungkin juga air hujan yang tidak punya pilihan
untuk melaju karena got mampet oleh sampah. Mungkin juga korupsi sebagai biang
keladinya, jalan dibangun tidak sesuai dengan takaran ideal. Akibatnya jalan
rusak. Pariwisata merana.
Rumah
Tukik, Heibat!
Usai agenda Writing
Day, sebetulnya kami diberi kebebasan untuk menikmati apa saja di pesisir
pantai Anyer ini, namun sebelum aku menikmati indahnya pantai, aku menyetujui usul
Abdul Salam HS. untuk melihat-lihat Rumah Tukik. Semacam komunitas membaca yang
berada di naungan yayasan.
Di sini mata saya memandang melingkari kawasan yang lebih
dari satu hektar ini. Ada pemancingan, ada bangunan yang didesain apik berisi
kerajinan tangan (gerabah), balai pertemuan terbuat dan berlantai kayu,
hamparan kolam untuk berselancar dengan getek.
Aku bersama teman-teman Rumah Dunia yang lain terus
melangkah masuk lebih dalam. Ada perpustakaan, hasil karya anak binaan
komunitas membaca Rumah Tukik terpajang: angklung, lukisan, pernak-pernik dll.
Di ruangan terpisah, aku melihat para remaja sedang belajar computer dengan
dibimbing langsung oleh relawan. “Anak-anak ini belajar di sini kalau mereka
sedang libur atau hari Minggu,” terang salah satu relawan Rumah Tukik.
Komunitas ini juga dilengkapi dengan studio music. Ya,
meski untuk hari-hari yang lain direntalin, tapi khusus untuk hari Sabtu dan Minggu
digunakan oleh remaja dengan gratis. Selain studio, pemancingan juga ada aturan
tersendiri. Lainnya dipersembahkan untuk mencerdaskan anak-anak binaan Rumah
Tukik.
Ketika kami bertanya dana untuk biaya komunitas ini, Tia,
panggilan salah satu aktivis komunitas, mengatakan bahawa semua biaya diperoleh
dari CSR usaha Bapak dan Ibu.
Heibat. Aku
sempat membayangkan bagaimana jadinya kalau semua perusahan di kotaku
menggunakan CSR-nya untuk kegiatan seperti ini. Harus di kota tempat dia
berusaha, tidak boleh dibawa pulang ke kampung halamannya. Cukuplah yang dibawa
pulang hasil usahanya, CSR-nya harus diserahkan dan dimanfaatkan di Cilegon.
Bayangkan! Berapa komunitas membaca akan lahir, berapa anak bangsa bisa bermain
dan belajar di sana, dan yang pasti kondisi Cilegon, Banten dan bangsa akan
berubah 180 derajat dari sekarang. Yang pasti bangkit!
Ayo kemana CSR Kota Cilegon?
Kemudian Banten. Kemudian
Indonesia. Kemudian Dunia. CSR-nya mana?